Matahari mulai condong ke barat
Menumbuk langit yang mulai kena bujuk rayu petang
Tak ada setitik awan pun pada kaki nirwana
Namun, pada gantangan pojokan rumah
Tak henti suara kutut manggung
Hur ketekung…ku.ng…ku…ng….
Hur ketekung…ku.ng…ku.u.u…ng….
Suaranya identik dengan suasana pedesaan
Ada pesan damai dan teduh yang tersampaikan
Sepertinya, kehadiranku mengundang minat sang burung
Ia dipercaya sebagai burung katuranggan orang tua Jawa
begitu berhasrat untuk terus manggung
Hur ketekung…ku.ng…ku…ng….
Hur ketekung…ku.ng…ku.u.u…ng….
Lalu, kulihat lari-lari kecil para bocah
menuju serambi surau
Ada getar aneh merasuki batinku
Semerbak wangi kedasih, manyapa hidungku
Hatiku pun ingin bertanya, ada apa?
Denyut jantung mendedah asa
Sejenak,
Cah bagus kemarilah dekat-dekat dengan Emakmu ini
Beritahulah, apa yg menggelisahkanmu
Bila sulit bagimu untuk berbicara sekarang
bisikkanlah dekat-dekat ke telingaku
Aku bisa merasakan beban yang menggelantung
dan meremat dinding hatimu
Kau tak melihat jemari yang kejam itu
mengiris kulit hatimu
dan tak jelas dari mana irisan itu berawal
yang kutahu kau sedih
sedih sekali
dan engkau berdiri tegak
dalam kesendirianmu
Cah bagus,
sekarang tariklah nafasmu panjang-panjang
sebagaimana diajarkan dulu di dusun
kalau hati sedang tidak tenang
Dan, kau ingat
yang pergi akan abadi
dalam jiwa yang mengingatnya
yang hilang akan abadi
dalam jiwa yang menemukannya
Tuban, 29 Juli 2011
Posting Komentar