TIDAK seorang pun di antara kita yang menyangkal adanya kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat manusia. Sejak kecil sampai dengan kematiannya, dia tidak pernah hidup "sendiri" tetapi selalu berada dalam suatu lingkungan sosial yang berbeda-beda satu sama lainnya. Lingkungan sosial adalah suatu bagian dari suatu lingkungan hidup yang terdiri atas antar hubungan individu dan kelompok dan pola-pola organisasi serta segala aspek yang ada dalam masyarakat yang lebih luas di mana lingkungan sosial tersebut merupakan bagian daripadanya.
Lingkungan sosial tersebut dapat terwujud sebagai kesatuan-kesatuan sosial atau kelompok-kelompok sosial, tetapi dapat juga terwujud sebagai situasi-situasi sosial yang merupakan sebagian dari dan berada dalam ruang lingkup suatu kesatuan atau kelompok sosial. Kesatuan-kesatuan sosial dan kelompok-kelompok sosial tersebut masing-masing mempunyai aturan-aturan yang berbeda satu dengan lainnya, di mana manusia yang terlibat atau berada di dalamnya harus mentaati aturan-aturan tersebut dalam berbagai hubungan-hubungan sosial yang dilakukannya menurut masing-masing kelompok dan kesatuan sosial.
Dalam setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial itu bukan hanya satu; sehingga seorang warga bisa termasuk dalam dan menjadi sebagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Di satu pihak dia termasuk dalam suatu kesatuan sosial yang terorganisasi menurut aturan-atura kekerabatan, seperti: keluarga, kelompok orang-orang yang seketurunan, atau kelompok orang-orang yang digolongkan sebagai sekerabat, dan sebagainya; dia juga bisa menjadi anggotaa atau warga organisasi yang ada dalam wilayah tempat tinggalnya, seperti: Rukun Tetangga, Rukun Warga, Pemuda Kampung atau desa, dan sebagainya; dia juga bisa menjadi anggota dari berbagai perkumpulan dan organisasi di tempat kerjanya; ataupun menjadi anggora berbagai perkumpulan yang dimasukinya karena dia merasa sebagai satu golongan dengan perkumpulan tersebut (yang terwujud berdasarkan atas persamaan umur, jenis kelamin, perhatian ekonomi, perhatian dan ide politik, asal suku bangsa, dan daerah yang sama, dan sebagainya); dan juga karena persamaan kesenangan atau hobi dengan sejumlah orang lainnya.
Uraian singkat berikut ini berusaha untuk menjelaskan pengertian struktur sosial yang akan dilihat kaitannya dengan pengertian masyarakat dan dengan hubungan sosial. Uraian ini tidaklah dimaksudkan sebagai suatu pembahasan teoritis, tetapi sebagai uraian mengenai pengertian-pengertian dasar yang akan dapat digunakan untuk memahami pola-pola kelakukan yang dihadapi sehari-hari.
Struktur Sosial
Secara singkat sturktur sosial dapat didefinisikan sebagai pola dari hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi, yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Pengertian hak dan kewajiban para pelaku dikaitkan dengan masing-masing status dan peranan para pelaku. Status dan peranan bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasi-situasi sosial di mana interaksi sosial itu terwujud.
Dalam uraian di bagian pendahuluan, di mana seorang individu itu menjadi anggota keluarga, keanggotaannya dalam keluarga berarti menempatkan dirinya dalam suatu kedudukan tertentu atau status dalam keluarga tersebut adalah serangkaian hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai anggota keluarga, yang terwujud dalam bentuk peranannya (macam dan corak tindakan yang diharapkan untuk diwujudkannya oleh orang lain yang terlibat dalam hubungan sosial) dalam berbagai interaksi sosial dalam ruang lingkup kegiatan keluarga.
Sebuah situasi sosial terdiri atau serangkaian aturan- aturan atau norma-norma yang mengatur penggolongan para pelaku menurut status dan peranannya dan yang membatasi macam tindakan-tindakan yang boleh dan yang tidak boleh serta yang seharusnya diwujudkan oleh para pelakunya. Sebuah sistuasi sosial biasanya menempati suatu ruang atau wilayah tertentu yang khususnya untuk situasi sosial tertentu, walaupun tidak selamanya demikian keadaannya sebab ada ruang atau wilayah yang mempunyai fungsi majemuk. Contoh berkenaan dengan pembahasan situasi sosial yang ada dalam ruang lingkup kegiatan keluarga, antara lain, adalah: situasi sosial di meja makan. Pada waktu makan bersama, misalnya pada waktu makan malam, kursi-kursi diatur sedemikian rupa yang memperlihatkan perbedaan status dari para anggota keluarga yang makan malam bersama tersebut. Ayah sebagai kepala keluarga duduk di kursi yang terletak di kepala meja. Ayah memulai makan bersama dengan cara memulai menyendok nasi terlebih dahulu, atau disendokkan nasinya ke dalam piringnya oleh ibu.
Dengan dimulainya penyendokan nasi ke dalam piring ayah, makan malam bersama dimulai. Keteraturan dalam situasi sosial makan bersama ini dapat dilihat pada urutan-urutan pengambilan makanan sehingga seluruh anggota keluarga yang duduk makan bersama tadi mendapat bagiannya. Dengan selesainya makan malam bersama, situasi sosial meja makan juga selesai atau hilang, dan meja makan tidak berfungsi lagi.
Dalam beberapa hal tertentu, meja makan bisa juga berfungsi sebagai tempat ngobrol sejumlah anggota keluarga, tempat bermain bridge atau domino atau catur, tempat belajar anak-anak yang bersekolah, dan berbagai fungsi lainnya. Dalam keadaan demikian, meja makan atau ruang tempat makan telah berfungsi majemuk untuk menjadi tempat bagi diwujudkannya situasi-situasi sosial yang berbeda. Karena, walaupun tempatnya sama tetapi situasi sosial yang berbeda. Situasi sosial makan bersama tidaklah sama dengan situasi sosial anak-anak belajar, dan tidak juga sama dengan situasi sosial bermain kartu domino, dan sebagainya.
Kalau kita perhatikan bersama secara sungguh-sungguh, secara keseluruhan kegiatan yang berkenaan dengan makan malam bersama tadi sebetulnya mempunyai struktur sosial yang tersendiri, yaitu struktur sosial makan bersama. Dalam makan malam bersama tadi, tercermin adanya suatu pola berkenaan dengan hak dan kewajiban para pelakunya dalam suatu sistem interaksi berkenaan dengan secara bersama-sama makan malam yang terwujud dalam suatu jangka waktu tertentu, yaitu pada waktu makan bersama dan khususnya pada waktu makan malam bersama, dan terwujud dalam rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil, yaitu selalu berulang pada setiap kali anggota-anggota keluarga tersebut makan bersama atau khususnya makan malam bersama.
Dengan demikian, kalau kita ingin berbicara mengenai struktur sosial keluarga maka harus juga diperhatikan berbagai sistem interaksi yang terwujud dalam berbagai situasi sosial yang ada dalam ruang lingkup keluarga. Struktur-struktur sosial yang terdapat dalam ruang lingkup keluarga tadi, secara bersama-sama kemudian diperbandingkan dan dilihat persamaan-persamaannya dan perbedaan-perbedaannya, dan yang terakhir, kemudian ditarik prinsip-prinsip umum dasarnya yang merupakan suatu generalisasi yang berlaku umum berkenaan dengan hak dan kewajiban dari para pelaku atau anggota keluarga.
Corak dari sesuatu struktur sosial ditentukan oleh kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang nyata yang dihadapi oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Perwujudan dari kebudayaan sebagai model atau pola bagi kelakuan, yang berupa aturan-aturan atau norma-norma, dalam kehidupan sosial manusia adalah melalui beraneka ragam corak pranata-pranata sosial. Pranata-pranata tersebut terwujud sebagai serangkaian norma-norma yang menjadi tradisi yang digunakan untuk mengatur kegiatan-kegiatan kehidupan individu dan kelompok- kelompok yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, kalau kita hendak melihat masyarakat sebagai suatu struktur sosialnya, maka yang menentukan corak dari struktur tersebut adalah pranata-pranata yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.
Struktur Sosial dan Masyarakat
Corak dari struktur sosial masyarakat manusia beraneka ragam. Ada yang sederhana dan ada yang kompleks; ada yang struktur sosialnya bersumber pada dan ditentukan coraknya oleh sistem kekerabatannya, sistem ekonominya, sistem pelapisan sosialnya, dan sebagainya; dan ada yang merupakan suatu kombinasi dari berbagai pranata tersebut.
Dalam literatur antropologi telah diperlihatkan bahwa sejumlah masyarakat yang digolongkan sebagai berkebudayaan primitif, yang biasanya hidup dalam kesatuan-kesatuan atau kelompok-kelompok sosial yang kecil, mempunyai serangkaian aturan-aturan yang dipakai untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan warganya terutama berdasarkan atas sistem kekerabatan.
Dalam masyarakat-masyarakat yang seperti ini, kelompok- kelompok kekerabatan dan aturan-aturan yang dalam sistem kekerabatan menjadi amat penting. Sedangkan dalam suatu masyarakat yang jumlah warganya banyak dan yang lebih beraneka ragam pola status dan peranannya, diperlukan bukan hanya pengaturan menurut sistem kekerabatan tetapi juga menurut berbagai sistem pengorganisasian wilayah bagi kegiatan-kegiatan sosial warganya. Dalam masyarakat yang lebih kompleks lagi, yang ditandai oleh kompleknya keaneka ragaman sistem status dan peranan, sistem kekerabatan dan berbagai sistem pengorganisasian wilayah yang ada tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk pengaturan kegiatan-kegiatan sosial warganya yang dapat menjamin terwujudnya tertib sosial.
Dalam keadaan demikian, terwujud berbagai macam pranata; yang pranata-pranata ini melahirkan berbagai macam perkumpulan dan organisasi, baik yang secara resmi diakui sebagai organisasi atau perkumpulan karena mempunyai nama atau merek organisasi dan mempunyai pengurus serta daftar anggota, maupun organisasi-organisasi atau perkumpulan-perkumpulan yang tidak nampak nyata sebagai organisasi atau perkumpulan karena tidak mempunyai bukti-bukti sebagai organisasi resmi seperti tersebut diatas. Contoh dari organisasi resmi adalah organisasi/partai politik, perkumpulan olah raga, kesenian, ekonomi, dan sebagainya; sedangkan contoh dari organisasi tidak resmi adalah perkumpulan arisan, pertemuan dan persahabatan, dan berbagai pengelompokkan karena sesuatu kegiatan tertentu.
Dalam masyarakat yang kebudayaannya primitif, struktur sosialnya dengan mudah diketahui coraknya karena seorang pengamat dengan mudah dapat membuat rekonstruksi dari struktur sosial tersebut berdasarkan atas kesederhanaan pola status dan peranan yang bersumber jumlah dan keaneka ragaman pranata yang terbatas. Sedangkan dalam masyarakat yang kompleks kebudayaannya, struktur sosial masyarakat tersebut tidak dengan mudah direkonstruksi. Seringkali seorang peneliti yang belum berpengalaman dapat menjadi bingung karena dalam kenyataannya dalam masyarakat tersebut terdapat beraneka ragam kelompok-kelompok sosial yang masing-masing mempunyai struktur sosial yang juga secara keseluruhan menunjukkan keaneka ragaman.
Struktur Sosial dan Hubungan Sosial
Dalam kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, hubungan-hubungan sosial yang dilakukannya dengan para anggota masyarakatnya dalam kelompok-kelompok kekerabatan, kelompok wilayah, dan dalam kelompok-kelompok sosial lainnya (yaitu perkumpulan olah raga, arisan, teman sejawat di kantor, teman sepermainan, tetangga, organisasi partai politik, dan sebagainya), tidaklah sama dalam hal interaksi sosialnya antara yang satu dengan yang lainnya. Yang dimaksudkan dengan interaksi sosial adalah aspek kelakuan dari dan yang terdapat dalam hubungan sosial.
Dengan kata lain, seorang anggota masyarakat itu tidaklah dapat mengadakan interaksi sosial dengan semua orang yang menjadi warga masyarakatnya. Begitu juga, seorang anggota masyarakat yang mempunyai hubungan sosial dengan sejumlah warga masyarakat tidaklah sama dalam hal sering dan eratnya hubungan sosial yang dipunyainya dengan semua anggota masyarakat yang mempunyai hubungan sosial dengan dirinya. Dengan demikian, ada sejumlah orang-orang tertentu yang mempunyai hubungan-hubungan sosial yang erat dan sering dengan orang tersebut, sedangkan sejumlah orang lainnya jarang-jarang mengadakan interaksi sosial dengan orang tersebut sehingga hubungan sosialnya tidak erat, dan masih ada sejumlah orang lainnya yang juga anggota masyarakat tersebut yang tidak mempunyai hubungan sosial dengan orang tersebut.
Kalau kita melihat hubungan sosial di antara dua orang individu sebagai sebuah garis, maka hubungan sosial yang terwujud antara seorang individu dengan sejumlah orang individu dapat dilihat sebagai sejumlah garis yang menghubungkan si individu tersebut dengan individu-individu lainnya dan yang garis-garis tersebut berpusat pada si individu tersebut. Dalam kenyataan kehidupan manusia bermasyarakat, hubungan-hubungan sosial yang terwujud bukanlah hanya antara dua pihak saja tetapi merupakan suatu hubungan seperti jala atau jaring yang mencaku sejumlah orang banyak. Karenanya, hubungan-hubungan sosial yang mencakup hubungan di antara tiga orang atau lebih dinamakan jaringan sosial.
Jaringan sosial adalah suatu pengelompokkan yang terdiri atas tiga orang atau lebih, yang masing-masing orang tersebut mempunyai identitas tersendiri, dan yang masing-masing dihubungkan antara satu dengan lainnya melalui hubungan-hubungan sosial yang ada, sehingga melalui hubungan- hubungan sosial tersebut mereka itu dapat dikelompokkan sebagai suatu kesatuan sosial atau kelompok sosial. Hubungan-hubungan yang ada diantara mereka yang terlibat dalam suatu jaringan sosial biasanya tidak bersifat hubungan-hubungan yang resmi tetapi hubungan-hubungan yang tidak resmi atau perseorangan. Karena juga, mereka yang berada dalam suatu jaringan sosial biasanya tidak sadar akan keanggotaannya dalam jaringan sosial tersebut, karena jaringan sosial tersebut belum tentu terwujud sebagai suatu organisasi atau perkumpulan resmi.
Jaringan-jaringan sosial telah terbentuk dalam masyarakat karena manusia tidak dapat berhubungan dengan semua manusia yang ada. Hubungan-hubungan sosial yang dipunyai oleh seorang manusia selalu terbatas pada sejumlah manusia. Begitu juga, setiap orang telah belajar dari pengalaman-pengalaman sosialnya masing-masing untuk memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang paling menguntungkan bagi dirinya, yang terbatas jumlahnya dibandingkan dengan jumlah rangkaian hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam masyarakatnya, yang dapat digunakannya.
Sejumlah ahli ilmu-ilmu sosial telah menggunakan konsep jaringan sosial sebagai pendekatan untuk dapat membuat rekonstruksi struktur sosial. Landasan berpikirnya adalah bahwa suatu jaringan sosial mewujudkan adanya suatu kesatuan atau kelompok sosial; dan bahwa interaksi di antara mereka yang terlibat dalam satu jaringan sosial mempunyai suatu corak keteraturan tersendiri; dan bahwa keteraturan tersebut mencerminkan adanya aturan-aturan yang berupa suatu pola mengenai hubungan-hubungan sosial yang melibatkan statu atau identitas dan peranan sosial dari para pelakunya; dan bahwa dengan menggunakan pendekatan jaringan sosial ketepatan corak dari struktur sosial dapat lebih dipertanggung jawabkan karena penggunaan tehnik-tehnik dan analisa kwantitatif.
Dalam uraian ini telah ditunjukkan pengertian struktur sosial dan kaitan pengertian tersebut dengan kebudayaan, masyarakat, dan dengan hubungan sosial. Uraian ini juga berusaha menunjukkan bahwa struktur sosial bukanlah suatu konsep yang dipahami atau dimengerti oleh para pelakunya yang terlibat di dalamnya. Sebaliknya, struktur sosial adalah suatu hasil bangun teoritis (theoretical construct) yang dibuat oleh ahli ilmu-ilmu sosial.
Kalau dalam uraian ini diperlihatkan bahwa struktur sosial itu diciptakan oleh ahli ilmu-ilmu sosial dari hasil pengamatan atau penelitiannya yang memusatkan perhatian pada kelakuan sosial manusia; maka sebaliknya seorang ahli ilmu-ilmu sosial juga dapat menggunakan konsep struktur sosial sebagai suatu alat analitis yang digunakan untuk memahami dan mengkaji tindakan-tindakan dan kelakuan sosial yang terwujud dalam berbagai kegiatan sosial dalam sesuatu masyarakat.
Hubungan Kerjasama, Struktur Sosial, Dan Kapital Sosial
Secara singkat struktur sosial dapat didefinisikan sebagai pola dari hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi, yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Pengertian hak dan kewajiban para pelaku dikaitkan dengan masing-masing status dan peranan para pelaku. Status dan peranan bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasi-situasi sosial di mana interaksi sosial itu terwujud
Dalam kenyataan, kehidupan manusia bermasyarakat, hubungan-hubungan sosial yang terwujud bukanlah hanya antara dua pihak saja tetapi merupakan suatu hubungan seperti jala atau jaring yang mencakup sejumlah orang banyak. Karenanya, hubungan-hubungan sosial yang mencakup hubungan diantara tiga orang atau lebih dinamakan jaringan sosial.
Jaringan sosial adalah suatu pengelompokkan yang terdiri atas tiga orang atau lebih, yang masing-masing orang tersebut mempunyai identitas tersendiri, dan yang masing-masing dihubungkan antara satu dengan lainnya melalui hubungan-hubungan sosial yang ada, sehingga melalui hubungan-hubungan sosial tersebut mereka itu dapat dikelompokkan sebagai suatu kesatuan sosial atau kelompok sosial. Hubungan-hubungan yang ada diantara mereka yang terlibat dalam suatu jaringan sosial biasanya tidak bersifat hubungan-hubungan yang resmi tetapi hubungan-hubungan yang tidak resmi atau perseorangan. Karena juga, mereka yang berada dalam suatu jaringan sosial biasanya tidak sadar akan keanggotaannya dalam jaringan sosial tersebut, karena jaringan sosial tersebut belum tentu terwujud sebagai suatu organisasi atau perkumpulan resmi.
Jaringan-jaringan sosial telah terbentuk dalam masyarakat karena manusia tidak dapat berhubungan dengan semua manusia yang ada. Hubungan-hubungan sosial yang dipunyai oleh seorang manusia selalu terbatas pada sejumlah manusia. Begitu juga, setiap orang telah belajar dari pengalaman-pengalaman sosialnya masing-masing untuk memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang paling menguntungkan bagi dirinya, yang terbatas jumlahnya dibandingkan dengan jumlah rangkaian hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam masyarakatnya, yang dapat digunakannya.
Di lain pihak bahwa dalam kerjasama kepercayaan adalah sendi dasar utama, baik dalam hubungan personal maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka yang kehilangan kepercayaan akan sulit berhubungan satu sama lain. Jika masyarakat menderita krisis kepercayaan, berarti masyarakat sedang digoyang, digerus, dan digerogoti penyakit yang paling mendasar, fundamental. Ada tidaknya kepercayaan ini sangat menentukan kualitas kehidupan manusia dan masyarakatnya.
Persoalannya sekarang bahwa paradigma berpikir yang sering mengemuka dalam pikiran kita, di antaranya selalu menganggap orang yang tidak sama dari segi identitas, baik agama, etnik, pilihan partai politik, kelompok keagamaan, bahkan antar tetangga yang saling berdekatan pun, dianggap sebagai orang lain (the other). Jadi, ketika muncul persoalan-persoalan yang menyangkut dengan kepentingan diri kita manakala berhubungan dengan orang lain selalu disikapi dengan sikap curiga, dan hati-hati. Oleh karena itu, cara berpikir semacam itu akan mengalami kesulitan dan penghambat yang cukup vital bagi terciptanya saling bekerja sama, duduk bersama mendialogkan persoalan yang dihadapinya.
Sejumlah persoalan yang diakibatkan hilangnya trust dan sikap toleran dalam masyarakat kita ternyata berimplikasi luas terhadap konstruksi budaya secara keseluruhan. Kecurigaan seseorang kepada yang lainnya melahirkan masalah-masalah yang tidak sepele. Lebih jauh lagi, wajah dari kehidupan politik pada masa transisi dewasa ini di Indonesia diwarnai dengan wajah kekerasan secara terbuka. Proses demokratisasi dibarengi dengan konflik yang bermuatan kekerasan yang dapat dikatakan cukup merata. Lahirnya konflik antaretnis, persaingan identitas budaya yang tidak fair dan tidak terkelola dengan baik, perlakuan yang diskriminatif terhadap hak-hak minoritas, berangkat dari masyarakat yang tidak memiliki sikap saling percaya dan toleran.
Jika ditarik dengan garis linier, proses ketidakpercayaan yang amat intens itu bisa mengarah pada kondisi serba prasangka, dari distrust menuju prejudice. Pada krisis kepercayaan, apa pun yang dilakukan siapa pun yang sudah tidak kita percayai, bahkan prestasi sekalipun bagi kita tak ada benarnya, tak ada kebenaran disana. Sementara itu, prasangka, bahkan ketika orang yang kita jadikan sasaran prasangka tidak atau belum melakukan tindakan apa pun, kita sudah tak melihat kebenaran padanya. Jadi prasangka jauh lebih memprihatinkan dan berbahaya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kapital Sosial (KS) dalam konteks ini adalah dalam bentuk potensi yaitu struktur sosial, hubungan sosial, dan kerjasama akan diaktualisasikan kalau ada rasa percaya (trust) yang tinggi pada orang atau kelompok sosial pada pihak lain akan potensi yang dimiliki orang itu yang berupa Kapital Manusia (KM). Hubungan seperti ini dapat dirumuskan dalam formula KM-KS, yang artinya bahwa KM merupakan dasar atau pondasi bagi aktualisasi KF.
Memang tidak mudah untuk membangun budaya saling percaya (interpersonal trust) antara masyarakat, pemerintah dan elite politik. Tanpa itu, jangan harap sebuah negara bangsa bisa hidup normal dan wajar. Pepatah mengatakan, negara bisa ada tanpa tentara, juga bisa ada walau rakyatnya kekurangan makan, tetapi negara tidak mungkin ada jika ia tidak punya pemerintahan yang dapat dipercaya.
* KanG Naryo
Lingkungan sosial tersebut dapat terwujud sebagai kesatuan-kesatuan sosial atau kelompok-kelompok sosial, tetapi dapat juga terwujud sebagai situasi-situasi sosial yang merupakan sebagian dari dan berada dalam ruang lingkup suatu kesatuan atau kelompok sosial. Kesatuan-kesatuan sosial dan kelompok-kelompok sosial tersebut masing-masing mempunyai aturan-aturan yang berbeda satu dengan lainnya, di mana manusia yang terlibat atau berada di dalamnya harus mentaati aturan-aturan tersebut dalam berbagai hubungan-hubungan sosial yang dilakukannya menurut masing-masing kelompok dan kesatuan sosial.
Dalam setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial itu bukan hanya satu; sehingga seorang warga bisa termasuk dalam dan menjadi sebagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Di satu pihak dia termasuk dalam suatu kesatuan sosial yang terorganisasi menurut aturan-atura kekerabatan, seperti: keluarga, kelompok orang-orang yang seketurunan, atau kelompok orang-orang yang digolongkan sebagai sekerabat, dan sebagainya; dia juga bisa menjadi anggotaa atau warga organisasi yang ada dalam wilayah tempat tinggalnya, seperti: Rukun Tetangga, Rukun Warga, Pemuda Kampung atau desa, dan sebagainya; dia juga bisa menjadi anggota dari berbagai perkumpulan dan organisasi di tempat kerjanya; ataupun menjadi anggora berbagai perkumpulan yang dimasukinya karena dia merasa sebagai satu golongan dengan perkumpulan tersebut (yang terwujud berdasarkan atas persamaan umur, jenis kelamin, perhatian ekonomi, perhatian dan ide politik, asal suku bangsa, dan daerah yang sama, dan sebagainya); dan juga karena persamaan kesenangan atau hobi dengan sejumlah orang lainnya.
Uraian singkat berikut ini berusaha untuk menjelaskan pengertian struktur sosial yang akan dilihat kaitannya dengan pengertian masyarakat dan dengan hubungan sosial. Uraian ini tidaklah dimaksudkan sebagai suatu pembahasan teoritis, tetapi sebagai uraian mengenai pengertian-pengertian dasar yang akan dapat digunakan untuk memahami pola-pola kelakukan yang dihadapi sehari-hari.
Struktur Sosial
Secara singkat sturktur sosial dapat didefinisikan sebagai pola dari hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi, yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Pengertian hak dan kewajiban para pelaku dikaitkan dengan masing-masing status dan peranan para pelaku. Status dan peranan bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasi-situasi sosial di mana interaksi sosial itu terwujud.
Dalam uraian di bagian pendahuluan, di mana seorang individu itu menjadi anggota keluarga, keanggotaannya dalam keluarga berarti menempatkan dirinya dalam suatu kedudukan tertentu atau status dalam keluarga tersebut adalah serangkaian hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai anggota keluarga, yang terwujud dalam bentuk peranannya (macam dan corak tindakan yang diharapkan untuk diwujudkannya oleh orang lain yang terlibat dalam hubungan sosial) dalam berbagai interaksi sosial dalam ruang lingkup kegiatan keluarga.
Sebuah situasi sosial terdiri atau serangkaian aturan- aturan atau norma-norma yang mengatur penggolongan para pelaku menurut status dan peranannya dan yang membatasi macam tindakan-tindakan yang boleh dan yang tidak boleh serta yang seharusnya diwujudkan oleh para pelakunya. Sebuah sistuasi sosial biasanya menempati suatu ruang atau wilayah tertentu yang khususnya untuk situasi sosial tertentu, walaupun tidak selamanya demikian keadaannya sebab ada ruang atau wilayah yang mempunyai fungsi majemuk. Contoh berkenaan dengan pembahasan situasi sosial yang ada dalam ruang lingkup kegiatan keluarga, antara lain, adalah: situasi sosial di meja makan. Pada waktu makan bersama, misalnya pada waktu makan malam, kursi-kursi diatur sedemikian rupa yang memperlihatkan perbedaan status dari para anggota keluarga yang makan malam bersama tersebut. Ayah sebagai kepala keluarga duduk di kursi yang terletak di kepala meja. Ayah memulai makan bersama dengan cara memulai menyendok nasi terlebih dahulu, atau disendokkan nasinya ke dalam piringnya oleh ibu.
Dengan dimulainya penyendokan nasi ke dalam piring ayah, makan malam bersama dimulai. Keteraturan dalam situasi sosial makan bersama ini dapat dilihat pada urutan-urutan pengambilan makanan sehingga seluruh anggota keluarga yang duduk makan bersama tadi mendapat bagiannya. Dengan selesainya makan malam bersama, situasi sosial meja makan juga selesai atau hilang, dan meja makan tidak berfungsi lagi.
Dalam beberapa hal tertentu, meja makan bisa juga berfungsi sebagai tempat ngobrol sejumlah anggota keluarga, tempat bermain bridge atau domino atau catur, tempat belajar anak-anak yang bersekolah, dan berbagai fungsi lainnya. Dalam keadaan demikian, meja makan atau ruang tempat makan telah berfungsi majemuk untuk menjadi tempat bagi diwujudkannya situasi-situasi sosial yang berbeda. Karena, walaupun tempatnya sama tetapi situasi sosial yang berbeda. Situasi sosial makan bersama tidaklah sama dengan situasi sosial anak-anak belajar, dan tidak juga sama dengan situasi sosial bermain kartu domino, dan sebagainya.
Kalau kita perhatikan bersama secara sungguh-sungguh, secara keseluruhan kegiatan yang berkenaan dengan makan malam bersama tadi sebetulnya mempunyai struktur sosial yang tersendiri, yaitu struktur sosial makan bersama. Dalam makan malam bersama tadi, tercermin adanya suatu pola berkenaan dengan hak dan kewajiban para pelakunya dalam suatu sistem interaksi berkenaan dengan secara bersama-sama makan malam yang terwujud dalam suatu jangka waktu tertentu, yaitu pada waktu makan bersama dan khususnya pada waktu makan malam bersama, dan terwujud dalam rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil, yaitu selalu berulang pada setiap kali anggota-anggota keluarga tersebut makan bersama atau khususnya makan malam bersama.
Dengan demikian, kalau kita ingin berbicara mengenai struktur sosial keluarga maka harus juga diperhatikan berbagai sistem interaksi yang terwujud dalam berbagai situasi sosial yang ada dalam ruang lingkup keluarga. Struktur-struktur sosial yang terdapat dalam ruang lingkup keluarga tadi, secara bersama-sama kemudian diperbandingkan dan dilihat persamaan-persamaannya dan perbedaan-perbedaannya, dan yang terakhir, kemudian ditarik prinsip-prinsip umum dasarnya yang merupakan suatu generalisasi yang berlaku umum berkenaan dengan hak dan kewajiban dari para pelaku atau anggota keluarga.
Corak dari sesuatu struktur sosial ditentukan oleh kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang nyata yang dihadapi oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Perwujudan dari kebudayaan sebagai model atau pola bagi kelakuan, yang berupa aturan-aturan atau norma-norma, dalam kehidupan sosial manusia adalah melalui beraneka ragam corak pranata-pranata sosial. Pranata-pranata tersebut terwujud sebagai serangkaian norma-norma yang menjadi tradisi yang digunakan untuk mengatur kegiatan-kegiatan kehidupan individu dan kelompok- kelompok yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, kalau kita hendak melihat masyarakat sebagai suatu struktur sosialnya, maka yang menentukan corak dari struktur tersebut adalah pranata-pranata yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.
Struktur Sosial dan Masyarakat
Corak dari struktur sosial masyarakat manusia beraneka ragam. Ada yang sederhana dan ada yang kompleks; ada yang struktur sosialnya bersumber pada dan ditentukan coraknya oleh sistem kekerabatannya, sistem ekonominya, sistem pelapisan sosialnya, dan sebagainya; dan ada yang merupakan suatu kombinasi dari berbagai pranata tersebut.
Dalam literatur antropologi telah diperlihatkan bahwa sejumlah masyarakat yang digolongkan sebagai berkebudayaan primitif, yang biasanya hidup dalam kesatuan-kesatuan atau kelompok-kelompok sosial yang kecil, mempunyai serangkaian aturan-aturan yang dipakai untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan warganya terutama berdasarkan atas sistem kekerabatan.
Dalam masyarakat-masyarakat yang seperti ini, kelompok- kelompok kekerabatan dan aturan-aturan yang dalam sistem kekerabatan menjadi amat penting. Sedangkan dalam suatu masyarakat yang jumlah warganya banyak dan yang lebih beraneka ragam pola status dan peranannya, diperlukan bukan hanya pengaturan menurut sistem kekerabatan tetapi juga menurut berbagai sistem pengorganisasian wilayah bagi kegiatan-kegiatan sosial warganya. Dalam masyarakat yang lebih kompleks lagi, yang ditandai oleh kompleknya keaneka ragaman sistem status dan peranan, sistem kekerabatan dan berbagai sistem pengorganisasian wilayah yang ada tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk pengaturan kegiatan-kegiatan sosial warganya yang dapat menjamin terwujudnya tertib sosial.
Dalam keadaan demikian, terwujud berbagai macam pranata; yang pranata-pranata ini melahirkan berbagai macam perkumpulan dan organisasi, baik yang secara resmi diakui sebagai organisasi atau perkumpulan karena mempunyai nama atau merek organisasi dan mempunyai pengurus serta daftar anggota, maupun organisasi-organisasi atau perkumpulan-perkumpulan yang tidak nampak nyata sebagai organisasi atau perkumpulan karena tidak mempunyai bukti-bukti sebagai organisasi resmi seperti tersebut diatas. Contoh dari organisasi resmi adalah organisasi/partai politik, perkumpulan olah raga, kesenian, ekonomi, dan sebagainya; sedangkan contoh dari organisasi tidak resmi adalah perkumpulan arisan, pertemuan dan persahabatan, dan berbagai pengelompokkan karena sesuatu kegiatan tertentu.
Dalam masyarakat yang kebudayaannya primitif, struktur sosialnya dengan mudah diketahui coraknya karena seorang pengamat dengan mudah dapat membuat rekonstruksi dari struktur sosial tersebut berdasarkan atas kesederhanaan pola status dan peranan yang bersumber jumlah dan keaneka ragaman pranata yang terbatas. Sedangkan dalam masyarakat yang kompleks kebudayaannya, struktur sosial masyarakat tersebut tidak dengan mudah direkonstruksi. Seringkali seorang peneliti yang belum berpengalaman dapat menjadi bingung karena dalam kenyataannya dalam masyarakat tersebut terdapat beraneka ragam kelompok-kelompok sosial yang masing-masing mempunyai struktur sosial yang juga secara keseluruhan menunjukkan keaneka ragaman.
Struktur Sosial dan Hubungan Sosial
Dalam kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, hubungan-hubungan sosial yang dilakukannya dengan para anggota masyarakatnya dalam kelompok-kelompok kekerabatan, kelompok wilayah, dan dalam kelompok-kelompok sosial lainnya (yaitu perkumpulan olah raga, arisan, teman sejawat di kantor, teman sepermainan, tetangga, organisasi partai politik, dan sebagainya), tidaklah sama dalam hal interaksi sosialnya antara yang satu dengan yang lainnya. Yang dimaksudkan dengan interaksi sosial adalah aspek kelakuan dari dan yang terdapat dalam hubungan sosial.
Dengan kata lain, seorang anggota masyarakat itu tidaklah dapat mengadakan interaksi sosial dengan semua orang yang menjadi warga masyarakatnya. Begitu juga, seorang anggota masyarakat yang mempunyai hubungan sosial dengan sejumlah warga masyarakat tidaklah sama dalam hal sering dan eratnya hubungan sosial yang dipunyainya dengan semua anggota masyarakat yang mempunyai hubungan sosial dengan dirinya. Dengan demikian, ada sejumlah orang-orang tertentu yang mempunyai hubungan-hubungan sosial yang erat dan sering dengan orang tersebut, sedangkan sejumlah orang lainnya jarang-jarang mengadakan interaksi sosial dengan orang tersebut sehingga hubungan sosialnya tidak erat, dan masih ada sejumlah orang lainnya yang juga anggota masyarakat tersebut yang tidak mempunyai hubungan sosial dengan orang tersebut.
Kalau kita melihat hubungan sosial di antara dua orang individu sebagai sebuah garis, maka hubungan sosial yang terwujud antara seorang individu dengan sejumlah orang individu dapat dilihat sebagai sejumlah garis yang menghubungkan si individu tersebut dengan individu-individu lainnya dan yang garis-garis tersebut berpusat pada si individu tersebut. Dalam kenyataan kehidupan manusia bermasyarakat, hubungan-hubungan sosial yang terwujud bukanlah hanya antara dua pihak saja tetapi merupakan suatu hubungan seperti jala atau jaring yang mencaku sejumlah orang banyak. Karenanya, hubungan-hubungan sosial yang mencakup hubungan di antara tiga orang atau lebih dinamakan jaringan sosial.
Jaringan sosial adalah suatu pengelompokkan yang terdiri atas tiga orang atau lebih, yang masing-masing orang tersebut mempunyai identitas tersendiri, dan yang masing-masing dihubungkan antara satu dengan lainnya melalui hubungan-hubungan sosial yang ada, sehingga melalui hubungan- hubungan sosial tersebut mereka itu dapat dikelompokkan sebagai suatu kesatuan sosial atau kelompok sosial. Hubungan-hubungan yang ada diantara mereka yang terlibat dalam suatu jaringan sosial biasanya tidak bersifat hubungan-hubungan yang resmi tetapi hubungan-hubungan yang tidak resmi atau perseorangan. Karena juga, mereka yang berada dalam suatu jaringan sosial biasanya tidak sadar akan keanggotaannya dalam jaringan sosial tersebut, karena jaringan sosial tersebut belum tentu terwujud sebagai suatu organisasi atau perkumpulan resmi.
Jaringan-jaringan sosial telah terbentuk dalam masyarakat karena manusia tidak dapat berhubungan dengan semua manusia yang ada. Hubungan-hubungan sosial yang dipunyai oleh seorang manusia selalu terbatas pada sejumlah manusia. Begitu juga, setiap orang telah belajar dari pengalaman-pengalaman sosialnya masing-masing untuk memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang paling menguntungkan bagi dirinya, yang terbatas jumlahnya dibandingkan dengan jumlah rangkaian hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam masyarakatnya, yang dapat digunakannya.
Sejumlah ahli ilmu-ilmu sosial telah menggunakan konsep jaringan sosial sebagai pendekatan untuk dapat membuat rekonstruksi struktur sosial. Landasan berpikirnya adalah bahwa suatu jaringan sosial mewujudkan adanya suatu kesatuan atau kelompok sosial; dan bahwa interaksi di antara mereka yang terlibat dalam satu jaringan sosial mempunyai suatu corak keteraturan tersendiri; dan bahwa keteraturan tersebut mencerminkan adanya aturan-aturan yang berupa suatu pola mengenai hubungan-hubungan sosial yang melibatkan statu atau identitas dan peranan sosial dari para pelakunya; dan bahwa dengan menggunakan pendekatan jaringan sosial ketepatan corak dari struktur sosial dapat lebih dipertanggung jawabkan karena penggunaan tehnik-tehnik dan analisa kwantitatif.
Dalam uraian ini telah ditunjukkan pengertian struktur sosial dan kaitan pengertian tersebut dengan kebudayaan, masyarakat, dan dengan hubungan sosial. Uraian ini juga berusaha menunjukkan bahwa struktur sosial bukanlah suatu konsep yang dipahami atau dimengerti oleh para pelakunya yang terlibat di dalamnya. Sebaliknya, struktur sosial adalah suatu hasil bangun teoritis (theoretical construct) yang dibuat oleh ahli ilmu-ilmu sosial.
Kalau dalam uraian ini diperlihatkan bahwa struktur sosial itu diciptakan oleh ahli ilmu-ilmu sosial dari hasil pengamatan atau penelitiannya yang memusatkan perhatian pada kelakuan sosial manusia; maka sebaliknya seorang ahli ilmu-ilmu sosial juga dapat menggunakan konsep struktur sosial sebagai suatu alat analitis yang digunakan untuk memahami dan mengkaji tindakan-tindakan dan kelakuan sosial yang terwujud dalam berbagai kegiatan sosial dalam sesuatu masyarakat.
Hubungan Kerjasama, Struktur Sosial, Dan Kapital Sosial
Secara singkat struktur sosial dapat didefinisikan sebagai pola dari hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi, yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Pengertian hak dan kewajiban para pelaku dikaitkan dengan masing-masing status dan peranan para pelaku. Status dan peranan bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasi-situasi sosial di mana interaksi sosial itu terwujud
Dalam kenyataan, kehidupan manusia bermasyarakat, hubungan-hubungan sosial yang terwujud bukanlah hanya antara dua pihak saja tetapi merupakan suatu hubungan seperti jala atau jaring yang mencakup sejumlah orang banyak. Karenanya, hubungan-hubungan sosial yang mencakup hubungan diantara tiga orang atau lebih dinamakan jaringan sosial.
Jaringan sosial adalah suatu pengelompokkan yang terdiri atas tiga orang atau lebih, yang masing-masing orang tersebut mempunyai identitas tersendiri, dan yang masing-masing dihubungkan antara satu dengan lainnya melalui hubungan-hubungan sosial yang ada, sehingga melalui hubungan-hubungan sosial tersebut mereka itu dapat dikelompokkan sebagai suatu kesatuan sosial atau kelompok sosial. Hubungan-hubungan yang ada diantara mereka yang terlibat dalam suatu jaringan sosial biasanya tidak bersifat hubungan-hubungan yang resmi tetapi hubungan-hubungan yang tidak resmi atau perseorangan. Karena juga, mereka yang berada dalam suatu jaringan sosial biasanya tidak sadar akan keanggotaannya dalam jaringan sosial tersebut, karena jaringan sosial tersebut belum tentu terwujud sebagai suatu organisasi atau perkumpulan resmi.
Jaringan-jaringan sosial telah terbentuk dalam masyarakat karena manusia tidak dapat berhubungan dengan semua manusia yang ada. Hubungan-hubungan sosial yang dipunyai oleh seorang manusia selalu terbatas pada sejumlah manusia. Begitu juga, setiap orang telah belajar dari pengalaman-pengalaman sosialnya masing-masing untuk memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang paling menguntungkan bagi dirinya, yang terbatas jumlahnya dibandingkan dengan jumlah rangkaian hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam masyarakatnya, yang dapat digunakannya.
Di lain pihak bahwa dalam kerjasama kepercayaan adalah sendi dasar utama, baik dalam hubungan personal maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka yang kehilangan kepercayaan akan sulit berhubungan satu sama lain. Jika masyarakat menderita krisis kepercayaan, berarti masyarakat sedang digoyang, digerus, dan digerogoti penyakit yang paling mendasar, fundamental. Ada tidaknya kepercayaan ini sangat menentukan kualitas kehidupan manusia dan masyarakatnya.
Persoalannya sekarang bahwa paradigma berpikir yang sering mengemuka dalam pikiran kita, di antaranya selalu menganggap orang yang tidak sama dari segi identitas, baik agama, etnik, pilihan partai politik, kelompok keagamaan, bahkan antar tetangga yang saling berdekatan pun, dianggap sebagai orang lain (the other). Jadi, ketika muncul persoalan-persoalan yang menyangkut dengan kepentingan diri kita manakala berhubungan dengan orang lain selalu disikapi dengan sikap curiga, dan hati-hati. Oleh karena itu, cara berpikir semacam itu akan mengalami kesulitan dan penghambat yang cukup vital bagi terciptanya saling bekerja sama, duduk bersama mendialogkan persoalan yang dihadapinya.
Sejumlah persoalan yang diakibatkan hilangnya trust dan sikap toleran dalam masyarakat kita ternyata berimplikasi luas terhadap konstruksi budaya secara keseluruhan. Kecurigaan seseorang kepada yang lainnya melahirkan masalah-masalah yang tidak sepele. Lebih jauh lagi, wajah dari kehidupan politik pada masa transisi dewasa ini di Indonesia diwarnai dengan wajah kekerasan secara terbuka. Proses demokratisasi dibarengi dengan konflik yang bermuatan kekerasan yang dapat dikatakan cukup merata. Lahirnya konflik antaretnis, persaingan identitas budaya yang tidak fair dan tidak terkelola dengan baik, perlakuan yang diskriminatif terhadap hak-hak minoritas, berangkat dari masyarakat yang tidak memiliki sikap saling percaya dan toleran.
Jika ditarik dengan garis linier, proses ketidakpercayaan yang amat intens itu bisa mengarah pada kondisi serba prasangka, dari distrust menuju prejudice. Pada krisis kepercayaan, apa pun yang dilakukan siapa pun yang sudah tidak kita percayai, bahkan prestasi sekalipun bagi kita tak ada benarnya, tak ada kebenaran disana. Sementara itu, prasangka, bahkan ketika orang yang kita jadikan sasaran prasangka tidak atau belum melakukan tindakan apa pun, kita sudah tak melihat kebenaran padanya. Jadi prasangka jauh lebih memprihatinkan dan berbahaya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kapital Sosial (KS) dalam konteks ini adalah dalam bentuk potensi yaitu struktur sosial, hubungan sosial, dan kerjasama akan diaktualisasikan kalau ada rasa percaya (trust) yang tinggi pada orang atau kelompok sosial pada pihak lain akan potensi yang dimiliki orang itu yang berupa Kapital Manusia (KM). Hubungan seperti ini dapat dirumuskan dalam formula KM-KS, yang artinya bahwa KM merupakan dasar atau pondasi bagi aktualisasi KF.
Memang tidak mudah untuk membangun budaya saling percaya (interpersonal trust) antara masyarakat, pemerintah dan elite politik. Tanpa itu, jangan harap sebuah negara bangsa bisa hidup normal dan wajar. Pepatah mengatakan, negara bisa ada tanpa tentara, juga bisa ada walau rakyatnya kekurangan makan, tetapi negara tidak mungkin ada jika ia tidak punya pemerintahan yang dapat dipercaya.
* KanG Naryo
Posting Komentar