Headlines News :
Home » » Tela'ah Kritis Implementasi APBN dalam Bingkai Ekonomik Politis

Tela'ah Kritis Implementasi APBN dalam Bingkai Ekonomik Politis

Written By Kang Naryo on Senin, 08 Juli 2013 | 20.28

Abstraksi 

Mochamad Sunaryo, 2013, Telah Kritis Implementasi APBN Dalam Bingkai Ekonomik Politis.

Dalam kehidupan sehari-hari, peristiwa dan perkembangan ekonomi menunjukkan dinamika yang amat kompleks. Sebagai upaya menjelaskan lebih lanjut kompleksitas tersebut, maka diperlukan berbagai kajian tidak hanya melalui faktor-faktor ekonomi itu sendiri , melainkan dipengaruhi berbagai faktor social politik. Tulisan berikut ingin mengulas beberapa pandangan tentang anggaran APBN dilihat dalam perpektif ekonomi politik
Ekonomi politik sebagai suatu cabang ilmu tentang evolusi kemasyarakatan yang didalamnya inti dari dinamika perkembangan ekonomi secara sistematis dikaitkan dengan perubahan sosial politik, dan selanjutnya itu semua mengembalikan pengaruhnya kepada proses ekonomi. Sedangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari – 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang. Jadi, dalam APBN ini proses politiknya disimpulkan bahwa tidak ada kepemimpinan dalam proses APBN. Istilahnya, dalam teori ekonomi politik APBN diserahkan kepada political market atau seperti pasar barang bekas. Bukan pasar yang canggih. Akibat tidak ada kepemimpinan dalam APBN di Indonesia, makapostur dan struktur APBN semakin rapuh dan tidak sehat.
Tak ada kebijakan politik yang boleh dilahirkan tanpa adanya konsultasi publik. Sebagai konsekuensinya, semakin beragam kelompok dan kepentingan warga, makin lama proses itu diambil Idealnya, mekanisme pengambilan keputusan tersebut sungguh-sungguh didasarkan pada kepentingan masyarakat. Politik anggaran kita juga cenderung memilih anggaran berimbang dengan “membiarkan” politik subsidi untuk harga BBM. Demi menjaga stabilitas politik dalam negeri, Pemerintah cenderung bertahan pada harga minyak domestik yang dipandang memiliki nilai keekonomian, di satu pihak, dan bernuansa populis di pihak lain. Dengan demikian, diharapkan, politik harga enerji ini dapat member kontribusi terhadap APBN, di satu sisi, dan melindungi ekonomi rakyat di sisi lain. Pada gilirannya, pertumbuhan ekonomi makro akan tetap terjaga, dan pengelolaan politik juga bias diteruskan Akan tetapi, politik kebijakan kita, termasuk dalam menentukan harga minyak, sangat ditentukan oleh elite. Sebagai akibatnya, ketika kepentingan elite terakomodasi, politik itu tak lagi relevan. Semua proses politik tak pernah jauh dari transaksi yang menguntungkan semua pihak terkait. 

Kata Kunci: Ekonomi Politik, APBN, Demokrasi, Politik Kebijakan

Pengantar
Siapa pun yang menonton kerja para anggota DPR RI lewat layar kaca di akhir Maret 2012 lalu, pasti akan mempunyai kesimpulan yang berbeda-beda. Kegaduhan di ruang sidang, jelas menjadi pendapat umum. Para wakil rakyat yang mestinya duduk manis di kursi masing-masing, ternyata berjalan hilir mudik. Ada yang berembug sesama fraksi, atau berdebat antar fraksi dalam kapasitas yang berbeda, fraksi koalisi di satu pihak, dan fraksi oposisi, di pihak lain.
Tidak sedikit pula yang merangsek ke meja pimpinan - yang dianggapnya tidak akomodatif. Bahkan tak sedikit pula yang berteriak-teriak, persis suasana kelas. Lalu, yang sedikit tertib memperdengarkan suaranya lewat mikrofon, “…interupsi pimpinan…” berulang-ulang, sampai ada tanggapan kepadanya
Diketahui bersama, suasana Sidang Paripurna DPR RI di atas berlangsung untuk menentukan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang sudah sekian lama menjadi wacana. Sesuai dengan kehendak Pemerintah, karena kecenderungan harga minyak di pasar global naik terus, tidak sehat rasanya bila harga minyak domestik tetap bertahan pada posisi Rp 4.500,- / liter. Selain akan mengganggu neraca APBN, juga tidak adil rasanya bila pemerintah membiarkan pemberian subsidi atas harga minyak tersebut dinikmati oleh mereka yang mampu.
Mengingat sebagian besar pengguna BBM adalah pemilik kendaraan bermotor, pemerintah berkesimpulan bahwa makna subsidi selama ini telah salah arah. Di samping itu, seandainya kita bertahan dengan harga minyak di atas, bukan mustahil akan mengundang “ pasar gelap” minyak di wilayah kita. Ketika harga minyak di semua Negara tetangga jauh di atas Rp 4500,_ niscaya tak sedikit pedagang di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Timor Leste yang membeli minyak di sini. Bila hal ini terjadi, bukan memperbesar pemasukan uang kepada Negara, melainkan memperkaya para penyelundup, baik asing maupun domestik.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara  (APBN) merupakan alat utama  pemerintah  untuk  mensejahterakan  rakyatnya  dan  sekaligus  alat  pemerintah untuk mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah, APBN bukan hanya  menyangkut  keputusan  ekonomi,  namun  juga  menyangkut  keputusan politik.  Dalam  konteks  ini,  DPR  dengan  hak  legislasi,  penganggaran,  dan pengawasan  yang  dimilikinya  perlu  lebih  berperan  dalam  mengawal  APBN sehingga  APBN  benar-benar  dapat  secara  efektif  menjadi  instrumen  untuk mensejahterakan rakyat dan mengelola perekonomian negara dengan baik.
Pembahasan APBN idealnya jangan sampai hanya sekadar mengutak-atik angka. Dalam hal ini pembahasan APBN merupakan momentum yang tepat untuk meninjau kembali politik anggaran negara. Artinya bahwa politik anggaran merupakan unsur utama dalam politik ekonomi pemerintah dan instrumen kebijakan penting bagi negara.
Volume APBN terus melembung, ini sudah menjadi rahasia umum dari tahun ke tahun. Namun hal ini sering kali tidak berkorelasi langsung dengan tingkat kesejahteraan mayoritas rakyat sehingga hal ini memunculkan pertanyaan, siapa sebenarnya yang menikmati pembangunan? Jika memakai batas garis kemiskinan 2 dollar per hari dari bank dunia (sejak tahun 2007), jumlah penduduk miskin dan rentan menjadi miskin di Indonesia adalah 108,78 juta (49%). Merekalah yang seharusnya menjadi pokok utama dari penyusunan dan realisasi APBN.
Di luar hiruk pikuk masalah politis, penting untuk dilihat sejauhmana anggaran kita berpihak pada siapa?  Artinya kebijakan yang disepakati dalam pembahasan APBN seharusnya mencerminkan posisi anggaran itu.  Bila keberpihakan pada “rakyat”, anggaran untuk masyarakat seharusnya lebih besar, khususnya masyarakat miskin, tertinggal maupun terisolasi.  Bila keberpihakan pada masyarakat secara merata, posisi anggaran dapat “status quo” bila pemerintah mempertahankan azas pemerataan tanpa keadilan. 
Tulisan berikut ingin mengulas beberapa pandangan tentang anggaran APBN dilihat dalam perspektif ekonomi politik.  Agar pembaca memahami struktur anggaran APBN saat ini sangat tidak sehat, baik untuk pembangunan maupun masyarakat bawah sebagai kelompok terbesar di republik ini.
 B.    Pembahasan
Proses perkembangan ekonomi politik sesungguhnya banyak ditentukan oleh empat variable dasar, yakni ekonomi, politik, struktur sosial, dan kebudayaan. Kebekerjaan suatu system ekonomi dan proses politik sesungguhnya merupakan dua sisi dari mata uang, sehingga pada dasarnya disiplin ilmu ekonomi dan ilmu politik tidak dapat dipisahkan begitu saja
Istilah ekonomi politik seringkali dipertukarkan dengan politik ekonomi padahal secara metodologis kedua istilah itu mengandung perbedaan yang subtansi. Politik ekonomi merupakan suatu unsur atau elemen yang menjadi alat dari ekonomi dan rasionalisasi kekuatan politik dalam melaksanakan rencana-rencana aplikasi itu sendiri untuk mencapai sasaran yang dikehendaki.
Politik ekonomi di sebut Das Sollen -- apa yang sebaiknya dilakukan-- karena dipandang tidak sama dan sebangun dengan ilmu pengetahuan, melainkan sebuah produk Policy Sciences. Sedangkan ekonomi politik disebut Das Sains, -- sebuah realita yang telah terjadi sedangkan-- sebab dalamnya eksplisit berbagai prasarat keilmuan yang memiliki wilayah kajian yang luas sebagai ilmu maupun pengetahuan menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara faktor ekonomi dan faktor politik.
1.  Pengertian Ekonomi Politik dan Kajian Kriktis Kekinian
Pengertian dari ekonomi politik sudah dari dulu menjadi salah satu issu yang diperhatikan oleh para ahli-ahli di bidang ekonomi dan sosial. Hal tersebut disebabkan karena pemikiran awal yang menyatakan bahwa ekonomi dan politik merupakan dua bidang yang berbeda, namun sebenarnya keduanya memiliki pengaruh yang sangat jelas satu sama lain sehingga keduanya mendapatkan perhatian yang besar dimana ternyata terbentuknya suatu kebijakan politik dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan ekonomi ternyata sangat dipengaruhi oleh bidang-bidang sosial dan juga politik.
Beberapa ahli dalam politik ekonomi pada awal abad  ke-18 lebih mendefiniskan politik ekonomi sebagai suatu ilmu yang dapat memakmurkan suatu negara, seperti Adam Smith yang mendifinisikan “ekonomi politik sebagai suatu cabang pengetahuan bagi para negarawan atau legislator dan sebagai suatu pembimbing untuk mengelola ekonomi Negara dengan hati-hati”. Sedangkan menurut John Stuart Mill, politik ekonomi adalah “suatu ilmu yang memberikan pelajaran kepada suatu bangsa untuk menjadi makmur”.
Lord Robbin dalam bukunya Political Economy: Post and Present: A review of Leading Theories of Economy Policy, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi politik dapat mengandung dua versi. Pertama, ialah versi ekonomi politik klasik yang member pengertian ekonomi politik sebagai suatu kesatuan menyeluruh dari suatu pembahasan, sejak dari ilmu ekonomi (murni, teori) itu sendiri sampai dengan teori-teori kebijakan ekonomi yang meliputi analisis dari bekerjanya ekonomi pasar, alternative system kebijakan dan prinsip-prinsip keuangan Negara. Kedua, ekonomi politik versi modern yaitu ekonomi politik yang membahas bagaimana system ekonomi itu bekerja, dapat bekerja, harus dibuat bekerja dan memungkinkan dirinya bekerja.
Dalam buku Ekonomi Politik yang ditulis oleh Didik J. Rachbini (2001:3-4) dikatakan bahwa sebagai suatu disiplin ilmu, ekonomi politik lahir dari pemikiran-pemikiran untuk menemukan sinergi, mengisi kekosongan (cross-fertilization) yang tidak dijumpai dalam satu disiplin ekonomi dan disiplin politik. Pada awalnya, para ahli ilmu politik agak resisten terhadap upaya sinergi seperti itu karena sangat didominasi oleh anggapan “imperialism ekonomi” yang mulai merambah kemana-mana di luar batas kewajaran suatu disiplin ilmu. Alasan atau kekhawatiran seperti itu masuk akal, mengingat teori-teori atau tepatnya paradigm pilihan rasional (rational choice) muncul pertama kali dalam bentuk struktur matematis formal, dan berkembang dalam domain teori-teori ekonomi mikro. Pada waktu itu nyaris tidak ada upaya untuk mengembangkan argument-argumen deduktif ekonomi serta tidak terdapat karya-karya interdisipliner yang cukup kokoh. Pada decade 1950 dan 1960 an, tepatnya setelah Kenneth Arrow (1951) menghasilkan karya Social Choice and Individual Values dan Mancur Olson (1965) menulis The Logic of Collective Action, paradigm pilihan rasional mulai memperoleh tempat dalam ilmu-ilmu politik.
Dari definisi tersebut kemudian, beberapa ahli ekonomi, seperti para ekonom dari Chicago School mendefiniskan politik ekonomi sebagai suatu usaha dari suatu individu untuk memaksimalisasikan, memuaskan atau mengoptimalkan kepentingan mereka
Sedangkan James A. Caporaso dan David P. Levine-yang populer disebut Caporaso Levine-melakukan pengkajian beberapa kerangka yang sangat penting untuk memahami hubungan antara ekonomi dan politik, termasuk Ekonomi Klasik, Neoklasik, Marxian, Keynesian, negara-terpusat, daya-terpusat, dan keadilan di tengah-tengahnya. Buku ini menekankan perbedaan pemahaman antara keduanya secara keseluruhan dari kerangka teori dan isu-isu umum.
Diawali dengan pendekatan yang disebut sebagai pendekatan klasik, dengan menelaah pemikiran-pemikiran dari berbagai ekonom klasik, terutama Adam Smith dan David Ricardo untuk mengkaji apa-apa inti permasalahan yang dibahas dalam ilmu ekonomi politik klasik.
Pendekatan klasik menyatakan bahwa pasar memiliki kemampuan untuk mengelola dirinya sendiri dalam artian kuat (strong sense) dimana pandangan seperti ini seringkali dijadikan dasar untuk melaksanakan kebijakan pasar bebas, yang tidak kalah pentingnya untuk dikemukakan adalah bahwa para teoritisi klasik ini adalah yang pertama kalinya memandang perekonomian sebagai sebuah sistem yang secara prinsip terpisah dari politik dan rumah tangga.
Argumen yang mereka ajukan untuk konsep pasar yang mengatur dirinya sendiri mengatakan bahwa sistem pasar adalah sebuah realita yang akan tercipta dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia, dimana pasar memiliki hubungan dengan negara tapi pasar bukan organ bawahan dari negara. Ide ini adalah sebuah inovasi dimasa itu yang diajukan oleh ekonomi politik beraliran klasik.
Pandangan teori klasik ini, setelah mapan dan diterima banyak kalangan, membuat istilah ekonomi politik sendiri menjadi kurang jelas maknanya. Pokok pikiran yang diajukan oleh teori klasik adalah bahwa ekonomi tidak bersifat politik atau paling tidak bahwa ekonomi tidak bersifat politik. Bahkan bisa dikatakan bahwa dengan bangkitnya sistem kapitalisme, ekonomi menjadi terdepolitisasi. Karenanya tidak heran bahwa dengan munculnya teori klasik, istilah ekonomi menggeser istilah ekonomi politik.
Hingga kemudian, banyak kalangan meragukan kebenaran dari pandangan klasik ini. Selama 36 tahun terakhir, para ilmuwan sosial mengambil kembali “ekonomi politik” tapi dengan tujuan untuk menekankan bahwa ekonomi selalu bersifat politik. Beberapa teoritisi menggunakan teori Karl Marx untuk mendukung pendapat ini.
Lebih lanjut Caporaso Livine, memberikan eksplorasi bagian tertentu terhadap teori Marx untuk mengkaji lebih mendalam bagaimana pandangan Marx tentang hubungan antara ekonomi dan politik. Penulis memandang bahwa Marx pada dasarnya mengusung proyek eknomi klasik dalam artian bahwa marx memandang perekonomian kapitalis sebagai suatu yang pada dasarnya tidak memiliki sifat politik. Sebaliknya marx justru berusaha untuk menunjukkan bahwa faktor-faktor politik itu disebabkan oleh dinamika dari proses ekonomi kapitalis dan berusaha menjelaskan bagaimana proses itu mewarnai pertarungan-pertarungan politik berskala besar dalam sejarah.
Untuk membuktikan bahwa cara kerja dari perekonomian kapitalis membawa dampak politik, Marx mengajukan kritik terhadap pandangan klasik tentang pasar yang meregulasi dirinya sendiri. Dia melakukan kritik ini bukan dengan tujuan untuk membenarkan konsep kapitalisme yang dikendalikan negara, melainkan dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa kapitalisme tidak dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama.
Caporaso Livine menilai cara pandang Marx dalam memandang hubungan antara agenda politik dengan faktor-faktor ekonomi. Marx dipandang tetap berpegang pada pemahaman klasik bahwa ekonomi adalah sebuah bidang tersendiri dalam kehidupan masyarakat yang terpisah dari bidang-bidang lain, hanya saja Marx mengajukan sebuah konsep berbeda dari pemikir-pemikir klasik lain tentang hubungan antara bidang politik dengan bidang ekonomi.
Terkait seputar pendekatan neo-klasik. Pendekatan ini menguraikan hubungan antara politik dengan ekonomi berdasarkan ide tentang kegagalan pasar, yaitu dimana kegagalan pasar didefinisikan dengan menggunakan konsep pilihan pribadi dan penggunaan sumber daya secara efisien. Bagi para pemikir neo-klasik, “ekonomi” adalah transaksi-transaksi swasta yang dilakukan untuk memaksimalkan kegunaan yang didapatkan individu sementara “politik” adalah penggunaan kewenangan publik untuk mencapai tujuan yang sama juga.
Sedang argumen Keynesian dan beberapa implikasinya bagi pergeseran hubungan antara politik dengan ekonomi. Ketika kewenangan publik makin banyak mengambilalih wilayah-wilayah yang sebelumnya dikendalikan oleh pasar bebas, maka cara pemikiran kita terhadap ekonomi mengalami perubahan-perubahan yang mungkin tidak kentara tapi sangat penting. Upaya untuk membenarkan sistem ekonomi kapitalis dilakukan dengan mengkritik asumsi-asumsi dasar dari sistem itu tentang sejauh mana seharusnya pasar dibatasi.
Dari uraian tersebut di atas  dapat disimpulkan bahwa dua cara untuk memahami hubungan antara ilmu politik dan ilmu ekonomi, yaitu yang pertama dengan memfokuskan pada konsep negara dan yang kedua dengan memfokuskan pada konsep keadilan. Ekonomi politik yang beraliran klasik bertolak dari ilmu ekonomi dan analisa terhadap operasi ekonomi. Negara dipandang mempunyai peran untuk memberikan respon. Pendekatan-pendekatan yang berpusat pada negara menggeser keseimbangan antara pasar dengan negara menjadi lebih condong ke negara, dimana nengara dianggap bebas untuk menjalankan agendanya sendiri demi kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, dari keseluruhan deskriptif diatas bisa dirunut dengan sebuah narasi bahwa keynesian berpandangan bahwa fungsi negara diperlukan untuk mencegah terjadinya resesi ekonomi akibat rendahnya agregat permintaan (under consumtion) bagi keynes, jika negara dibiarkan “diam” maka selamanya resesi secara periodik akan muncul, karena persoalan rendahnya agregat permintaan tersebut bersifat sistematis. Pemikiran ini dengan terang memberikan ilustrasi, bahwa negara dalam moment-moment tertentu harus bertindak untuk mengatasi kegagalan pasar (Erani:37). Tujuan dari tindakan ini untuk memulihkan kembali aktifitas ekonomi sehingga tingkat kehidupan dan kesejahteraan rakyat dapat terus berlangsung, yang dalam keadaan normal sebenarnya sudah terbiasa dijalankan oleh pasar. Intervensi pemerintah lebih banyak dipakai untuk stabilisasi ekonomi dengan berkutat pada area berikut, yakni memanipulasi permintaan agregat, memperkuat sektor keuangan, dan stabilisasi harga. Sebagian besar hal itu dilakukan dengan memanfaatkan kebijakan fiskal pemerintah.
Dalam kenyataannya pasar yang justeru sistem regulasinya diatur oleh pemerintah malah tidak bisa menstabilkan kondisi pasar yang ada, pada hal seharusnya kalau kita merujuk pada pandangan keynesian, tentu mampu meredakan gejolak-gejolak yang ada dalam mekanisme pasar itu sendiri. Malah sekarang kondisi pasar yang ada di indonesia masih menunjukan praktek-praktek kapitalis. Karena melihat kenyataan-kenyataan yang ada, setiap peraturan yang dikeluarkan malah hanya untuk kekuatan pemodal dan bukan untuk mengatasi persoalan pasar. Nicholson (1992:177), mengemukakan prinsipnya mengenai kesejahteraan sosial; yaitu keadaan kesejahteraan sosial maksimum tercapai bila tidak ada seorangpun yang dirugikan.
Dikaitkan dengan masalah pasar pengangguran, justeru masih merupakan sebuah problem tersendiri bagi pemerintah Indonesia sekarang karena masalah pengangguran ini erat kaitannya dengan pasar tenaga kerja. Hal ini masih merupakan penyesuaian dengan keterbatasan yang membatasi dirinya. Pasar merupakan interaksi antara permintaan dan penawaran yang akhirnya menghasilkan harga. Dan karena tenaga kerja termasuk dalam komoditas pasar faktor produksi, maka tenaga kerja juga mempunyai harga dalam perdagangannya. Masih menurut cara berpikir aliran neoklasik, kegiatan perekonomian digerakan oleh dua sumbu: investasi dan tabungan. Dalam pandangan ini pertumbuhan ekonomi hanya mungkin terjadi bila ada investasi, karena dengan investasi akan diraih dua hal sekaligus: 1. investasi akan menciptakan permintaan tenaga kerja dan dengan begitu akan menimbulkan kekuatan daya beli akibat tingkat pendapatan yang diterima oleh pekerja. 2. Investasi akan menghasilkan barang/jasa yang dilemparkan ke pasar dan ini menjadi dasar dari pendapatan ekonomi nasional (Erani:224).
Dawam Rahardjo, berpendapat bahwa ekonomi politik atau political economy adalah suatu cabang ilmu tentang evolusi kemasyarakatan yang didalamnya inti dari dinamika perkembangan ekonomi secara sistematis dikaitkan dengan perubahan social politik, dan selanjutnya itu semua mengembalikan pengaruhnya kepada proses ekonomi (Rahardjo, 1988:viii).
Pada hal pembangunan hanya bisa dicapai dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar guna meningkatkan taraf hidup masyarakat. Menurut Human Development Report (2000: 3 b.) menyatakan: “Development should begin with the fulfillment of the basic material needs of an individual including food, clothing, and shelter, and gradually reach the highest level of self-fulfillment. The most critical form of self-fulfillment include leading a long and healthy life, being educated, and enjoying a decent standard of living. Human development is a multidimensional concept comparising four demension, economic, social-psyhological, political and spiritual.
2. Konsepsi dan Implementasi APBN
Secara umum pengertian anggaran adalah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk suatu periode pada masa yang akan datang. Sedangkan secara sempit pengertian anggaran adalah suatu pernyataan tentang tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi pada suatu periode di masa yang akan datang, serta data pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi disaat ini dan masa yang lalu.
Dalam perspektif ini bahwa semuan tindakan pemerintah yang mempunyai akibat keuangan sehingga negara dibebani kewajiban untuk membayar dan negara memperoleh hak untuk menagih adalah termasuk dalam bidang keuangan negara. Untuk dapat menjabarkan pengertian keuangan negara tersebut secara riil maka diperlukan adanya proses perencanaan (planning). Proses perencanaan dalam kaitannya dengan APBN tentu berkaitan dengan perencanaan keuangan (budgeting atau penganggaran.
Budget atau anggaran adalah pengertian umum diartikan sebagai sesuatu rencana kerja untuk suatu periode yang akan datang yang telah dinilai dengan uang. Di Indonesia sendiri, pada awal mulanya (pada jaman pemerintahan Hindia-Belanda) secara resmi digunakan istilah begrooting untuk menyatakan pengertian anggaran. Namun sejak Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, istilah “Angaran Pendapatan dan Belanja” dipakai secara resmi dalam pasal 22 ayat 1 UUD 1945, dan di dalam perkembangan selanjutnya ditambahkan negara untuk melengkapinya sehingga menjadi Angaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari – 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.
Adapun fungsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah sebagai berikut: (a) Fungsi alokasi, yaitu penerimaan yang berasal dari pajak dapat dialokasikan untuk pengeluaran yang bersifat umum, seperti pembangunan jembatan, jalan, dan taman umum. (b) Fungsi distribusi, yaitu pendapatan yang masuk bukan hanya digunakan untuk kepentingan umum,tetapi juga dapat dipindahkan untuk subsidi dan dana pensiun. (c) Fungsi stabilisasi, yaitu Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) berfungsi sebagai pedoman agar pendapatan dan pengeluaran keuangan negara teratur sesuai dengan di terapkan. Jika pendapatan dipakai sesuai dengan yang di terapkan, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) berfungsi sebagai stabilisator.
Dalam  rangka  mewujudkan  good  governance  dalam  penyelenggaraan pemerintahan  negara,  sejak  beberapa  tahun  yang  lalu  telah  diintrodusir Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah. Reformasi tersebut mendapatkan landasan hukum  yang  kuat  dengan  telah  disahkannya UU No.  17 Tahun  2003 tentang  Keuangan  Negara,  UU  No.  1  Tahun  2004  tentang  Perbendaharaan Negara,  dan  UU  No.  15  Tahun  2004  tentang  Pemeriksaan  Pengelolaan  dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dari sisi obyek Keuangan Negara akan meliputi seluruh hal dan kewajiban negara    yang  dapat  dinilai  dengan  uang,  di  dalamnya  termasuk  berbagai kebijakan  dan  kegiatan  yang  terselenggara  dalam  bidang  fiskal,  moneter  dan atau pengelolaan  kekayaan negara  yang dipisahkan. Selain  itu  segala  sesuatu dapat  berupa  uang maupun  berupa  barang  yang  dapat  dijadikan milik  negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 
Dari  sisi  subyek,  keuangan  negara meliputi  negara,  dan/atau  pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. 
Keuangan  Negara  dari  sisi  proses mencakup  seluruh  rangkaian  kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek di atas mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
Terakhir,  keuangan  negara  juga  meliputi  seluruh  kebijakan,  kegitan  dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana  tersebut  di  atas  dalam  rangka  penyelenggaraan  pemerintahan negara, pendekatan terakhir ini dilihat dari sisi tujuan.
Dengan  pendekatan  sebagaimana  diuraikan  di  atas,  UU  No.  17/2003 merumuskan  sebagai  berikut:  Keuangan  negara  adalah  “semua  hak  dan kewajiban  negara  yang  dapat  dinilai  dengan  uang,  serta  segala  sesuatu  baik berupa  uang  maupun  berupa  barang  yang  dapat  dijadikan  milik  negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban  tersebut”.  (Pasal 1 huruf 1 UU No. 17/2003).
Sedangkan peranan DPR  dalam  penganggaran  dapat  dijalankan  berdasarkan  fungsi-fungsi yang dimilikinya. Berdasarkan Pasal 20A UUD 1945 Perubahan Pertama, DPR mempunyai  tiga  fungsi, yaitu  fungsi  legislasi,  fungsi anggaran, dan  fungsi pengawasan. 
Fungsi  Legislasi.  Dalam  menjalankan  fungsi  legislasinya,  DPR menetapkan dan menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Pemerintah. Proses penetapan  itu  sendiri  diatur  dalam  Peraturan  Tata  Tertib  DPR  RI.  Sebelum menetapkan  dan menyetujui RUU APBN  yang  diajukan  oleh Pemerintah, DPR terlibat  secara  intens  dalam  keseluruhan  proses  penyusunan  dan  penetapan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Fungsi Anggaran. Berkenaan dengan  fungsi anggaran, DPR mempunyai hak budget sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat  (2) UUD 1945 Perubahan Ketiga  yang  menyebutkan  bahwa  RUU  APBN  diajukan  oleh  Presiden  untuk
dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. DPR sesuai dengan hak budgetnya dapat menyetujui ataupun  tidak menyetujui RUU APBN yang  diajukan  oleh  Pemerintah  dan  mengadakan  pembahasan.  Pembahasan RUU  APBN  secara  bersama  oleh  DPR  dan  Presiden  selain  dalam  rangka melaksanakan  fungsi  legislasi  juga  dimaksudkan  agar  DPR  dapat mengetahui dan mengidentifikasi  dengan  jelas  bahwa  terhadap  alokasi  yang  dicantumkan dalam  RAPBN  tersebut  tidak  terjadi  penyelewengan.  Selain  itu,  DPR  juga mempunyai hak untuk mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan  jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU APBN. 
Dalam  konteks  optimalisasi  peranan  DPR  dalam  penganggaran, khususnya  pada  tahap  penyusunan  dan  penetapan  APBN,  Abdullah  Zainie
(2003) menggarisbawahi beberapa hal, diantaranya: 
1. DPR  harus mempunyai waktu  khusus  untuk membahas  proses anggaran dengan  mengkaji  secara  teliti  sehingga  proses  tersebut  dapat  berjalan lancar;
2. DPR harus menguasai keseluruhan struktur dan proses anggaran sehingga bisa memberikan peran yang maksimal terhadap proses anggaran;
3.  DPR  dengan  didukung  oleh  Undang-undang  seharusnya  mampu memberikan  kontribusi  lebih  besar;  bukan  hanya  sekedar menerima  atau menolak  RUU  APBN.  DPR  seharusnya  dapat  mendiskusikan  anggaran sebagai sebuah instrumen kebijakan dan untuk menjamin bahwa anggaran tersebut  sesuai  dengan  prinsip-prinsip  yang  tercantum  dalam  konstitusi. DPR juga harus bisa mengkaji dan menganalisis anggaran secara terperinci berdasarkan fungsi-fungsi yang ada;
4. Anggaran seharusnya digunakan oleh Pemerintah dan DPR untuk bertindak sebagai mitra yang berkepentingan dalam pencapaian tujuan yang sama;
5.  Kepentingan tertinggi partai harus didahulukan di atas kepentingan partai
Fungsi  Pengawasan.  Pengawasan  yang  dilakukan  oleh  DPR  terdiri  dari dua hal, yaitu:
1.  Pengawasan terhadap Pemerintah dalam melaksanakan Undang-undang;
2.  Pengawasan terhadap Pemerintah dalam melaksanakan APBN.  
Pengawasan DPR terhadap Pemerintah dalam melaksanakan APBN dapat dilakukan melalui dua hal, yaitu:
1.  Melalui  rapat-rapat  kerja  yang  dilakukan  oleh  komisi-komisi  DPR  dengan departemen-departemen  pemerintahan.  Dalam  rapat  kerja  tersebut,  DPR dapat  mengadakan  pembahasan  mengenai  berbagai  hal  dengan Pemerintah. Selain itu, DPR juga membahas hasil dengar pendapat komisi-komisi  dengan  masyarakat,  NGO,  akademisi.  Fungsi  pengawasan  dan fungsi  penganggaran  akan  beririsan  ketika  DPR melakukan  pembahasan dengan Pemerintah untuk menyetujui RUU APBN atau PAN yang diajukan oleh Pemerintah.
2.  Menerima dan membahas laporan dari BPK.
Berdasarkan  Pasal  23E  UUD  1945  Perubahan  Ketiga,  ditetapkan  bahwa hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, DPRD, sesuai  dengan  kewenangannya.  Hasil  pemeriksaan  yang  dilakukan  oleh BPK  akan  digunakan  oleh DPR  untuk mengevaluasi  pertanggungjawaban Pemerintah dalam pelaksanaan APBN. Menurut Pasal 145 Peraturan Tata Tertib  DPR,  DPR  membahas  hasil  pemeriksaan  tersebut  yang diberitahukan  oleh BPK  dalam bentuk Hasil Pemeriksaan Semester,  yang kemudian  disampaikan  dalam  rapat  paripurna  DPR  untuk  dipergunakan sebagai  bahan  pengawasan.  Hasil  pemeriksaan  juga  membantu  DPR dalam  rangka  memberikan  persetujuan  atas  PAN  yang  diajukan  oleh Pemerintah.
3.       APBN Rapuh Akibat Kebijakan Politik
Meminjan teory Keynes bahwa ekonomi politik adalah pembuktian yang ia buat bahwa mekanisme penyesuaian diri dalam perekonomian pasar (regulasi yang dilakukan pasar terhadap dirinya sendiri/pnt) memiliki beberapa keterbatasan. Dengan kata lain, perekonomian pasar pada dasarnya tidak mampu memanfaatkan keseluruhan potensi produksi yang ada dalam masyarakat. Seringkali pasar kurang berhasil dalam mempertemukan antara pemasok dengan pembeli (Caporaso:237).
Perubahan terhadap penilaian kolektif mengenai kemampuan pasar untuk mengatur dirinya sendiri menghasilkan beberapa masalah penting dalam agenda politik. Salah satu agenda yang terpenting adalah peran dalam pemerintah untuk menjamin nafkah warga masyarakat dan menjamin adanya investasi dalam masyarakat.
Diketahui bersama bahwa setiap tahun pemerintah selalu menganggarkan APBN untuk kebutuhan belanja negara. Sebelum APBN itu disahkan Presiden, pemerintah dan DPR melakukan rapat kerja terlebih dahulu untuk membahas hal-hal yang sangat penting dalam APBN.
Setiap tahun, APBN negara ini selalu mengalami peningkatan. Tujuannya untuk mengimbangi angka inflasi yang ada di masyarakat. Namun, walaupun pemerintah mensahkan kenaikan APBN setiap tahunnya, APBN tersebut belum dapat mengangkat taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.
Walaupun angka APBN telah mengalami peningkatan, namun APBN Indonesia rapuh. Persoalannya setelah ada penambahan angka APBN setiap tahunnya. Apakah ada pembangunan infrastruktur yang signifikan selama lima tahun terakhir? “Jawabnya jelas tidak ada.
Di negeri ini hanya ada satu undang-undang (UU) yang dapat diusulkan pemerintah. Sedangkan DPR tidak dapat mengusulkan UU tersebut. UU itu adalah UU APBN. Baik dan buruknya atau strukturnya seperti apa, itu tergantung pemerintah.
Jadi, dalam APBN ini proses politiknya disimpulkan bahwa tidak ada kepemimpinan dalam proses APBN. Istilahnya, dalam teori ekonomi politik APBN diserahkan kepada political market atau seperti pasar barang bekas. Bukan pasar yang canggih. Akibat tidak ada kepemimpinan dalam APBN di Indonesia, makapostur dan struktur APBN semakin rapuh dan tidak sehat.
Fiskal space hanya tersisa sekitar 5% setelah dikurangi belanja yang rutin dan belanja yang sudah mengikat. Kemudian struktur dan postur yang rapuh ini merupakan refleksi dari ketiadaan kepemimpinan ekonomi dan kelemahan kebijakan fiskal. Selain itu, dalam APBN ini sulit untuk membuat kebijakan yang produktif. Sebab, selama politik anggaran seperti saat ini, maka instrumen fiskal akan lemah.
Ambilah contoh kasus kenaikan BBM dalam APBN-P tahun 2012 dengan asumsi walaupun untuk penyelamatan fiskal dan APBN, atau dalam cakupan yang lebih luas ini untuk menyelamatakan ekonomi nasional
Rapat paripurna DPR RI baru saja ditutup.  Rapat tersebut menutup sejumlah keraguan banyak pihak apakah harga BBM dinaikkan atau tidak ?  Nyatanya pemerintah tidak jadi menaikkan harga BBM karena berbagai alasan.  Padahal sejak awal tahun telah ada pernyataan tidak resmi pemerintah yang akan mengeluarkan kebijakan baru terkait harga BBM karena faktor  harga minyak sudah kian meroket menembus batas 100 US$/barrel.   Kebijakan tersebut patut menjadi perhatian karena pada saat yang sama partai pemerintah yakni Partai Demokrat tengah melakukan rapat kordinasi nasional (Rakornas) guna membahas masalah berkaitan dengan kasus internal partai yang membuat nama baik partai menurun.
Dalam kacamata politik saat ini, menaikkan harga BBM di  saat partai pemerintah  tengah menghadapi “pencitraan negatif” dan mengalihkannya pada program infrastruktur dan kesejahteraan rakyat bisa merupakan pilihan tepat.  Jika tidak, bisa saja kecaman masyarakat bawah tidak ada habisnya.  Kepercayaan terhadap pemerintah justru  turun drastis. 
Namun, untuk segera menaikkan harga minyak juga bukan persoalan mudah. Minyak, selain komoditas strategis, secara filosofis memang harus dikendalikan Negara. Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, “Bumi, air dan segala isinya dikuasai Negara…” Dengan demikian, pemerintah tidak memiliki kebebasan untuk menentukan harganya secara otonom dan mengikuti harga pasar. Oleh karena itu pula, Mahkamah Konstitusi sudah mengamandemen UU yang semula member kewenangan kepada pemerintah tersebut. Artinya, untuk menentukan komoditas yang di masa lalu menjadi sumber utama APBN kita, Pemerintah mesti minta persetujuan DPR RI yang notebene adalah wakil rakyat.
Masalahnya, bila diserahkan sepenuhnya kepada wakil rakyat untuk menentukan harga minyak mulai 1 April, niscaya akan dengan mudah harga itu dinaikan. Masalahnya, sebagian besar suara anggota DPR sudah dimobilisasi kedalam Kelompok Koalisi, lewat Sekretariat Gabungan (Setgab). Dari 560 anggota DPR RI, tinggal PDI P (98 suara), Gerindra (28 suara) dan Hanura (17 suara). Praktis, gabungan dari ketiga partai oposisi itu akan dengan mudah dikalahkan oleh partai Koalisi yang terdiri dari Partai Demokrat (148 suara), Golkar (106 suara), PKS (57), PAN (46 suara) dan PPP (38 suara) serta PKB (28 kursi).
Untuk itulah oposisi dan parlemen jalanan muncul. Hamper di seluruh kota besar dan kecil, apa yang disebut kekuatan rakyat lahir dan mengibarkan bendera “perang” terhadap siapa pun yang berusaha menaikan harga minyak. Dengan membawa suara rakyat dan kaum papa yang diwakilinya, mereka memiliki argument sendiri. Persoalannya, sangat sederhana. Bukan APBN yang terganggu atau kenaikan harga minyak di pasar global, melainkan apa yang akan mereka langsung rasakan seandainya harga minyak di naikan dari Rp 4500,- menjadi Rp 6000,-. Semua kebutuhan akan dengan sendirinya ikut naik. Kalau pun pemerintah menjanjikan Bantuan Langsung Sementara sebesar Rp 150.000,- diberikan, jumlahnya jauh di bawah tambahan biaya yang harus mereka keluarkan.
4.       Ekonomi Politik Demokratisasi
Demokratisasi adalah proses politik yang menghargai kemajemukan, kesetaraan dan perbedaan pendapat. Lewat demokrasi, hak-hak berpolitik warga dilindungi. Artinya, tak ada kebijakan politik yang boleh dilahirkan tanpa adanya konsultasi publik. Sebagai konsekuensinya, semakin beragam kelompok dan kepentingan warga, makin lama proses itu diambil.
Idealnya, mekanisme pengambilan keputusan tersebut sungguh-sungguh didasarkan pada kepentingan masyarakat. Karena rakyatlah pemilik keadulatan di negeri ini (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945), maka sudah seharusnya bila setiap keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dimintakan persetujuan kepada rakyat. Bila di masa lalu, penentuan wakil rakyat diserahkan kepada pemimpin, sejak era reformasi, rakyatlah yang harus memilihnya secara langsung. Amandemen UUD 1945 mengenai pemilihan umum menjadi bukti nyata dari keniscayaan kekuasaan pemilik keadulatan di negeri ini. Dengan kata lain, sumberdaya yang diperlukan untuk memperjuangkan kepentingan adalah kearifan dan kenegarawanan, bukan yang lain. Semua actor politik yang terlibat mesti bekerja atas dasar itu. Meski harus diakui bahwa demokrasi pun bukan sebuah system yang tanpa cacat, namun sejauh ini, hanya norma itulah yang dipandang mencerminkan kehendak rakyat.
Sayang sekali, secara empiric, peran sumberdaya politik menjadi sangat sentral dalam memperjuangkan kepentingan. Dalil “tak ada makan siang gratis” nampaknya sulit dielakan dalam proses demokrasi tersebut. Apalagi bila yang dibahas memiliki nilai strategis, maka makin mahal pula taruhannya. Itulah yang dimaksud sebagai harga dari sebuah demokrasi. Apalagi dalam konteks kepolitikan Indonesia modern, masuknya pertimbangan yang bersifat transaksional nampak begitu kentara. Ketika para anggota DPR harus memperhitungkan biaya dan investasi politik yang harus mereka keluarkan sehari-hari, dan terutama dalam pemilihan umum, maka sangat masuk akal pula jika pikiran kenegarwanan semakin jauh ditinggalkan. Kepentingan bangsa hanya dijadikan jargon politik, sementara kepentingan pribadi dan partaiah yang menonjol. Nampaknya ada kecenderungan seperti ini, mentang-mentang sudah memiliki kekuasaan dan keabsahan untuk membuat Undang-Undang, para anggota DPR merasa memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan apa pun.
Dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan mengenai harga BBM,  pertimbangan ekonomi politiknya jelas sekali. Secara ekonomi, BBM adalah hasil dari pengolahan sumberdaya alam. Menurut Pasal 33 UUD 1945, sebagaimana dikutip sebelumnya, Negara memiliki kuasa atas bumi, air dan segala isinya, dan digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Artinya, BBM tidak bias diserahkan pada mekanisme pasar. Beda dengan komoditas lain yang tidak diamanatkan dalam UUD 1945, selama sumber enerji kita berasal dari alam, maka produksi, harga dan distribusinya harus ditentukan Negara.
Dari segi politik, DPR merupakan kepanjangan tangan rakyat. Dalam system demokrasi perwakilan, keberadaan DPR menjadi sangat sentral. Karena besarnya jumlah penduduk, mustahil pelaksanaan kedaulatan rakyat dilakukan secara langsung. Sebagai konsekuensinya, para wakil rakyat itulah yang memiliki keabsahan untuk mengatasnamakan penduduk dalam setiap pengambilan keputusan nasional. Para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum, harus mengambil sikap ketika masalah BBM muncul kepermukaan. Sikap yang dimaksud adalah sesuai dengan norma demokrasi perwakilan yang berlaku di negeri ini, yakni memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan kehendak pemimpin atau pedagang minyak. 
5.                  Politik Kebijakan Harga BBM
Dari sisi ekonomi, sebenarnya kenaikan harga BBM menjadi sesuatu yang taken for granted  (tak perlu banyak diperdebatkan) sifatnya. Sejak produksi minyak kita menurun terus, dari sekitar 1,5 juta barrel perhari pada era sebelum 1990an menjadi sekitar 900.000 barrel perhari sekarang, praktis, kita sudah menjadi Negara pengimpor minyak mentah (net importer country). Sejak beberapa tahun lalu pula, kita meninggalkan keanggotaan dalam organisasi Negara pengekspor minyak (OPEC). Pada saat yang sama pula dua perkembangan terjadi. Pertama, supply minyak dunia kian berkurang, terutama sejak terjadi dinamika politik di sejumlah Negara pengekspor minyak di Timur Tengah. Kedua, permintaan akan minyak cenderung meningkat pula, sehubungan dengan tingkat kemajuan berkonsumsi masyarakat. Demikian juga dengan konsumsi BBM di dalam negeri. Dari waktu ke waktu, sehubungan dengan makin besarnya jumlah konsumsi minyak perkapita masyarakat Indonesia, tak dipungkiri lagi bila impor minyak kita pun terus merambat naik. Sebelum ada kebijakan baru mengenai enerji, ketergantungan kita pada sumber daya enerji konvensional, cenderung meningkat terus.
Celakanya, politik anggaran kita juga cenderung memilih anggaran berimbang dengan “membiarkan” politik subsidi untuk harga BBM. Demi menjaga stabilitas politik dalam negeri, Pemerintah cenderung bertahan pada harga minyak domestic yang dipandang memiliki nilai keekonomian, di satu pihak, dan bernuansa populis di pihak lain. Dengan demikian, diharapkan, politik harga enerji ini dapat member kontribusi terhadap APBN, di satu sisi, dan melindungi ekonomi rakyat di sisi lain. Pada gilirannya, pertumbuhan ekonomi makro akan tetap terjaga, dan pengelolaan politik juga bias diteruskan.
Masalahnya, ada beberapa hal yang abai dilakukan pemerintah. Pertama, ternyata, pemerintah tidak mampu menciptakan pasar enerji domestic yang steril, bebas dari pengaruh gejolak harga enerji di pasar global. Dalam APBN 2012 ditentukan bahwa anggaran belanja kita sekitar Rp 1400 triliun, dengan asumsi harga minyak $ 90 perbarrel. Kenyataannya, harga minyak dalam pasar dunia sudah sampai ke angka $ 110. Dengan demikian, apabila tidak ada perubahan, APBN kita harus member subsidi lebih besar lagi untuk membayar minyak yang kita impor.  Kedua, biaya belanja public cenderung meningkat terus. Sehubungan dengan citra demokratisasi, Pemerintah nampaknya berusaha terus mengakomodasi tuntutan politik domestic yang cenderung memperbanyak lembaga Negara. Semuanya membutuhkan uluran tangan Negara yang notebene makin mengalami kesulitan dalam menggali sumbernya sendiri. Dengan kata lain, efisiensi birokrasi nampaknya tak tersentuh oleh perkembangan harga enerji itu. Ketiga, derajat korupsi masih terus meninggi dan cenderung melebar dan terdesentralikstik. KPK dan berbagai instrument pengawasan pembangunan, sejauh ini seperti kewalahan dalam menghadapi fenomena korupsi di berbagai lembaga Negara. Sebagai konsekuensinya, APBN 2012 harus lebih tinggi disbanding tahun sebelumnya. Yang menjadi masalah, akankah peningkatan APBN akan berdambak radikal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat?
Simpulan

Sidang paripurna DPR yang cukup mendebarkan, usai sudah. Perwakilan rakyat di luar parlemen yang marah, juga sudah berlal. Dinamika politik kembali ke titik awal. Para wakil rakyat kembali ke kondisi semula, dan para demonstran juga tidak lagi terlihat di jalanan. Masalahnya, apakah ada kaitan antara peristiwa di akhir Maret yang lalu dengan nasib rakyat selanjutnya?
Inilah menariknya politik di Indonesia. Kendati suatu saat berkembang parlemen jalanan yang cukup massif dan terkadang anarkis, pengaruhnya terhadap negeri ini hanya sesaat sifatnya. Tuntutan pemakzulan (impeachment) terhadap kekuasaan presiden, ramai sementara, setelah itu, tidak lagi menjadi berita. Ini membuktikan bahwa tiadanya visi dalam pergerakan, kecuali “amarah sesaat” para elite yang terganggu kepentingannya. Sebagai tawarannya, kompensasi harus diberikan untuk meredakan amarah elite tersebut. Ketika kesepakatan antar elite sudah dicapai, gelombang amarah itu kembali mereda.
Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi kita masih sangat elite sentries sifatnya. Demokrasi dalam arti sesungguhnya, “suara rakyat adalah suara Tuhan”, masih terbatas pada retorika. Apa yang disebut “rakyat” belum dapat ditafsirkan secara matematis. Rakyat hanyalah massa (crowds) yang kemunculannya sangat ditentukan oleh elite. Ibarat pemandu sorak dalam sebuah pertandingan oleh raga, elite itulah pemandu soraknya. Bahkan, partai politik pun tak lebih dari kumpulan orang, yang geraknya sangat ditentukan oleh elite yang menentukan nasib partai.
Dalam konteks penentuan harga BBM,  sekilas memang proses demokrasilah yang mengaturnya. Sebagai wakil rakyat, DPR memiliki kewenangan untuk bersama pemerintah menentukan harga minyak domestic. Selain karena kalkulasi financial dalam APBN, peran minyak dalam perekonomian nasional tak boleh lepas dari suara rakyat di dalamnya. Sesuai dengan konstitusi kita, Negara harus menguasai segala macam sumberdaya alam yang mempengaruhi kepentingan orang banyak. Untuk itulah harga minyak tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar.
Akan tetapi, politik kebijakan kita, termasuk dalam menentukan harga minyak, sangat ditentukan oleh elite. Sebagai akibatnya, ketika kepentingan elite terakomodasi, politik itu tak lagi relevan. Semua proses politik tak pernah jauh dari transaksi yang menguntungkan semua pihak terkait. Memang tak ada makan siang gratis, kata pepatah yang akhir-akhir ini popular.

DAFTAR PUSTAKA
Caporaso & Levine, 2008, terjemahan, Teori-teori Ekonomi Politik, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Deliarnov, 2006 Ekonomi Politik, Mencakup Berbagai Teori dan Konsep yang Komprehensif. Erlangga, Jakarta.
Rachbini, Didik J, 2011. Ekonomi Politik. Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
UU  No.  17/2003, tentang :  Keuangan  Negara
Yustika, Ahmad Erani, 2009 Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan Kajian Empiris. Pustaka Pelajar, Jogjakarta.

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Gubuk Maya Kang Naryo | Mas Template
Copyright © 2009. GubuK Maya | Kang Naryo - All Rights Reserved
Created by Gubuk Maya | Kang Naryo
Powered by Blogger