Abstraksi
Mochamad Sunaryo, 2013, Telah Kritis Implementasi APBN Dalam Bingkai Ekonomik Politis.
Dalam kehidupan sehari-hari, peristiwa dan
perkembangan ekonomi menunjukkan dinamika yang amat kompleks. Sebagai upaya
menjelaskan lebih lanjut kompleksitas tersebut, maka diperlukan berbagai kajian
tidak hanya melalui faktor-faktor ekonomi itu sendiri , melainkan dipengaruhi
berbagai faktor social politik. Tulisan berikut ingin mengulas beberapa
pandangan tentang anggaran APBN dilihat dalam perpektif ekonomi politik
Ekonomi politik sebagai suatu
cabang ilmu tentang evolusi kemasyarakatan yang didalamnya inti dari dinamika
perkembangan ekonomi secara sistematis dikaitkan dengan perubahan sosial
politik, dan selanjutnya itu semua mengembalikan pengaruhnya kepada proses
ekonomi. Sedangkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN
berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan
pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari – 31 Desember). APBN,
Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.
Jadi, dalam APBN ini proses politiknya disimpulkan bahwa tidak ada kepemimpinan
dalam proses APBN. Istilahnya, dalam teori ekonomi politik APBN diserahkan
kepada political market atau seperti
pasar barang bekas. Bukan pasar yang canggih. Akibat tidak ada kepemimpinan
dalam APBN di Indonesia, makapostur dan struktur APBN semakin rapuh dan tidak
sehat.
Tak ada kebijakan politik yang boleh dilahirkan tanpa
adanya konsultasi publik. Sebagai konsekuensinya, semakin beragam kelompok dan
kepentingan warga, makin lama proses itu diambil Idealnya, mekanisme
pengambilan keputusan tersebut sungguh-sungguh didasarkan pada kepentingan
masyarakat. Politik anggaran kita juga cenderung memilih anggaran berimbang
dengan “membiarkan” politik subsidi untuk harga BBM. Demi menjaga stabilitas
politik dalam negeri, Pemerintah cenderung bertahan pada harga minyak domestik
yang dipandang memiliki nilai keekonomian, di satu pihak, dan bernuansa populis
di pihak lain. Dengan demikian, diharapkan, politik harga enerji ini dapat
member kontribusi terhadap APBN, di satu sisi, dan melindungi ekonomi rakyat di
sisi lain. Pada gilirannya, pertumbuhan ekonomi makro akan tetap terjaga, dan
pengelolaan politik juga bias diteruskan Akan tetapi, politik kebijakan kita,
termasuk dalam menentukan harga minyak, sangat ditentukan oleh elite. Sebagai
akibatnya, ketika kepentingan elite terakomodasi, politik itu tak lagi relevan.
Semua proses politik tak pernah jauh dari transaksi yang menguntungkan semua
pihak terkait.
Kata Kunci: Ekonomi
Politik, APBN, Demokrasi, Politik Kebijakan
Pengantar
Siapa pun yang menonton kerja para
anggota DPR RI lewat layar kaca di akhir Maret 2012 lalu, pasti akan mempunyai
kesimpulan yang berbeda-beda. Kegaduhan di ruang sidang, jelas menjadi pendapat
umum. Para wakil rakyat yang mestinya duduk manis di kursi masing-masing,
ternyata berjalan hilir mudik. Ada yang berembug sesama fraksi, atau berdebat
antar fraksi dalam kapasitas yang berbeda, fraksi koalisi di satu pihak, dan
fraksi oposisi, di pihak lain.
Tidak sedikit pula yang merangsek
ke meja pimpinan - yang dianggapnya tidak akomodatif. Bahkan tak sedikit pula
yang berteriak-teriak, persis suasana kelas. Lalu, yang sedikit tertib
memperdengarkan suaranya lewat mikrofon, “…interupsi pimpinan…” berulang-ulang,
sampai ada tanggapan kepadanya
Diketahui bersama, suasana Sidang
Paripurna DPR RI di atas berlangsung untuk menentukan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) bersubsidi yang sudah sekian lama menjadi wacana. Sesuai dengan kehendak
Pemerintah, karena kecenderungan harga minyak di pasar global naik terus, tidak
sehat rasanya bila harga minyak domestik tetap bertahan pada posisi Rp 4.500,-
/ liter. Selain akan mengganggu neraca APBN, juga tidak adil rasanya bila pemerintah
membiarkan pemberian subsidi atas harga minyak tersebut dinikmati oleh mereka
yang mampu.
Mengingat sebagian besar pengguna
BBM adalah pemilik kendaraan bermotor, pemerintah berkesimpulan bahwa makna
subsidi selama ini telah salah arah. Di samping itu, seandainya kita bertahan
dengan harga minyak di atas, bukan mustahil akan mengundang “ pasar gelap”
minyak di wilayah kita. Ketika harga minyak di semua Negara tetangga jauh di
atas Rp 4500,_ niscaya tak sedikit pedagang di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam,
Thailand, dan Timor Leste yang membeli minyak di sini. Bila hal ini terjadi,
bukan memperbesar pemasukan uang kepada Negara, melainkan memperkaya para
penyelundup, baik asing maupun domestik.
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) merupakan alat utama pemerintah
untuk mensejahterakan rakyatnya
dan sekaligus alat
pemerintah untuk mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah,
APBN bukan hanya menyangkut keputusan
ekonomi, namun juga
menyangkut keputusan politik. Dalam
konteks ini, DPR
dengan hak legislasi,
penganggaran, dan pengawasan yang
dimilikinya perlu lebih
berperan dalam mengawal
APBN sehingga APBN benar-benar
dapat secara efektif
menjadi instrumen untuk mensejahterakan rakyat dan mengelola
perekonomian negara dengan baik.
Pembahasan APBN idealnya jangan
sampai hanya sekadar mengutak-atik angka. Dalam hal ini pembahasan APBN merupakan
momentum yang tepat untuk meninjau kembali politik anggaran negara. Artinya
bahwa politik anggaran merupakan unsur utama dalam politik ekonomi pemerintah
dan instrumen kebijakan penting bagi negara.
Volume APBN terus melembung, ini
sudah menjadi rahasia umum dari tahun ke tahun. Namun hal ini sering kali tidak
berkorelasi langsung dengan tingkat kesejahteraan mayoritas rakyat sehingga hal
ini memunculkan pertanyaan, siapa sebenarnya yang menikmati pembangunan? Jika
memakai batas garis kemiskinan 2 dollar per hari dari bank dunia (sejak tahun
2007), jumlah penduduk miskin dan rentan menjadi miskin di Indonesia adalah
108,78 juta (49%). Merekalah yang seharusnya menjadi pokok utama dari
penyusunan dan realisasi APBN.
Di luar hiruk pikuk masalah
politis, penting untuk dilihat sejauhmana anggaran kita berpihak pada siapa? Artinya kebijakan yang disepakati dalam
pembahasan APBN seharusnya mencerminkan posisi anggaran itu. Bila keberpihakan pada “rakyat”, anggaran
untuk masyarakat seharusnya lebih besar, khususnya masyarakat miskin,
tertinggal maupun terisolasi. Bila
keberpihakan pada masyarakat secara merata, posisi anggaran dapat “status quo” bila pemerintah
mempertahankan azas pemerataan tanpa keadilan.
Tulisan berikut ingin mengulas
beberapa pandangan tentang anggaran APBN dilihat dalam perspektif ekonomi
politik. Agar pembaca memahami struktur
anggaran APBN saat ini sangat tidak sehat, baik untuk pembangunan maupun
masyarakat bawah sebagai kelompok terbesar di republik ini.
B. Pembahasan
Proses perkembangan ekonomi politik
sesungguhnya banyak ditentukan oleh empat variable dasar, yakni ekonomi,
politik, struktur sosial, dan kebudayaan. Kebekerjaan suatu system ekonomi dan
proses politik sesungguhnya merupakan dua sisi dari mata uang, sehingga pada
dasarnya disiplin ilmu ekonomi dan ilmu politik tidak dapat dipisahkan begitu
saja
Istilah ekonomi politik
seringkali dipertukarkan dengan politik ekonomi padahal secara metodologis
kedua istilah itu mengandung perbedaan yang subtansi. Politik ekonomi merupakan
suatu unsur atau elemen yang menjadi alat dari ekonomi dan rasionalisasi
kekuatan politik dalam melaksanakan rencana-rencana aplikasi itu sendiri untuk
mencapai sasaran yang dikehendaki.
Politik ekonomi di
sebut Das Sollen -- apa yang
sebaiknya dilakukan-- karena dipandang tidak sama dan sebangun dengan ilmu
pengetahuan, melainkan sebuah produk Policy
Sciences. Sedangkan ekonomi politik disebut Das Sains, -- sebuah
realita yang telah terjadi sedangkan-- sebab dalamnya eksplisit berbagai
prasarat keilmuan yang memiliki wilayah kajian yang luas sebagai ilmu maupun
pengetahuan menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara
faktor ekonomi dan faktor politik.
1. Pengertian
Ekonomi Politik dan Kajian Kriktis Kekinian
Pengertian dari ekonomi
politik sudah dari dulu menjadi salah satu issu yang diperhatikan oleh para
ahli-ahli di bidang ekonomi dan sosial. Hal tersebut disebabkan karena
pemikiran awal yang menyatakan bahwa ekonomi dan politik merupakan dua bidang
yang berbeda, namun sebenarnya keduanya memiliki pengaruh yang sangat jelas
satu sama lain sehingga keduanya mendapatkan perhatian yang besar dimana
ternyata terbentuknya suatu kebijakan politik dipengaruhi oleh perkembangan
ekonomi dan ekonomi ternyata sangat dipengaruhi oleh bidang-bidang sosial dan
juga politik.
Beberapa ahli dalam
politik ekonomi pada awal abad ke-18 lebih
mendefiniskan politik ekonomi sebagai suatu ilmu yang dapat memakmurkan suatu
negara, seperti Adam Smith yang mendifinisikan “ekonomi politik sebagai suatu cabang pengetahuan bagi para negarawan
atau legislator dan sebagai suatu pembimbing untuk mengelola ekonomi Negara
dengan hati-hati”. Sedangkan menurut John Stuart Mill, politik ekonomi
adalah “suatu ilmu yang memberikan
pelajaran kepada suatu bangsa untuk menjadi makmur”.
Lord Robbin dalam
bukunya Political Economy: Post and
Present: A review of Leading Theories of Economy Policy, dikatakan bahwa
yang dimaksud dengan ekonomi politik dapat mengandung dua versi. Pertama,
ialah versi ekonomi politik klasik yang member pengertian ekonomi politik
sebagai suatu kesatuan menyeluruh dari suatu pembahasan, sejak dari ilmu
ekonomi (murni, teori) itu sendiri sampai dengan teori-teori kebijakan ekonomi
yang meliputi analisis dari bekerjanya ekonomi pasar, alternative system
kebijakan dan prinsip-prinsip keuangan Negara. Kedua, ekonomi politik
versi modern yaitu ekonomi politik yang membahas bagaimana system ekonomi itu
bekerja, dapat bekerja, harus dibuat bekerja dan memungkinkan dirinya bekerja.
Dalam buku Ekonomi
Politik yang ditulis oleh Didik J. Rachbini (2001:3-4) dikatakan bahwa sebagai
suatu disiplin ilmu, ekonomi politik lahir dari pemikiran-pemikiran untuk
menemukan sinergi, mengisi kekosongan (cross-fertilization)
yang tidak dijumpai dalam satu disiplin ekonomi dan disiplin politik. Pada
awalnya, para ahli ilmu politik agak resisten terhadap upaya sinergi seperti
itu karena sangat didominasi oleh anggapan “imperialism
ekonomi” yang mulai merambah kemana-mana di luar batas kewajaran suatu
disiplin ilmu. Alasan atau kekhawatiran seperti itu masuk akal, mengingat
teori-teori atau tepatnya paradigm pilihan rasional (rational choice) muncul pertama kali dalam bentuk struktur
matematis formal, dan berkembang dalam domain teori-teori ekonomi mikro. Pada
waktu itu nyaris tidak ada upaya untuk mengembangkan argument-argumen deduktif
ekonomi serta tidak terdapat karya-karya interdisipliner yang cukup kokoh. Pada
decade 1950 dan 1960 an, tepatnya setelah Kenneth Arrow (1951) menghasilkan
karya Social Choice and Individual Values
dan Mancur Olson (1965) menulis The
Logic of Collective Action, paradigm pilihan rasional mulai memperoleh
tempat dalam ilmu-ilmu politik.
Dari definisi tersebut
kemudian, beberapa ahli ekonomi, seperti para ekonom dari Chicago School mendefiniskan politik ekonomi sebagai suatu usaha
dari suatu individu untuk memaksimalisasikan, memuaskan atau mengoptimalkan
kepentingan mereka
Sedangkan James A.
Caporaso dan David P. Levine-yang populer disebut Caporaso Levine-melakukan
pengkajian beberapa kerangka yang sangat penting untuk memahami hubungan antara
ekonomi dan politik, termasuk Ekonomi Klasik, Neoklasik, Marxian, Keynesian,
negara-terpusat, daya-terpusat, dan keadilan di tengah-tengahnya. Buku ini
menekankan perbedaan pemahaman antara keduanya secara keseluruhan dari kerangka
teori dan isu-isu umum.
Diawali dengan
pendekatan yang disebut sebagai pendekatan klasik, dengan menelaah
pemikiran-pemikiran dari berbagai ekonom klasik, terutama Adam Smith dan David
Ricardo untuk mengkaji apa-apa inti permasalahan yang dibahas dalam ilmu
ekonomi politik klasik.
Pendekatan klasik
menyatakan bahwa pasar memiliki kemampuan untuk mengelola dirinya sendiri dalam
artian kuat (strong sense) dimana
pandangan seperti ini seringkali dijadikan dasar untuk melaksanakan kebijakan
pasar bebas, yang tidak kalah pentingnya untuk dikemukakan adalah bahwa para
teoritisi klasik ini adalah yang pertama kalinya memandang perekonomian sebagai
sebuah sistem yang secara prinsip terpisah dari politik dan rumah tangga.
Argumen yang mereka
ajukan untuk konsep pasar yang mengatur dirinya sendiri mengatakan bahwa sistem
pasar adalah sebuah realita yang akan tercipta dengan sendirinya tanpa campur
tangan manusia, dimana pasar memiliki hubungan dengan negara tapi pasar bukan
organ bawahan dari negara. Ide ini adalah sebuah inovasi dimasa itu yang
diajukan oleh ekonomi politik beraliran klasik.
Pandangan teori klasik
ini, setelah mapan dan diterima banyak kalangan, membuat istilah ekonomi
politik sendiri menjadi kurang jelas maknanya. Pokok pikiran yang diajukan oleh
teori klasik adalah bahwa ekonomi tidak bersifat politik atau paling tidak
bahwa ekonomi tidak bersifat politik. Bahkan bisa dikatakan bahwa dengan
bangkitnya sistem kapitalisme, ekonomi menjadi terdepolitisasi. Karenanya tidak
heran bahwa dengan munculnya teori klasik, istilah ekonomi menggeser istilah
ekonomi politik.
Hingga kemudian, banyak
kalangan meragukan kebenaran dari pandangan klasik ini. Selama 36 tahun
terakhir, para ilmuwan sosial mengambil kembali “ekonomi politik” tapi dengan
tujuan untuk menekankan bahwa ekonomi selalu bersifat politik. Beberapa
teoritisi menggunakan teori Karl Marx untuk mendukung pendapat ini.
Lebih lanjut Caporaso
Livine, memberikan eksplorasi bagian tertentu terhadap teori Marx untuk
mengkaji lebih mendalam bagaimana pandangan Marx tentang hubungan antara
ekonomi dan politik. Penulis memandang bahwa Marx pada dasarnya mengusung
proyek eknomi klasik dalam artian bahwa marx memandang perekonomian kapitalis
sebagai suatu yang pada dasarnya tidak memiliki sifat politik. Sebaliknya marx
justru berusaha untuk menunjukkan bahwa faktor-faktor politik itu disebabkan
oleh dinamika dari proses ekonomi kapitalis dan berusaha menjelaskan bagaimana
proses itu mewarnai pertarungan-pertarungan politik berskala besar dalam
sejarah.
Untuk membuktikan bahwa
cara kerja dari perekonomian kapitalis membawa dampak politik, Marx mengajukan
kritik terhadap pandangan klasik tentang pasar yang meregulasi dirinya sendiri.
Dia melakukan kritik ini bukan dengan tujuan untuk membenarkan konsep
kapitalisme yang dikendalikan negara, melainkan dengan tujuan untuk menunjukkan
bahwa kapitalisme tidak dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama.
Caporaso Livine menilai
cara pandang Marx dalam memandang hubungan antara agenda politik dengan
faktor-faktor ekonomi. Marx dipandang tetap berpegang pada pemahaman klasik
bahwa ekonomi adalah sebuah bidang tersendiri dalam kehidupan masyarakat yang
terpisah dari bidang-bidang lain, hanya saja Marx mengajukan sebuah konsep
berbeda dari pemikir-pemikir klasik lain tentang hubungan antara bidang politik
dengan bidang ekonomi.
Terkait seputar
pendekatan neo-klasik. Pendekatan ini menguraikan hubungan antara politik
dengan ekonomi berdasarkan ide tentang kegagalan pasar, yaitu dimana kegagalan
pasar didefinisikan dengan menggunakan konsep pilihan pribadi dan penggunaan
sumber daya secara efisien. Bagi para pemikir neo-klasik, “ekonomi” adalah
transaksi-transaksi swasta yang dilakukan untuk memaksimalkan kegunaan yang
didapatkan individu sementara “politik” adalah penggunaan kewenangan publik
untuk mencapai tujuan yang sama juga.
Sedang argumen Keynesian
dan beberapa implikasinya bagi pergeseran hubungan antara politik dengan
ekonomi. Ketika kewenangan publik makin banyak mengambilalih wilayah-wilayah
yang sebelumnya dikendalikan oleh pasar bebas, maka cara pemikiran kita
terhadap ekonomi mengalami perubahan-perubahan yang mungkin tidak kentara tapi
sangat penting. Upaya untuk membenarkan sistem ekonomi kapitalis dilakukan
dengan mengkritik asumsi-asumsi dasar dari sistem itu tentang sejauh mana
seharusnya pasar dibatasi.
Dari uraian tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa dua cara
untuk memahami hubungan antara ilmu politik dan ilmu ekonomi, yaitu yang pertama
dengan memfokuskan pada konsep negara dan yang kedua dengan memfokuskan
pada konsep keadilan. Ekonomi politik yang beraliran klasik bertolak dari ilmu
ekonomi dan analisa terhadap operasi ekonomi. Negara dipandang mempunyai peran
untuk memberikan respon. Pendekatan-pendekatan yang berpusat pada negara
menggeser keseimbangan antara pasar dengan negara menjadi lebih condong ke
negara, dimana nengara dianggap bebas untuk menjalankan agendanya sendiri demi
kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, dari
keseluruhan deskriptif diatas bisa dirunut dengan sebuah narasi bahwa keynesian
berpandangan bahwa fungsi negara diperlukan untuk mencegah terjadinya resesi
ekonomi akibat rendahnya agregat permintaan (under
consumtion) bagi keynes, jika negara dibiarkan “diam” maka selamanya resesi
secara periodik akan muncul, karena persoalan rendahnya agregat permintaan
tersebut bersifat sistematis. Pemikiran ini dengan terang memberikan ilustrasi,
bahwa negara dalam moment-moment tertentu harus bertindak untuk mengatasi
kegagalan pasar (Erani:37). Tujuan dari tindakan ini untuk memulihkan kembali
aktifitas ekonomi sehingga tingkat kehidupan dan kesejahteraan rakyat dapat
terus berlangsung, yang dalam keadaan normal sebenarnya sudah terbiasa
dijalankan oleh pasar. Intervensi pemerintah lebih banyak dipakai untuk
stabilisasi ekonomi dengan berkutat pada area berikut, yakni memanipulasi
permintaan agregat, memperkuat sektor keuangan, dan stabilisasi harga. Sebagian
besar hal itu dilakukan dengan memanfaatkan kebijakan fiskal pemerintah.
Dalam kenyataannya
pasar yang justeru sistem regulasinya diatur oleh pemerintah malah tidak bisa
menstabilkan kondisi pasar yang ada, pada hal seharusnya kalau kita merujuk
pada pandangan keynesian, tentu mampu meredakan gejolak-gejolak yang ada dalam
mekanisme pasar itu sendiri. Malah sekarang kondisi pasar yang ada di indonesia
masih menunjukan praktek-praktek kapitalis. Karena melihat kenyataan-kenyataan
yang ada, setiap peraturan yang dikeluarkan malah hanya untuk kekuatan pemodal
dan bukan untuk mengatasi persoalan pasar. Nicholson (1992:177), mengemukakan
prinsipnya mengenai kesejahteraan sosial; yaitu keadaan kesejahteraan sosial maksimum
tercapai bila tidak ada seorangpun yang dirugikan.
Dikaitkan dengan
masalah pasar pengangguran, justeru masih merupakan sebuah problem tersendiri
bagi pemerintah Indonesia sekarang karena masalah pengangguran ini erat
kaitannya dengan pasar tenaga kerja. Hal ini masih merupakan penyesuaian dengan
keterbatasan yang membatasi dirinya. Pasar merupakan interaksi antara
permintaan dan penawaran yang akhirnya menghasilkan harga. Dan karena tenaga
kerja termasuk dalam komoditas pasar faktor produksi, maka tenaga kerja juga
mempunyai harga dalam perdagangannya. Masih menurut cara berpikir aliran
neoklasik, kegiatan perekonomian digerakan oleh dua sumbu: investasi dan
tabungan. Dalam pandangan ini pertumbuhan ekonomi hanya mungkin terjadi bila
ada investasi, karena dengan investasi akan diraih dua hal sekaligus: 1.
investasi akan menciptakan permintaan tenaga kerja dan dengan begitu akan
menimbulkan kekuatan daya beli akibat tingkat pendapatan yang diterima oleh
pekerja. 2. Investasi akan menghasilkan barang/jasa yang dilemparkan ke pasar
dan ini menjadi dasar dari pendapatan ekonomi nasional (Erani:224).
Dawam Rahardjo,
berpendapat bahwa ekonomi politik atau political
economy adalah suatu cabang ilmu tentang evolusi kemasyarakatan yang
didalamnya inti dari dinamika perkembangan ekonomi secara sistematis dikaitkan
dengan perubahan social politik, dan selanjutnya itu semua mengembalikan
pengaruhnya kepada proses ekonomi (Rahardjo, 1988:viii).
Pada hal pembangunan
hanya bisa dicapai dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar guna
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Menurut Human Development Report (2000: 3
b.) menyatakan: “Development should begin
with the fulfillment of the basic material needs of an individual including
food, clothing, and shelter, and gradually reach the highest level of
self-fulfillment. The most critical form of self-fulfillment include leading a
long and healthy life, being educated, and enjoying a decent standard of
living. Human development is a multidimensional concept comparising four
demension, economic, social-psyhological, political and spiritual.
2. Konsepsi dan Implementasi APBN
Secara umum pengertian
anggaran adalah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk
suatu periode pada masa yang akan datang. Sedangkan secara sempit pengertian
anggaran adalah suatu pernyataan tentang tentang perkiraan pengeluaran dan
penerimaan yang diharapkan akan terjadi pada suatu periode di masa yang akan datang,
serta data pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi disaat ini
dan masa yang lalu.
Dalam perspektif ini
bahwa semuan tindakan pemerintah yang mempunyai akibat keuangan sehingga negara
dibebani kewajiban untuk membayar dan negara memperoleh hak untuk menagih
adalah termasuk dalam bidang keuangan negara. Untuk dapat menjabarkan pengertian
keuangan negara tersebut secara riil maka diperlukan adanya proses perencanaan (planning). Proses perencanaan dalam
kaitannya dengan APBN tentu berkaitan dengan perencanaan keuangan (budgeting atau penganggaran.
Budget atau anggaran
adalah pengertian umum diartikan sebagai sesuatu rencana kerja untuk suatu
periode yang akan datang yang telah dinilai dengan uang. Di Indonesia sendiri,
pada awal mulanya (pada jaman pemerintahan Hindia-Belanda) secara resmi
digunakan istilah begrooting untuk
menyatakan pengertian anggaran. Namun sejak Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945,
istilah “Angaran Pendapatan dan Belanja”
dipakai secara resmi dalam pasal 22 ayat 1 UUD 1945, dan di dalam
perkembangan selanjutnya ditambahkan negara untuk melengkapinya sehingga
menjadi Angaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN
berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan
pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari – 31 Desember). APBN,
Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan
Undang-Undang.
Adapun fungsi Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah sebagai berikut: (a) Fungsi alokasi, yaitu penerimaan yang
berasal dari pajak dapat dialokasikan untuk pengeluaran yang bersifat umum,
seperti pembangunan jembatan, jalan, dan taman umum. (b) Fungsi distribusi, yaitu pendapatan yang masuk bukan hanya
digunakan untuk kepentingan umum,tetapi juga dapat dipindahkan untuk subsidi
dan dana pensiun. (c) Fungsi
stabilisasi, yaitu Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) berfungsi
sebagai pedoman agar pendapatan dan pengeluaran keuangan negara teratur sesuai
dengan di terapkan. Jika pendapatan dipakai sesuai dengan yang di terapkan,
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) berfungsi sebagai stabilisator.
Dalam rangka
mewujudkan good governance
dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara, sejak
beberapa tahun yang
lalu telah diintrodusir Reformasi Manajemen Keuangan
Pemerintah. Reformasi tersebut mendapatkan landasan hukum yang
kuat dengan telah
disahkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, UU
No. 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan
UU No. 15
Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dari sisi obyek
Keuangan Negara akan meliputi seluruh hal dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan
uang, di dalamnya
termasuk berbagai kebijakan dan
kegiatan yang terselenggara
dalam bidang fiskal,
moneter dan atau pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu
segala sesuatu dapat berupa
uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.
Dari sisi
subyek, keuangan negara meliputi negara,
dan/atau pemerintah pusat,
pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya
dengan keuangan negara.
Keuangan Negara
dari sisi proses mencakup seluruh
rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan obyek di atas mulai dari proses perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
Terakhir, keuangan
negara juga meliputi
seluruh kebijakan, kegitan
dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan
obyek sebagaimana tersebut di
atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan
negara, pendekatan terakhir ini dilihat dari sisi tujuan.
Dengan pendekatan
sebagaimana diuraikan di
atas, UU No.
17/2003 merumuskan sebagai berikut:
Keuangan negara adalah
“semua hak dan kewajiban
negara yang dapat
dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun
berupa barang yang
dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
(Pasal 1 huruf 1 UU No. 17/2003).
Sedangkan peranan
DPR dalam penganggaran
dapat dijalankan berdasarkan
fungsi-fungsi yang dimilikinya. Berdasarkan Pasal 20A UUD 1945 Perubahan
Pertama, DPR mempunyai tiga fungsi, yaitu
fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Fungsi Legislasi.
Dalam
menjalankan fungsi legislasinya,
DPR menetapkan dan menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Pemerintah.
Proses penetapan itu sendiri
diatur dalam Peraturan
Tata Tertib DPR
RI. Sebelum menetapkan dan menyetujui RUU APBN yang
diajukan oleh Pemerintah, DPR
terlibat secara intens
dalam keseluruhan proses
penyusunan dan penetapan sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya.
Fungsi
Anggaran. Berkenaan dengan fungsi anggaran, DPR mempunyai hak budget
sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat
(2) UUD 1945 Perubahan Ketiga
yang menyebutkan bahwa
RUU APBN diajukan
oleh Presiden untuk
dibahas bersama DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD. DPR sesuai dengan hak budgetnya dapat menyetujui ataupun tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan
oleh Pemerintah dan
mengadakan pembahasan. Pembahasan RUU APBN
secara bersama oleh
DPR dan Presiden
selain dalam rangka melaksanakan fungsi
legislasi juga dimaksudkan
agar DPR dapat mengetahui dan mengidentifikasi dengan
jelas bahwa terhadap
alokasi yang dicantumkan dalam RAPBN
tersebut tidak terjadi
penyelewengan. Selain itu,
DPR juga mempunyai hak untuk
mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan
jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU APBN.
Dalam konteks
optimalisasi peranan DPR
dalam penganggaran,
khususnya pada tahap
penyusunan dan penetapan
APBN, Abdullah Zainie
(2003) menggarisbawahi beberapa hal,
diantaranya:
1. DPR harus mempunyai waktu khusus
untuk membahas proses anggaran
dengan mengkaji secara
teliti sehingga proses
tersebut dapat berjalan lancar;
2. DPR harus menguasai
keseluruhan struktur dan proses anggaran sehingga bisa memberikan peran yang
maksimal terhadap proses anggaran;
3. DPR
dengan didukung oleh
Undang-undang seharusnya mampu memberikan kontribusi
lebih besar; bukan
hanya sekedar menerima atau menolak
RUU APBN. DPR
seharusnya dapat mendiskusikan
anggaran sebagai sebuah instrumen kebijakan dan untuk menjamin bahwa
anggaran tersebut sesuai dengan
prinsip-prinsip yang tercantum
dalam konstitusi. DPR juga harus
bisa mengkaji dan menganalisis anggaran secara terperinci berdasarkan fungsi-fungsi
yang ada;
4. Anggaran seharusnya
digunakan oleh Pemerintah dan DPR untuk bertindak sebagai mitra yang
berkepentingan dalam pencapaian tujuan yang sama;
5. Kepentingan tertinggi partai harus
didahulukan di atas kepentingan partai
Fungsi Pengawasan.
Pengawasan yang dilakukan
oleh DPR terdiri
dari dua hal, yaitu:
1. Pengawasan terhadap Pemerintah dalam
melaksanakan Undang-undang;
2. Pengawasan terhadap Pemerintah dalam
melaksanakan APBN.
Pengawasan
DPR terhadap Pemerintah dalam melaksanakan APBN dapat dilakukan melalui dua
hal, yaitu:
1. Melalui
rapat-rapat kerja yang
dilakukan oleh komisi-komisi
DPR dengan
departemen-departemen pemerintahan. Dalam
rapat kerja tersebut,
DPR dapat mengadakan pembahasan
mengenai berbagai hal
dengan Pemerintah. Selain itu, DPR juga membahas hasil dengar pendapat
komisi-komisi dengan masyarakat,
NGO, akademisi. Fungsi
pengawasan dan fungsi penganggaran
akan beririsan ketika
DPR melakukan pembahasan dengan
Pemerintah untuk menyetujui RUU APBN atau PAN yang diajukan oleh Pemerintah.
2. Menerima dan membahas laporan dari BPK.
Berdasarkan Pasal
23E UUD 1945
Perubahan Ketiga, ditetapkan
bahwa hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD,
DPRD, sesuai dengan kewenangannya. Hasil
pemeriksaan yang dilakukan
oleh BPK akan digunakan
oleh DPR untuk mengevaluasi pertanggungjawaban Pemerintah dalam
pelaksanaan APBN. Menurut Pasal 145 Peraturan Tata Tertib DPR,
DPR membahas hasil
pemeriksaan tersebut yang diberitahukan oleh BPK
dalam bentuk Hasil Pemeriksaan Semester,
yang kemudian disampaikan dalam
rapat paripurna DPR
untuk dipergunakan sebagai bahan
pengawasan. Hasil pemeriksaan
juga membantu DPR dalam
rangka memberikan persetujuan
atas PAN yang
diajukan oleh Pemerintah.
3. APBN
Rapuh Akibat Kebijakan Politik
Meminjan teory Keynes bahwa
ekonomi politik adalah pembuktian yang ia buat bahwa mekanisme penyesuaian diri
dalam perekonomian pasar (regulasi yang dilakukan pasar terhadap dirinya
sendiri/pnt) memiliki beberapa keterbatasan. Dengan kata lain, perekonomian
pasar pada dasarnya tidak mampu memanfaatkan keseluruhan potensi produksi yang
ada dalam masyarakat. Seringkali pasar kurang berhasil dalam mempertemukan
antara pemasok dengan pembeli (Caporaso:237).
Perubahan terhadap
penilaian kolektif mengenai kemampuan pasar untuk mengatur dirinya sendiri
menghasilkan beberapa masalah penting dalam agenda politik. Salah satu agenda
yang terpenting adalah peran dalam pemerintah untuk menjamin nafkah warga
masyarakat dan menjamin adanya investasi dalam masyarakat.
Diketahui bersama bahwa
setiap tahun pemerintah selalu menganggarkan APBN untuk kebutuhan belanja
negara. Sebelum APBN itu disahkan Presiden, pemerintah dan DPR melakukan rapat
kerja terlebih dahulu untuk membahas hal-hal yang sangat penting dalam APBN.
Setiap tahun, APBN
negara ini selalu mengalami peningkatan. Tujuannya untuk mengimbangi angka
inflasi yang ada di masyarakat. Namun, walaupun pemerintah mensahkan kenaikan
APBN setiap tahunnya, APBN tersebut belum dapat mengangkat taraf hidup
masyarakat ke arah yang lebih baik.
Walaupun angka APBN
telah mengalami peningkatan, namun APBN Indonesia rapuh. Persoalannya setelah
ada penambahan angka APBN setiap tahunnya. Apakah ada pembangunan infrastruktur
yang signifikan selama lima tahun terakhir? “Jawabnya jelas tidak ada.
Di negeri ini hanya ada
satu undang-undang (UU) yang dapat diusulkan pemerintah. Sedangkan DPR tidak
dapat mengusulkan UU tersebut. UU itu adalah UU APBN. Baik dan buruknya atau
strukturnya seperti apa, itu tergantung pemerintah.
Jadi, dalam APBN ini
proses politiknya disimpulkan bahwa tidak ada kepemimpinan dalam proses APBN.
Istilahnya, dalam teori ekonomi politik APBN diserahkan kepada political market atau seperti pasar
barang bekas. Bukan pasar yang canggih. Akibat tidak ada kepemimpinan dalam
APBN di Indonesia, makapostur dan struktur APBN semakin rapuh dan tidak sehat.
Fiskal space hanya tersisa sekitar 5% setelah
dikurangi belanja yang rutin dan belanja yang sudah mengikat. Kemudian struktur
dan postur yang rapuh ini merupakan refleksi dari ketiadaan kepemimpinan
ekonomi dan kelemahan kebijakan fiskal. Selain itu, dalam APBN ini sulit untuk
membuat kebijakan yang produktif. Sebab, selama politik anggaran seperti saat
ini, maka instrumen fiskal akan lemah.
Ambilah contoh kasus
kenaikan BBM dalam APBN-P tahun 2012 dengan asumsi walaupun untuk penyelamatan
fiskal dan APBN, atau dalam cakupan yang lebih luas ini untuk menyelamatakan
ekonomi nasional
Rapat paripurna DPR RI
baru saja ditutup. Rapat tersebut
menutup sejumlah keraguan banyak pihak apakah harga BBM dinaikkan atau tidak
? Nyatanya pemerintah tidak jadi
menaikkan harga BBM karena berbagai alasan.
Padahal sejak awal tahun telah ada pernyataan tidak resmi pemerintah
yang akan mengeluarkan kebijakan baru terkait harga BBM karena faktor harga minyak sudah kian meroket menembus
batas 100 US$/barrel. Kebijakan
tersebut patut menjadi perhatian karena pada saat yang sama partai pemerintah
yakni Partai Demokrat tengah melakukan rapat kordinasi nasional (Rakornas) guna
membahas masalah berkaitan dengan kasus internal partai yang membuat nama baik
partai menurun.
Dalam kacamata politik
saat ini, menaikkan harga BBM di saat
partai pemerintah tengah menghadapi
“pencitraan negatif” dan mengalihkannya pada program infrastruktur dan
kesejahteraan rakyat bisa merupakan pilihan tepat. Jika tidak, bisa saja kecaman masyarakat
bawah tidak ada habisnya. Kepercayaan
terhadap pemerintah justru turun
drastis.
Namun, untuk segera
menaikkan harga minyak juga bukan persoalan mudah. Minyak, selain komoditas
strategis, secara filosofis memang harus dikendalikan Negara. Sesuai dengan
pasal 33 UUD 1945, “Bumi, air dan segala isinya dikuasai Negara…” Dengan
demikian, pemerintah tidak memiliki kebebasan untuk menentukan harganya secara
otonom dan mengikuti harga pasar. Oleh karena itu pula, Mahkamah Konstitusi
sudah mengamandemen UU yang semula member kewenangan kepada pemerintah
tersebut. Artinya, untuk menentukan komoditas yang di masa lalu menjadi sumber
utama APBN kita, Pemerintah mesti minta persetujuan DPR RI yang notebene adalah
wakil rakyat.
Masalahnya, bila
diserahkan sepenuhnya kepada wakil rakyat untuk menentukan harga minyak mulai 1
April, niscaya akan dengan mudah harga itu dinaikan. Masalahnya, sebagian besar
suara anggota DPR sudah dimobilisasi kedalam Kelompok Koalisi, lewat
Sekretariat Gabungan (Setgab). Dari 560 anggota DPR RI, tinggal PDI P (98
suara), Gerindra (28 suara) dan Hanura (17 suara). Praktis, gabungan dari
ketiga partai oposisi itu akan dengan mudah dikalahkan oleh partai Koalisi yang
terdiri dari Partai Demokrat (148 suara), Golkar (106 suara), PKS (57), PAN (46
suara) dan PPP (38 suara) serta PKB (28 kursi).
Untuk itulah oposisi
dan parlemen jalanan muncul. Hamper di seluruh kota besar dan kecil, apa yang
disebut kekuatan rakyat lahir dan mengibarkan bendera “perang” terhadap siapa
pun yang berusaha menaikan harga minyak. Dengan membawa suara rakyat dan kaum
papa yang diwakilinya, mereka memiliki argument
sendiri. Persoalannya, sangat sederhana. Bukan APBN yang terganggu atau
kenaikan harga minyak di pasar global, melainkan apa yang akan mereka langsung
rasakan seandainya harga minyak di naikan dari Rp 4500,- menjadi Rp 6000,-.
Semua kebutuhan akan dengan sendirinya ikut naik. Kalau pun pemerintah
menjanjikan Bantuan Langsung Sementara sebesar Rp 150.000,- diberikan,
jumlahnya jauh di bawah tambahan biaya yang harus mereka keluarkan.
4. Ekonomi
Politik Demokratisasi
Demokratisasi adalah
proses politik yang menghargai kemajemukan, kesetaraan dan perbedaan pendapat.
Lewat demokrasi, hak-hak berpolitik warga dilindungi. Artinya, tak ada
kebijakan politik yang boleh dilahirkan tanpa adanya konsultasi publik. Sebagai
konsekuensinya, semakin beragam kelompok dan kepentingan warga, makin lama
proses itu diambil.
Idealnya, mekanisme
pengambilan keputusan tersebut sungguh-sungguh didasarkan pada kepentingan
masyarakat. Karena rakyatlah pemilik keadulatan di negeri ini (Pasal 1 ayat 2
UUD 1945), maka sudah seharusnya bila setiap keputusan yang menyangkut hajat
hidup orang banyak dimintakan persetujuan kepada rakyat. Bila di masa lalu,
penentuan wakil rakyat diserahkan kepada pemimpin, sejak era reformasi,
rakyatlah yang harus memilihnya secara langsung. Amandemen UUD 1945 mengenai
pemilihan umum menjadi bukti nyata dari keniscayaan kekuasaan pemilik
keadulatan di negeri ini. Dengan kata lain, sumberdaya yang diperlukan untuk
memperjuangkan kepentingan adalah kearifan dan kenegarawanan, bukan yang lain.
Semua actor politik yang terlibat mesti bekerja atas dasar itu. Meski harus
diakui bahwa demokrasi pun bukan sebuah system yang tanpa cacat, namun sejauh
ini, hanya norma itulah yang dipandang mencerminkan kehendak rakyat.
Sayang sekali, secara
empiric, peran sumberdaya politik menjadi sangat sentral dalam memperjuangkan
kepentingan. Dalil “tak ada makan siang gratis” nampaknya sulit dielakan dalam
proses demokrasi tersebut. Apalagi bila yang dibahas memiliki nilai strategis,
maka makin mahal pula taruhannya. Itulah yang dimaksud sebagai harga dari
sebuah demokrasi. Apalagi dalam konteks kepolitikan Indonesia modern, masuknya
pertimbangan yang bersifat transaksional nampak begitu kentara. Ketika para
anggota DPR harus memperhitungkan biaya dan investasi politik yang harus mereka
keluarkan sehari-hari, dan terutama dalam pemilihan umum, maka sangat masuk
akal pula jika pikiran kenegarwanan semakin jauh ditinggalkan. Kepentingan
bangsa hanya dijadikan jargon politik, sementara kepentingan pribadi dan
partaiah yang menonjol. Nampaknya ada kecenderungan seperti ini,
mentang-mentang sudah memiliki kekuasaan dan keabsahan untuk membuat
Undang-Undang, para anggota DPR merasa memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan
apa pun.
Dalam kaitannya dengan
pengambilan keputusan mengenai harga BBM,
pertimbangan ekonomi politiknya jelas sekali. Secara ekonomi, BBM adalah
hasil dari pengolahan sumberdaya alam. Menurut Pasal 33 UUD 1945, sebagaimana
dikutip sebelumnya, Negara memiliki kuasa atas bumi, air dan segala isinya, dan
digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Artinya, BBM tidak bias
diserahkan pada mekanisme pasar. Beda dengan komoditas lain yang tidak
diamanatkan dalam UUD 1945, selama sumber enerji kita berasal dari alam, maka
produksi, harga dan distribusinya harus ditentukan Negara.
Dari segi politik, DPR
merupakan kepanjangan tangan rakyat. Dalam system demokrasi perwakilan,
keberadaan DPR menjadi sangat sentral. Karena besarnya jumlah penduduk,
mustahil pelaksanaan kedaulatan rakyat dilakukan secara langsung. Sebagai
konsekuensinya, para wakil rakyat itulah yang memiliki keabsahan untuk
mengatasnamakan penduduk dalam setiap pengambilan keputusan nasional. Para
wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum, harus mengambil sikap ketika
masalah BBM muncul kepermukaan. Sikap yang dimaksud adalah sesuai dengan norma
demokrasi perwakilan yang berlaku di negeri ini, yakni memperjuangkan aspirasi
rakyat, bukan kehendak pemimpin atau pedagang minyak.
5.
Politik
Kebijakan Harga BBM
Dari sisi ekonomi,
sebenarnya kenaikan harga BBM menjadi sesuatu yang taken for granted (tak perlu banyak diperdebatkan) sifatnya.
Sejak produksi minyak kita menurun terus, dari sekitar 1,5 juta barrel perhari
pada era sebelum 1990an menjadi sekitar 900.000 barrel perhari sekarang,
praktis, kita sudah menjadi Negara pengimpor minyak mentah (net importer
country). Sejak beberapa tahun lalu pula, kita meninggalkan keanggotaan dalam
organisasi Negara pengekspor minyak (OPEC). Pada saat yang sama pula dua
perkembangan terjadi. Pertama, supply minyak dunia kian berkurang, terutama
sejak terjadi dinamika politik di sejumlah Negara pengekspor minyak di Timur
Tengah. Kedua, permintaan akan minyak cenderung meningkat pula, sehubungan dengan
tingkat kemajuan berkonsumsi masyarakat. Demikian juga dengan konsumsi BBM di
dalam negeri. Dari waktu ke waktu, sehubungan dengan makin besarnya jumlah
konsumsi minyak perkapita masyarakat Indonesia, tak dipungkiri lagi bila impor
minyak kita pun terus merambat naik. Sebelum ada kebijakan baru mengenai
enerji, ketergantungan kita pada sumber daya enerji konvensional, cenderung
meningkat terus.
Celakanya, politik
anggaran kita juga cenderung memilih anggaran berimbang dengan “membiarkan”
politik subsidi untuk harga BBM. Demi menjaga stabilitas politik dalam negeri,
Pemerintah cenderung bertahan pada harga minyak domestic yang dipandang
memiliki nilai keekonomian, di satu pihak, dan bernuansa populis di pihak lain.
Dengan demikian, diharapkan, politik harga enerji ini dapat member kontribusi
terhadap APBN, di satu sisi, dan melindungi ekonomi rakyat di sisi lain. Pada
gilirannya, pertumbuhan ekonomi makro akan tetap terjaga, dan pengelolaan
politik juga bias diteruskan.
Masalahnya, ada
beberapa hal yang abai dilakukan pemerintah. Pertama, ternyata, pemerintah
tidak mampu menciptakan pasar enerji domestic yang steril, bebas dari pengaruh
gejolak harga enerji di pasar global. Dalam APBN 2012 ditentukan bahwa anggaran
belanja kita sekitar Rp 1400 triliun, dengan asumsi harga minyak $ 90
perbarrel. Kenyataannya, harga minyak dalam pasar dunia sudah sampai ke angka $
110. Dengan demikian, apabila tidak ada perubahan, APBN kita harus member
subsidi lebih besar lagi untuk membayar minyak yang kita impor. Kedua, biaya belanja public cenderung
meningkat terus. Sehubungan dengan citra demokratisasi, Pemerintah nampaknya
berusaha terus mengakomodasi tuntutan politik domestic yang cenderung
memperbanyak lembaga Negara. Semuanya membutuhkan uluran tangan Negara yang notebene
makin mengalami kesulitan dalam menggali sumbernya sendiri. Dengan kata lain,
efisiensi birokrasi nampaknya tak tersentuh oleh perkembangan harga enerji itu.
Ketiga, derajat korupsi masih terus meninggi dan cenderung melebar dan
terdesentralikstik. KPK dan berbagai instrument pengawasan pembangunan, sejauh
ini seperti kewalahan dalam menghadapi fenomena korupsi di berbagai lembaga
Negara. Sebagai konsekuensinya, APBN 2012 harus lebih tinggi disbanding tahun
sebelumnya. Yang menjadi masalah, akankah peningkatan APBN akan berdambak
radikal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat?
Simpulan
Sidang paripurna DPR
yang cukup mendebarkan, usai sudah. Perwakilan rakyat di luar parlemen yang
marah, juga sudah berlal. Dinamika politik kembali ke titik awal. Para wakil
rakyat kembali ke kondisi semula, dan para demonstran juga tidak lagi terlihat
di jalanan. Masalahnya, apakah ada kaitan antara peristiwa di akhir Maret yang
lalu dengan nasib rakyat selanjutnya?
Inilah menariknya
politik di Indonesia. Kendati suatu saat berkembang parlemen jalanan yang cukup
massif dan terkadang anarkis, pengaruhnya terhadap negeri ini hanya sesaat
sifatnya. Tuntutan pemakzulan (impeachment)
terhadap kekuasaan presiden, ramai sementara, setelah itu, tidak lagi menjadi
berita. Ini membuktikan bahwa tiadanya visi dalam pergerakan, kecuali “amarah
sesaat” para elite yang terganggu kepentingannya. Sebagai tawarannya,
kompensasi harus diberikan untuk meredakan amarah elite tersebut. Ketika
kesepakatan antar elite sudah dicapai, gelombang amarah itu kembali mereda.
Hal ini menunjukkan
bahwa demokrasi kita masih sangat elite sentries sifatnya. Demokrasi dalam arti
sesungguhnya, “suara rakyat adalah suara Tuhan”, masih terbatas pada retorika.
Apa yang disebut “rakyat” belum dapat ditafsirkan secara matematis. Rakyat
hanyalah massa (crowds) yang kemunculannya sangat ditentukan oleh elite. Ibarat
pemandu sorak dalam sebuah pertandingan oleh raga, elite itulah pemandu
soraknya. Bahkan, partai politik pun tak lebih dari kumpulan orang, yang
geraknya sangat ditentukan oleh elite yang menentukan nasib partai.
Dalam konteks penentuan
harga BBM, sekilas memang proses
demokrasilah yang mengaturnya. Sebagai wakil rakyat, DPR memiliki kewenangan
untuk bersama pemerintah menentukan harga minyak domestic. Selain karena
kalkulasi financial dalam APBN, peran minyak dalam perekonomian nasional tak
boleh lepas dari suara rakyat di dalamnya. Sesuai dengan konstitusi kita,
Negara harus menguasai segala macam sumberdaya alam yang mempengaruhi
kepentingan orang banyak. Untuk itulah harga minyak tidak boleh diserahkan
kepada mekanisme pasar.
Akan tetapi, politik
kebijakan kita, termasuk dalam menentukan harga minyak, sangat ditentukan oleh
elite. Sebagai akibatnya, ketika kepentingan elite terakomodasi, politik itu
tak lagi relevan. Semua proses politik tak pernah jauh dari transaksi yang
menguntungkan semua pihak terkait. Memang tak ada makan siang gratis, kata
pepatah yang akhir-akhir ini popular.
DAFTAR PUSTAKA
Deliarnov, 2006 Ekonomi Politik, Mencakup Berbagai Teori dan
Konsep yang Komprehensif. Erlangga, Jakarta.
Rachbini, Didik J, 2011.
Ekonomi Politik. Pustaka Pelajar,
Jogjakarta.
UU No.
17/2003, tentang : Keuangan
Negara
Yustika, Ahmad Erani, 2009
Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan
Kajian Empiris. Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Posting Komentar