Headlines News :
Home » , » SOSOK NILAI BUDAYA JAWA : Sebuah Rekonstruksi Normatif (Bagian 1)

SOSOK NILAI BUDAYA JAWA : Sebuah Rekonstruksi Normatif (Bagian 1)

Written By Kang Naryo on Senin, 08 April 2013 | 14.50

Oleh : Djoko Saryono
 
Pengertian Nilai Budaya Jawa
HARUS DIAKUI, MEMANG CUKUP SULIT MERUMUSKAN pengertian nilai budaya Jawa (selanjutnya disingkat NBJ) yang luas, komprehensif, dan holistis yang mampu mengatasi, meliputi, atau merangkum segenap sendi historisitas, geopolitik, dan geokultural budaya Jawa. Kesulitan atau ketidakmudahan ini minimal disebabkan oleh tiga hal. Hal pertama adalah bahwa pendukung atau pemangku budaya Jawa — yang disebut etnis atau manusia Jawa — sekarang tersebar luas secara keruangan [spasial] dan sosial karena perkembangan dan perubahan demografis, spasial, sosial, ekonomi, dan politik. Berkat adanya transmigrasi, migrasi, urbanisasi, persebaran pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan politik lain dari pemerintah kolonial Belanda dan negara-bangsa Indonesia, misalnya, mereka [baca: pendukung budaya Jawa] sudah menyebar ke berbagai daerah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, dan lain-lain. Mereka sudah tidak sepenuhnya mengartikan falsafah mangan ora mangan kumpul secara fisikal-skriptural, melainkan lebih secara rohaniah-hermeneutis, sehingga — misalnya — tradisi mudik berkembang pesat di kalangan manusia Jawa. Maka, akibatnya, pengertian yang bertolak dari historisitas, geopolitik, dan geokultural Jawa tertentu sudah tidak mampu merangkum seluruhnya. Sebagai contoh, pengertian yang bertolak dari sejarah, geopolitik, dan geokultural Kerajaan Mataram-Islam atau Yogyakarta-Solo sudah tidak mampu merangkum dan menampung seluruh fenomena budaya Jawa – yang sekarang sudah demikian njelimet. Hal kedua adalah bertahan dan kuatnya pandangan yang melihat budaya Jawa menurut satuan waktu tertentu dan satuan wilayah tertentu; satuan historis dan satuan geokultural tertentu. Hal ini mengakibatkan timbulnya pandangan bahwa yang dimaksudkan dengan budaya Jawa terbatas pada budaya yang berkembang sebelum terbentuknya negara-bangsa Indonesia di wilayah-wilayah utama atau lingkaran konsentris (bekas) kerajaan Mataram. Maka, akibatnya, budaya yang berkembang di wilayah Pesisir dan di kalangan manusia Jawa yang memeluk Islam [juga agama lain] secara sungguh-sungguh (atau — meminjam jargon istilah Orde Baru — secara murni dan konsekuen), sebagai contoh, jarang dipandang sebagai sebuah sosok budaya Jawa; tidak sah sebagai budaya Jawa. Hal ketiga adalah bahwa secara real atau das sein, in concreto, budaya Jawa terus-menerus berproses, berdialektika, berdinamika, dan atau berubah sosok, bentuk, format, dan atau strukturnya sampai sekarang seiring dengan perubahan dan perkembangan spasial, demografis, sosial, ekonomi, wilayah, dan politik masyarakat Jawa. Maka, setiap pengertian budaya Jawa yang dirumuskan pada dasarnya merupakan konstruk teoretis atau normatif yang sangat bergantung pada dasar atau sosok-bentukformat- struktur fenomena budaya yang ditangkapnya. 
Rumusan-rumusan pengertian NBJ yang sekarang ada sudah tentu kebanyakan bersifat terbatas dan atomistis. Sebagai contoh, pengertian yang dikemukakan oleh Magnis-Suseno dalam Etika Jawa dalam Tantangan (1983) dan Etika Jawa (1984) tampak bersifat terbatas dan atomistis karena NBJ hanya diartikan dengan rujukan keraton Solo-Yogya (mandala negarigung) dan semangat pra-Islam [baca: Hindu-Budha]. Apa yang berada di luar lingkaran konsentris ciptaan penguasa Mataram dan semangat sesudah Islam tampak kurang dipertimbangkan oleh Magnis-Suseno. Hampir sama dengan Magnis-Suseno, pengertian yang dikemukakan oleh Hadiwijono dalam Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa (1983) terbatas dan atomistis juga karena NBJ hanya diartikan dengan rujukan Solo-Yogya (mandala negarigung) dan semangat pra-Islam (semangat Hindu-Budha dan animistis) dan — apa yang biasa disebut — Islam nominal (Islam Abangan). Demikian juga pengertian yang dikemukakan oleh Hardjowiraga dalam Manusia Jawa (1984). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mulder dalam buku Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil (1983) dan Pribadi dan Masyarakat di Jawa (1985). Pengertian-pengertian ini hanya dapat menjangkau (bekas pusat kerajaan Mataram (atau biasa disebut dengan lingkaran konsentris mandala negarigung) dan hanya mewadahi sebagian fenomena budaya etnis Jawa karena hanya golongan tertentu — dalam hal ini golongan priyayi — yang dijadikan rujukan utama. Kemudian pengertian yang dikemukakan oleh Moertono dalam Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau (1985) dan Laksono dalam Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa: Kerajaan dan Pedesaan (1985) — meskipun sudah sedikit lebih luas daripada pengertian di atas — terpusat pada wilayah utama atau inti lingkaran konsentris (bekas) kerajaan Mataram yang lazim disebut daerah Kejawen (yang hanya meliputi daerah Banyumas, Bagelan, Madiun, Kediri, Yogyakarta, dan Surakarta) atau yang oleh Belanda disebut vorstenlanden. 
Selanjutnya, meskipun modelnya sudah banyak mendapat kritik, pengertian yang dikemukakan oleh Geertz dalam Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (The Religion of Java) (1960; 1983) relatif lebih luas dibandingkan dengan pengertian-pengertian di atas. Pengertian (Clifford) Geertz tentang NBJ sudah merangkum pelbagai kalangan religiokultural dan sosiokultural serta menjangkau wilayah di luar lingkaran pusat kerajaan Mataram (dalam hal ini wilayah yang biasa disebut mandala mancanagari atau sabrang wetan). Pengertian yang relatif sama dikemukakan oleh (Hildred) Geertz dalam Keluarga Jawa (The Javanese Family) (1960; 1983). Demikian juga pengertian yang dipakai oleh Anderson dalam Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa (The Idea of Power in Javanese Culture) (1972), Ali dalam Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern (1986), dan Burger dalam Perubahan-perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa (1983). Meskipun sudah cukup luas dan lebih komprehensif, harus dinyatakan di sini bahwa pengertian-pengertian tersebut belum sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya menang-kap dan menampung kemungkinan variasi (keberagaman) regional-geografis, historis, sosiologis, dan kultural yang pada dasarnya merupakan manifestasi, artikulasi, dan eksternalisasi budaya Jawa yang diidealkan, dicitrakan, dan dicitakan oleh segenap manusia Jawa.
 
Pengertian NBJ yang dipakai oleh Ricklefs dalam Sejarah Modern Indonesia (1991) sudah relatif luas dan menyeluruh walaupun Ricklefs tidak menyatakannya secara eksplisit – hanya tersirat dalam cakupan dan paparan bukunya. Begitu juga pengertian NBJ yang dipakai oleh Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru I: Dari Emporium sampai Imperium (1992) dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme (1993) tergolong luas karena sudah mencoba memasukkan variasi regional, historis, dan sosiologis. Pengertian yang relatif sama juga dikemukakan oleh Simuh dalam Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (1995) karena variasi-variasi historis dan religiokultural sudah dipertimbangkan. Meskipun demikian, ketiga pengertian tersebut belum menampung sebagian besar variasi regional-geografis, historis, sosiologis, dan religiokultural budaya Jawa yang secara real ada. Pengertian yang mencoba menampung dan memasukkan variasi regional, historis, sosiologis, dan religiokultural sekaligus telah dicoba dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa (1984) dan Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan [Jilid I] (1996), Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia [Jilid II] (1996a), dan Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan-warisan Kerajaan Konsentris [Jilid III] (1996b). Meskipun didasarkan pada konsepsi Redfield, di sini Koentjaraningrat mengkonsepsikan budaya Jawa sebagai budaya yang (i) secara regional berasal dan berkembang di wilayah yang sekarang disebut Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat (mandala negarigung, mancanagari, tanah sabrang wetan, surabaya, pesisir wetan, pesisir kilen, dan banyumasan), (ii) secara historis merangkum masa pra-Hindu-Budha, masa Hindu-Budha, masa Kerajaan Islam, masa Kolonialisme, dan masa Negara-bangsa Indonesia, dan (iii) secara [sosio dan religio]kultural mencakupi  santri, abangan, priyayi, dan orang kecil (wong cilik) yang secara perenial bisa dikatakan memiliki — apa yang diistilahkan oleh Smith (1985) dalam filsafat perenialnya (philosophia perennis atau perennial philosophy) — pesan dasar atau visi dasar (the common  vision) yang relatif sama. Uraian secara lebih terperinci dan luas, meskipun dengan peristilahan dan penataan gagasan berbeda, telah dikemukakan oleh Lombard. Pada dasarnya, Lombard berpendapat bahwa BJ merupakan sebuah budaya yang selama dua ribu tahun memperoleh warisan-warisan kerajaan konsentris, (pengaruh) jaringan Asia (India dan Cina), dan pengaruh oksidentalisasi yang berpusat di Pulau Jawa. Kendati umum, konsepsi ini dapat dikatakan sudah relatif luas dan menyeluruh serta berimbang yang sudah menangkap dan bisa menampung serta memasukkan sebanyak-sebanyaknya, seluas-luasnya, dan sedalam-dalamnya fenomena budaya Jawa. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa NBJ adalah :
  1. NB yang dipangku, dipeluk, dan diikuti oleh manusia Jawa (etnis Jawa) dalam pengertian seluas-luasnya;
  2. yang secara genealogis-regional tumbuh dan berkembang di wilayah (yang sekarang disebut) Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat serta wilayah-wilayah lain di luar Jawa; 
  3. dan yang secara historis mencakup masa sebelum Hindu-Budha sampai dengan masa Negara-bangsa Indonesia sekarang.
NBJ tersebut dipangku, dipeluk, dan diikuti baik oleh golongan santri dan abangan maupun oleh golongan priyayi dan orang kecil yang bertempat tinggal di pedesaan dan di perkotaan. Di samping itu, NBJ tersebut dipangku, dipeluk, dan diikuti oleh orang Jawa yang berasal dari berbagai agama [Hindu, Budha, Islam, Katolik, dsb.], strata sosial [kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah], dan tempat tinggal [perdesaan, perkampungan, dan perkotaan]. Pengertian luas, menyeluruh, dan “longgar” ini perlu diberi dua buah catatan. Catatan pertama adalah bahwa pengertian tersebut mengimplikasikan adanya variasi-variasi NBJ. Lebih lanjut, hal ini berarti bahwa in concreto atau das sein dalam kehidupan sehari-hari terdapat kemajemukan atau keragaman NBJ sebagai wujud-wujud subkultur NBJ. Meskipun demikian, variasi-variasi atau keragaman itu semuanya berfungsi menyangga dan mendukung keberadaan dunia Jawa (pandangan dunia, mitologi, dan kosmologi Jawa) karena secara perenial memuat pesan dasar yang sama. Dengan kata lain, secara perenial – meminjam konsep dalam filsafat perenial – semua variasi NBJ baik variasi historis, sosiologis maupun kultural relatif sama pada tingkat pesan dasar atau visi terdalam BJ. Dikatakan demikian karena pesan dasar atau visi terdalam BJ merupakan common platform bagi NBJ. Catatan kedua adalah bahwa NBJ yang dipangku, dipeluk, dan diikuti oleh manusia Jawa yang sekarang sudah keluar dari wilayah asal-usul budaya Jawa masih dapat disebut atau digolongkan sebagai NBJ selama memiliki substansi yang relatif sama dengan NBJ pada umumnya. Maka, nilai budaya yang diikuti oleh orang Jawa di Tondano, di Suriname, dan di berbagai daerah transmigrasi di Indonesia masih dapat disebut NBJ. Oleh berbagai peneliti pun nilai-nilai mereka masih dianggap NBJ di perantauan. Oleh karena itu, keberadaan dan sosok NBJ tidak harus didasarkan atas kenyataan geokultural dan regional semata-mata, tetapi pertama-tama perlu didasarkan atas karakteristik umum yang secara sistemis dan sistematis melekat padanya yang pada dasarnya merupakan pesan dasar atau visi terdalam BJ. Hal ini dapat diketahui dengan melihat BJ dari perspektif perenial atau berdasarkan paradigma filsafat perenial. (*bersambung)
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Gubuk Maya Kang Naryo | Mas Template
Copyright © 2009. GubuK Maya | Kang Naryo - All Rights Reserved
Created by Gubuk Maya | Kang Naryo
Powered by Blogger