Oleh : Djoko Saryono
Pengertian Nilai Budaya Jawa
HARUS DIAKUI,
MEMANG CUKUP SULIT MERUMUSKAN pengertian nilai budaya Jawa (selanjutnya
disingkat NBJ) yang luas, komprehensif, dan holistis yang mampu
mengatasi, meliputi, atau merangkum segenap sendi historisitas,
geopolitik, dan geokultural budaya Jawa. Kesulitan atau ketidakmudahan
ini minimal disebabkan oleh tiga hal. Hal pertama adalah bahwa
pendukung atau pemangku budaya Jawa — yang disebut etnis atau manusia
Jawa — sekarang tersebar luas secara keruangan [spasial] dan sosial
karena perkembangan dan perubahan demografis, spasial, sosial, ekonomi,
dan politik. Berkat adanya transmigrasi, migrasi, urbanisasi, persebaran
pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan politik lain dari pemerintah
kolonial Belanda dan negara-bangsa Indonesia, misalnya, mereka [baca:
pendukung budaya Jawa] sudah menyebar ke berbagai daerah Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, dan lain-lain. Mereka sudah tidak
sepenuhnya mengartikan falsafah mangan ora mangan kumpul secara
fisikal-skriptural, melainkan lebih secara rohaniah-hermeneutis,
sehingga — misalnya — tradisi mudik berkembang pesat di kalangan manusia
Jawa. Maka, akibatnya, pengertian yang bertolak dari historisitas,
geopolitik, dan geokultural Jawa tertentu sudah tidak mampu merangkum
seluruhnya. Sebagai contoh, pengertian yang bertolak dari sejarah,
geopolitik, dan geokultural Kerajaan Mataram-Islam atau Yogyakarta-Solo
sudah tidak mampu merangkum dan menampung seluruh fenomena budaya Jawa –
yang sekarang sudah demikian njelimet. Hal kedua adalah
bertahan dan kuatnya pandangan yang melihat budaya Jawa menurut satuan
waktu tertentu dan satuan wilayah tertentu; satuan historis dan satuan
geokultural tertentu. Hal ini mengakibatkan timbulnya pandangan bahwa
yang dimaksudkan dengan budaya Jawa terbatas pada budaya yang berkembang
sebelum terbentuknya negara-bangsa Indonesia di wilayah-wilayah utama
atau lingkaran konsentris (bekas) kerajaan Mataram. Maka, akibatnya,
budaya yang berkembang di wilayah Pesisir dan di kalangan manusia Jawa
yang memeluk Islam [juga agama lain] secara sungguh-sungguh (atau —
meminjam jargon istilah Orde Baru — secara murni dan konsekuen), sebagai
contoh, jarang dipandang sebagai sebuah sosok budaya Jawa; tidak sah
sebagai budaya Jawa. Hal ketiga adalah bahwa secara real atau das sein, in concreto,
budaya Jawa terus-menerus berproses, berdialektika, berdinamika, dan
atau berubah sosok, bentuk, format, dan atau strukturnya sampai sekarang
seiring dengan perubahan dan perkembangan spasial, demografis, sosial,
ekonomi, wilayah, dan politik masyarakat Jawa. Maka, setiap pengertian
budaya Jawa yang dirumuskan pada dasarnya merupakan konstruk teoretis
atau normatif yang sangat bergantung pada dasar atau sosok-bentukformat-
struktur fenomena budaya yang ditangkapnya.
Rumusan-rumusan
pengertian NBJ yang sekarang ada sudah tentu kebanyakan bersifat
terbatas dan atomistis. Sebagai contoh, pengertian yang dikemukakan oleh
Magnis-Suseno dalam Etika Jawa dalam Tantangan (1983) dan Etika Jawa (1984) tampak bersifat terbatas dan atomistis karena NBJ hanya diartikan dengan rujukan keraton Solo-Yogya (mandala negarigung)
dan semangat pra-Islam [baca: Hindu-Budha]. Apa yang berada di luar
lingkaran konsentris ciptaan penguasa Mataram dan semangat sesudah Islam
tampak kurang dipertimbangkan oleh Magnis-Suseno. Hampir sama dengan
Magnis-Suseno, pengertian yang dikemukakan oleh Hadiwijono dalam Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa (1983) terbatas dan atomistis juga karena NBJ hanya diartikan dengan rujukan Solo-Yogya (mandala negarigung)
dan semangat pra-Islam (semangat Hindu-Budha dan animistis) dan — apa
yang biasa disebut — Islam nominal (Islam Abangan). Demikian juga
pengertian yang dikemukakan oleh Hardjowiraga dalam Manusia Jawa (1984). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mulder dalam buku Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil (1983) dan Pribadi dan Masyarakat di Jawa (1985).
Pengertian-pengertian ini hanya dapat menjangkau (bekas pusat kerajaan
Mataram (atau biasa disebut dengan lingkaran konsentris mandala negarigung)
dan hanya mewadahi sebagian fenomena budaya etnis Jawa karena hanya
golongan tertentu — dalam hal ini golongan priyayi — yang dijadikan
rujukan utama. Kemudian pengertian yang dikemukakan oleh Moertono dalam Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau (1985) dan Laksono dalam Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa: Kerajaan dan Pedesaan (1985)
— meskipun sudah sedikit lebih luas daripada pengertian di atas —
terpusat pada wilayah utama atau inti lingkaran konsentris (bekas)
kerajaan Mataram yang lazim disebut daerah Kejawen (yang hanya meliputi daerah Banyumas, Bagelan, Madiun, Kediri, Yogyakarta, dan Surakarta) atau yang oleh Belanda disebut vorstenlanden.
Selanjutnya, meskipun modelnya sudah banyak mendapat kritik, pengertian yang dikemukakan oleh Geertz dalam Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (The Religion of Java) (1960;
1983) relatif lebih luas dibandingkan dengan pengertian-pengertian di
atas. Pengertian (Clifford) Geertz tentang NBJ sudah merangkum pelbagai
kalangan religiokultural dan sosiokultural serta menjangkau wilayah di
luar lingkaran pusat kerajaan Mataram (dalam hal ini wilayah yang biasa
disebut mandala mancanagari atau sabrang wetan). Pengertian yang relatif sama dikemukakan oleh (Hildred) Geertz dalam Keluarga Jawa (The Javanese Family) (1960; 1983). Demikian juga pengertian yang dipakai oleh Anderson dalam Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa (The Idea of Power in Javanese Culture) (1972), Ali dalam Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern (1986), dan Burger dalam Perubahan-perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa (1983).
Meskipun sudah cukup luas dan lebih komprehensif, harus dinyatakan di
sini bahwa pengertian-pengertian tersebut belum sebanyak-banyaknya dan
seluas-luasnya menang-kap dan menampung kemungkinan variasi
(keberagaman) regional-geografis, historis, sosiologis, dan kultural
yang pada dasarnya merupakan manifestasi, artikulasi, dan eksternalisasi
budaya Jawa yang diidealkan, dicitrakan, dan dicitakan oleh segenap
manusia Jawa.
Pengertian NBJ yang dipakai oleh Ricklefs dalam Sejarah Modern Indonesia (1991)
sudah relatif luas dan menyeluruh walaupun Ricklefs tidak menyatakannya
secara eksplisit – hanya tersirat dalam cakupan dan paparan bukunya.
Begitu juga pengertian NBJ yang dipakai oleh Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru I: Dari Emporium sampai Imperium (1992) dan Pengantar Sejarah Indonesia Baru II: Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme (1993)
tergolong luas karena sudah mencoba memasukkan variasi regional,
historis, dan sosiologis. Pengertian yang relatif sama juga dikemukakan
oleh Simuh dalam Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (1995)
karena variasi-variasi historis dan religiokultural sudah
dipertimbangkan. Meskipun demikian, ketiga pengertian tersebut belum
menampung sebagian besar variasi regional-geografis, historis,
sosiologis, dan religiokultural budaya Jawa yang secara real ada.
Pengertian yang mencoba menampung dan memasukkan variasi regional,
historis, sosiologis, dan religiokultural sekaligus telah dicoba
dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa (1984) dan Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan [Jilid I] (1996), Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia [Jilid II] (1996a), dan Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan-warisan Kerajaan Konsentris [Jilid III] (1996b).
Meskipun didasarkan pada konsepsi Redfield, di sini Koentjaraningrat
mengkonsepsikan budaya Jawa sebagai budaya yang (i) secara regional
berasal dan berkembang di wilayah yang sekarang disebut Yogyakarta, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat (mandala negarigung, mancanagari, tanah sabrang wetan, surabaya, pesisir wetan, pesisir kilen, dan banyumasan),
(ii) secara historis merangkum masa pra-Hindu-Budha, masa Hindu-Budha,
masa Kerajaan Islam, masa Kolonialisme, dan masa Negara-bangsa
Indonesia, dan (iii) secara [sosio dan religio]kultural mencakupi
santri, abangan, priyayi, dan orang kecil (wong cilik) yang secara perenial bisa dikatakan memiliki — apa yang diistilahkan oleh Smith (1985) dalam filsafat perenialnya (philosophia perennis atau perennial philosophy) — pesan dasar atau visi dasar (the common vision)
yang relatif sama. Uraian secara lebih terperinci dan luas, meskipun
dengan peristilahan dan penataan gagasan berbeda, telah dikemukakan oleh
Lombard. Pada dasarnya, Lombard berpendapat bahwa BJ merupakan sebuah
budaya yang selama dua ribu tahun memperoleh warisan-warisan kerajaan
konsentris, (pengaruh) jaringan Asia (India dan Cina), dan pengaruh
oksidentalisasi yang berpusat di Pulau Jawa. Kendati umum, konsepsi ini
dapat dikatakan sudah relatif luas dan menyeluruh serta berimbang yang
sudah menangkap dan bisa menampung serta memasukkan
sebanyak-sebanyaknya, seluas-luasnya, dan sedalam-dalamnya fenomena
budaya Jawa. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa NBJ
adalah :
- NB yang dipangku, dipeluk, dan diikuti oleh manusia Jawa (etnis Jawa) dalam pengertian seluas-luasnya;
- yang secara genealogis-regional tumbuh dan berkembang di wilayah (yang sekarang disebut) Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat serta wilayah-wilayah lain di luar Jawa;
- dan yang secara historis mencakup masa sebelum Hindu-Budha sampai dengan masa Negara-bangsa Indonesia sekarang.
NBJ tersebut
dipangku, dipeluk, dan diikuti baik oleh golongan santri dan abangan
maupun oleh golongan priyayi dan orang kecil yang bertempat tinggal di
pedesaan dan di perkotaan. Di samping itu, NBJ tersebut dipangku,
dipeluk, dan diikuti oleh orang Jawa yang berasal dari berbagai agama
[Hindu, Budha, Islam, Katolik, dsb.], strata sosial [kelas atas, kelas
menengah, dan kelas bawah], dan tempat tinggal [perdesaan, perkampungan,
dan perkotaan]. Pengertian luas, menyeluruh, dan “longgar” ini perlu
diberi dua buah catatan. Catatan pertama adalah bahwa pengertian tersebut mengimplikasikan adanya variasi-variasi NBJ. Lebih lanjut, hal ini berarti bahwa in concreto atau das sein dalam
kehidupan sehari-hari terdapat kemajemukan atau keragaman NBJ sebagai
wujud-wujud subkultur NBJ. Meskipun demikian, variasi-variasi atau
keragaman itu semuanya berfungsi menyangga dan mendukung keberadaan
dunia Jawa (pandangan dunia, mitologi, dan kosmologi Jawa) karena secara
perenial memuat pesan dasar yang sama. Dengan kata lain, secara
perenial – meminjam konsep dalam filsafat perenial – semua variasi NBJ
baik variasi historis, sosiologis maupun kultural relatif sama pada
tingkat pesan dasar atau visi terdalam BJ. Dikatakan demikian karena
pesan dasar atau visi terdalam BJ merupakan common platform bagi NBJ. Catatan kedua adalah
bahwa NBJ yang dipangku, dipeluk, dan diikuti oleh manusia Jawa yang
sekarang sudah keluar dari wilayah asal-usul budaya Jawa masih dapat
disebut atau digolongkan sebagai NBJ selama memiliki substansi yang
relatif sama dengan NBJ pada umumnya. Maka, nilai budaya yang diikuti
oleh orang Jawa di Tondano, di Suriname, dan di berbagai daerah
transmigrasi di Indonesia masih dapat disebut NBJ. Oleh berbagai
peneliti pun nilai-nilai mereka masih dianggap NBJ di perantauan. Oleh
karena itu, keberadaan dan sosok NBJ tidak harus didasarkan atas
kenyataan geokultural dan regional semata-mata, tetapi pertama-tama
perlu didasarkan atas karakteristik umum yang secara sistemis dan
sistematis melekat padanya yang pada dasarnya merupakan pesan dasar atau
visi terdalam BJ. Hal ini dapat diketahui dengan melihat BJ dari
perspektif perenial atau berdasarkan paradigma filsafat perenial. (*bersambung)
Posting Komentar