Headlines News :
Home » , , » Manusia Jawa dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer

Manusia Jawa dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer

Written By Kang Naryo on Senin, 08 April 2013 | 06.37



Oleh : Darmawanto


Pendahuluan
 
Gambaran tentang kebudayaan suatu masyarakat tidak hanya dapat diperoleh melalui tulisan-tulisan ilmiah saja. Demikian juga, gambaran itu tidak harus diperoleh dengan terjun masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan. Gambaran itu dapat diperoleh dengan cara menggali karya-karya fiksi atau non-ilmiah seperti buku-buku sastra atau novel-novel. Bahkan, dari tulisan-tulisan fiksi itu, banyak sekali terungkap pandangan-pandangan dari suatu kebudayaan tertentu yang hidup dalam suatu masyarakat pada masa-masa tertentu. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa karya-karya fiksi adalah suatu produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politis, etika, religi, filosofis, dan sebagainya, yang bertolak dari pengungkapan kembali suatu fenomena kehidupan (Sardjono, 1992: 10). Dapat dikatakan pula bahwa karya fiksi adalah suatu potret realitas yang terwujud melalui bahasa.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menggali gagasan dan gambaran tentang manusia Jawa yang terdapat dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Metode pendekatan yang dilakukan penulis adalah melihat fenomena-fenomena yang langsung tampak dalam tetralogi tersebut, yang mengatakan tentang segala hal yang berkaitan dengan gambaran manusia Jawa.
 

Novel tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer merupakan sebuah novel sejarah. Tetralogi ini terdiri dari empat jilid yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Bumi Manusia melingkupi masa kejadian tahun 1898 sampai 1918, masa periode Kebangkitan Nasional, masa yang hampir tak pernah dijamah oleh sastra Indonesia, masa awal masuknya pengaruh pemikiran rasio, awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga berarti awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Perancis. Anak Semua Bangsa berkisah tentang pengenalan si tokoh pada lingkungannya sendiri dan dunia, sejauh pikirannya dapat menjangkaunya. Jejak Langkah berkisah tentang kelahiran organisasi-organisasi modern Pribumi pertama-tama. Dan Rumah Kaca berkisah tentang usaha Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dalam menjadikan Hindia sebagai rumah kaca, di mana setiap gerak-gerik penduduk di dalamnya dapat mereka lihat dengan jelas, dan dengan hak exorbitant dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap para penghuni dalam rumah itu.

Manusia-manusia Jawa dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer
 

Minke
 

Minke adalah tokoh utama dalam tetralogi ini. Minke adalah seorang pelajar Indonesia pada sekolah menengah Belanda (H.B.S.) di Surabaya. Pengalaman intelektual di lingkungan asing ini, membebaskan dirinya dari belenggu latar belakang Jawa keturunan bangsawan. Minke adalah keturunan satria Jawa, masih memiliki darah raja-raja Jawa; ayahandanya adalah seorang bupati (Ananta Toer, 2001a: 134). Sementara dengan bernafsu menyerap gagasan-gagasan Eropa yang maju, ia juga mengalami bahwa ia adalah seorang warga negara kelas dua di negeri kelahirannya sendiri. Ini mendorongnya untuk menonjol dalam penguasaan bahasa Belanda dan munjukkannya dengan menulis untuk sebuah koran berbahasa Belanda. Minke memiliki tekad untuk menjadi manusia bebas. Tekad inilah yang menjiwai seluruh hidup dan perjuangannya; bahkan ia sangat mengagungkan semboyan Revolusi Perancis, liberte, egalite, fraternite. Menjadi manusia bebas berarti tidak mau tunduk di bawah penguasa kolonial. 

Sejak awal, Minke sudah harus berurusan dengan pengadilan putih (Pengadilan di mana para pejabatnya adalah orang-orang Eropa dan di dalamnya berlaku hukum Eropa. Tentu saja orang Eropa memiliki derajat dan hak serta prioritas yang lebih tinggi dibandingkan orang pribumi), yaitu dalam kasus Nyai Ontosoroh dan Annelies (Nyai Ontosoroh adalah seorang gundik Belanda, dan Annelies adalah anak Nyai Ontosoroh dari Herman Mellema, seorang Belanda totok. Annelies kemudian menjadi istri Minke. Annelies akhirnya meninggal di Nederland setelah diambil paksa oleh keturunan sah ayahnya setelah Herman Mellema tewas). Dalam kasus ini, Minke telah mengerahkan segala upaya, baik lewat pengadilan maupun tulisan-tulisannya. Meskipun mendapat simpati dari masyarakat, segala upaya Minke dan kawan-kawannya gagal. Mereka kalah di hadapan pengadilan putih.
 

Dalam perjalanan hidupnya, ia berhadapan dengan kenyataan eksploitasi kolonial dan ketidakadilan yang dilakukan terhadap massa petani yang menderita. Berang terhadap apa yang dilihat dan didengarnya, ia menulis serangkaian karangan untuk surat kabarnya. Lewat ulisan itu, ia membela nasib Trunodongso (Ananta Toer, 2001b: 174-194). Namun, tulisannya itu tidak diterima oleh redakturnya. Kemudian ia menyadari bahwa surat kabar itu adalah milik pengusaha perkebunan gula yang sangat berkuasa, dan bahwa selama ini ia telah bekerja untuk salah satu alat eksploitasi kolonial. Perjuangannya tidak berhenti sampai di sini. Kemudian ia mendirikan surat kabar sendiri, yaitu harian “Medan” yang berusaha menampung dan membela semua kasus penindasan atau ketidakadilan yang diadukan oleh orang-orang pribumi. Perjuangan ini mendekatkan Minke pada realitas penderitaan bangsanya.
 

Perjuangan Minke tidak hanya lewat tulisan. Dia juga berjuang lewat organisasi modern yang didirikannya. Pembentukan organisasi ini sangat penting karena satu organisasi modern di Hindia sama harganya dengan satu orang Eropa di hadapan hukum. Pertama kali, Minke mendirikan Serikat Priyayi yang beranggotakan para priyayi, yang pasti termasuk golongan terpelajar. Organisasi ini kurang berhasil karena rupanya tidak memiliki kepedulian sama sekali tentang keadaan bangsa Hindia. Kemudian Minke mendirikan Serikat Dagang Islam. Serikat ini bisa berjalan dan berkembang dengan baik karena beranggotakan kelompok mayoritas dari masyarakat pribumi, yaitu para pedagang dan kaum Islam. Dalam perkembangannya, pemerintah kolonial berusaha menggoncang dan memecah belah SDI. Minke kemudian dibuang ke Ambon oleh pemerintah kolonial dengan tuduhan yang tidak benar. Setelah bebas dari pembuangan, Minke menemukan bahwa segala miliknya tidak ada lagi. Dan akhirnya, ia meninggal karena sakit, tanpa diketahui oleh seorang pun kecuali
seorang pengikutnya yang masih setia.
 

Nyai Ontosoroh
 

Nyai adalah perempuan yang hidup sebagai selir/wanita simpanan lelaki nonpribumi/ Eropa. Pada masa itu, seorang Nyai dipandang sebagai manusia yang bermartabat dan bermoral rendah, yang hanya mempunyai kewajiban memuaskan nafsu tuannya tanpa pernah diakui pernikahannya secara sah (Ananta Toer, 2001a: 50).
 

Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai seorang sosok yang sangat berbeda dengan sosok seorang nyai pada umumnya. Nyai Ontosoroh ditampilkan sebagai pribadi yang kuat, tidak menyerah pada nasib. Ini terungkap melalui tekadnya, “Akan kubuktikan pada mereka, apa pun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus lebih berharga daripada mereka, sekalipun hanya sebagai nyai” (Ananta Toer, 2001a: 91) . Ia adalah seorang perempuan pribumi yang kuat, terpelajar, walaupun secara otodidak, dan berjiwa modern. Kemauannya dan usahanya untuk belajar dan tekadnya untuk mandiri menjadikannya sosok yang begitu mempesona bagi ukuran wanita pribumi pada masa itu.
 

Nyai Ontosoroh juga digambarkan sebagai sosok yang gigih memperjuangkan hakhaknya. Bahkan, ketika tak mungkin lagi menang dalam pengadilan putih ketika ia harus berhadapan dengan Ir. Maurits Mellema, ia berkata, “Memang kita tidak mempunyai kekuatan untuk melawan Hukum dan dia, tapi kita masih punya mulut untuk bicara. Dengan mulut itu saja kita akan hadapi dia” (Ananta Toer, 2001b: 360).

Ibunda Minke 


Ibunda Minke adalah gambaran sosok wanita Jawa priyayi. Dia masih menjunjung tinggi adat, tradisi, dan kebudayaan Jawa. Dia tetap berusaha memelihara nilai-nilai Jawa dalam menghadapi nilai-nilai yang ditawarkan oleh para penguasa kolonial. Dia tak hentihentinya menasihati Minke supaya ingat jati dirinya sebagai seorang Jawa, tetapi ia juga memberi kebebasan sepenuh-penuhnya pada Minke untuk memilih dan menentukan arah hidupnya sendiri, walaupun ia sebenarnya menginginkan Minke menjadi seorang bupati (Ananta Toer, 2001a: 137-138, 142).
 

Ibunda Minke dapat dikatakan sebagai sosok ideal bagi wanita Jawa. Hidupnya diabdikan untuk kebahagiaan suami dan anak-anaknya.
 

Ayahanda Minke
 
Ayahanda Minke adalah seorang laki-laki Jawa dari kalangan priyayi. Ia masih keturunan raja-raja Jawa. Semula, ia adalah seorang mantri pengairan, kemudian, ia diangkat menjadi bupati Bojonegoro. Selanjutnya ia dipindah ke Blora. Sebagai seorang Jawa tulen, dan  lebih-lebih lagi sebagai seorang bupati yang hidup pada masa itu, tentu saja ayahanda Minke ini tidak lepas dari sikap feodalistik. Sebagai seorang bupati, seperti halnya dengan bupati-    bupati lain pada masa itu, ia juga memimpikan karunia gelar Pangeran, suatu gelar yang sangat jarang dimiliki oleh bupati di seluruh Jawa (Ananta Toer, 2001c: 342-343). 


Ia sulit untuk mengerti dan memahami pikiran dan tingkah laku, angan-angan dan sepak terjang Minke, bahkan ia menentang segala kegiatan Minke yang berkaitan dengan perjuangan Minke menghadapi pemerintah kolonial melalui tulisan maupun organisasi. Namun akhirnya, ia memutuskan untuk berpihak pada Minke, bahkan menjadi pelindung Sjarikat di dalam kawasannya (Ananta Toer, 2001c: 540-541). Lebih lagi, ia telah mendirikan sebuah sekolah gadis yang cukup bagus di Blora (Ananta Toer, 2001d: 397).
 

Gadis Jepara, Siti Soendari, dan Surati 

Ketiga gadis ini memiliki satu kesamaan, yaitu tidak mau menyerah begitu saja pada nasib. Dengan caranya masing-masing, ketiga gadis itu berusaha memperjuangkan citacitanya, walaupun kesudahan yang dialami ketiganya sangat berbeda. 

Gadis Jepara adalah seorang putri bupati Jepara. Ia hidup dalam lingkungan di mana sistem feodalisme berlaku dengan ketat. Ia hanya mengalami kebebasannya pada masa kecil sampai menanti masa pingitan, di mana hidupnya kemudian hanya berkisar di dalam rumah. Meskipun dalam situasi demikian, ia tekun sekali belajar. Ia memiliki pemikiran yang bagus untuk perempuan bangsanya, dan ia menuangkannya lewat tulisan-tulisan dan surat-suratnya yang membuat kagum banyak orang, termasuk Minke. Oleh karena pemikirannya yang cukup tajam, pemerintah kolonial Hindia-Belanda berusaha membungkamnya dengan mendesak ayahnya supaya segera menikahkannya. Akhirnya dia menikah dengan bupati Rembang. Ia mati pada usia yang masih sangat muda.
 

Siti Soendari adalah seorang gadis dari Pemalang, putri dari seorang teman Minke pada saat masih bersekolah (Ananta Toer, 2001d: 306). Soendari tidak dididik dalam suasana dan lingkungan feodalistik. Ia mengatakan, “Sudah sejak kecil sahaya ditimang-timang oleh ayahanda untuk menjadi wanita bebas. Tak pernah ayahanda melarang apapun yang sahaya perbuat asalkan tidak membahayakan keselamatan dan kehormatan keluarga dan diri sendiri” (Ananta Toer, 2001d: 327). Ia adalah seorang nasionalis muda yang membenci kolonialisme. Ia berjuang bersama para nasionalis muda lainnya melalui tulisan-tulisannya dalam koran maupun melalui orasi-orasinya di depan publik. Pemerintah merasa bahwa gadis jelita itu punya keyakinan dan pendapat yang berlainan dari keinginan Gubermen. Oleh karena itu, Gubernur Jawa Tengah memberi isyarat pada asisten residen Pekalongan, agar ayah Soendari sudi mengendalikan putrinya dengan segera mengawinkannya. Prosedur ini telah dilaksanakan terhadap gadis Jepara dengan berhasil, tetapi Soendari tidak mau mengalami nasib yang sama dengan gadis Jepara. Ia menghindari rencana itu dengan melarikan diri.
 

Surati adalah putri Paiman, kakak Nyai Ontosoroh. Karena ambisi ayahnya, ia terpaksa harus menjadi gundik Tuan Besar Plikemboh. Namun, Surati tetap tidak ingin selama-lamanya menjadi nyai. Surati mempunyai tekad untuk ‘menyelesaikan sendiri kesudahannya’ (Ananta Toer, 2001b: 163). Akhirnya Surati menempuh jalan menulari dirinya sendiri dengan wabah cacar. Dia datang kepada Plikemboh dengan harapan mati segera. Akhirnya, Plikemboh yang mati tertulari cacar dari Surati, sedangkan Surati sendiri terselamatkan.
 

Sastrotomo dan Paiman
 
Dua tokoh ini mewakili manusia Jawa yang ambisius. Sastrotomo tidak puas dengan jabatannya sebagai jurutulis. Ia impikan jabatan yang lebih tinggi kendati jabatannya sudah cukup tinngi dan terhormat. Ia memimpikan jabatan sebagai jurubayar, kassier pemegang kas pabrik gula Tulangan, Sidoarjo. Demi jabatan itu, berbagai jalan ditempuhnya. Sanikem bercerita tentang sikap ayahnya itu, “Tindakannya yang menjilat dan merugikan  temantemannya menjadikannya tersisih dari pergaulan. Ia terpencil di tengah lingkungannya sendiri. Tapi ia tidak peduli” (Ananta Toer, 2001a: 82). Pada akhirnya, ia tega menjual anaknya sendiri, Sanikem, kepada administratur pabrik gula, Tuan Herman Mellema, demi jabatan jurubayar yang diimpikannya.
 

Tidak jauh beda dengan Paiman. Ia menyerahkan Surati, anaknya kepada Tuan Besar Vlekkenbaaij (oleh masyarakat diplesetkan menjadi Plikemboh), administratur pabrik gula saat itu, sebagai ganti jabatan. Walaupun dikisahkan bahwa Paiman dijebak oleh Tuan Besar Plikemboh sehingga ia harus memilih antara membayar kembali uang yang hilang atau menyerahkan Surati, toh Paiman tetap saja menyimpan ambisi besar untuk mempertahankan jabatannya sebagai jurubayar, suatu jabatan yang sangat bergengsi dan dihormati banyak orang. Ia menyatakan:
 

Tapi jabatan:-dia segala dan semua bagi Pribumi bukan tani dan bukan tukang. Harta benda boleh punah, keluarga boleh hancur, nama boleh rusak, jabatan harus selamat. Dia bukan hanya penghidupan, di dalamnya juga kehormatan, kebenaran, hargadiri, penghidupan sekaligus. Orang berkelahi, berdoa, bertirakat, memfitnah, membohong, membanting tulang, mencelakakan sesama, demi sang jabatan. Orang bersedia kehilangan apa saja untuk dia, karena, juga dengan dialah segalanya bisa ditebus kembali. Semakin jabatan mendekatkan orang pada lingkungan orang Eropa, semakin terhormatlah orang (Ananta Toer, 2001b: 146).

Golongan Petani 

Penjajahan selama tiga ratus tahun membuat kaum petani pada umumnya menjadi terpuruk dan tidak berdaya. Kekalahan terus-menerus yang mereka alami selama itu membuat mereka begitu takut dan tunduk pada penguasa kolonial. Penindasan yang mereka alami bukan hanya dari pemerintah kolonial, tetapi juga dari penguasa pribumi. Ketakutan kaum petani Jawa ini ditunjukkan melalui sebuah brosur dari Magda Peters yang mengatakan:
Petani Jawa takut pada semua yang bukan petani, karena dari pengalaman berabad mereka mengerti tanpa sadarnya, semua yang berada di luar mereka secara sendiri-sendiri atau bersama adalah perampas segala apa dari diri mereka... Maka setiap orang dari golongan apa saja, yang tampil, dapat menghibur dan mengambil hatinya, akan mereka ikuti, baik dalam beribadah, berangkat ke medan-perang atau pun tumpas dari kehidupan... mereka bisa membikin amock, bukan karena hendak membela diri, menyerang atau membalas dendam, hanya karena tak tahu apa lagi yang harus diperbuatnya setelah kesempatan hidupnya yang terakhir dirampas juga (Ananta Toer, 2001b: 184-185) .

Situasi terpuruk ini membuat sebagian besar dari mereka kehilangan harapan dan kepercayaan akan diri sendiri. Mereka lebih suka bermimpi bahwa pada suatu hari nantipenguasa akan bermurah hati kepada mereka dan membebaskan mereka dari belenggu
penjajahan ini.
 

Golongan Terpelajar
 
Kaum terpelajar adalah mereka yang mendapat pengetahuan Eropa melalui sekolahsekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Mereka dididik untuk mengabdi kepada Gubermen. Akibatnya, sangat sedikit orang terpelajar yang mengenal bangsa dan kebutuhan bangsanya. Kebanyakan mereka hanya mengenal kebutuhan nafsu mereka sendiri. Mereka kurang peduli bahwa maju-mundurnya bangsa ini sangat ditentukan oleh penguasaan ilmu pengetahuan.


Sikap jelek kaum terpelajar ini lebih nampak ketika Minke mendirikan Serikat Priyayi. Minke berpikir bahwa kaum terpelajarlah yang dapat memelopori suatu organisasi modern. Namun ternyata, mereka hanya sekedar memikirkan perut mereka sendiri. Mereka sudah terlanjur merasa mapan dengan kondisi mereka sehingga enggan untuk turut campur dalam urusan-urusan yang bisa membahayakan status mereka, meskipun itu demi bangsa mereka sendiri.


Tokoh Lain

 
Masih ada beberapa tokoh manusia Jawa lainnya yang menjadi pelaku dalam tetralogi Pramoedya. Namun, karena tokoh-tokoh itu hanya disebut sekilas dan kurang menunjukkan suatu gambaran tentang manusia Jawa, penulis hanya akan mengemukakan sekilas saja tentang mereka.


Wardi, Tjipto, Marko, Sandiman, Tomo, dll. Adalah para nasionalis muda yang berjuang melawan kolonialisme dengan caranya masing-masing, baik lewat tulisan maupun organisasi.
 

Istri Sastrotomo, yaitu ibu dari Sanikem, digambarkan sebagai perempuan yang terlalu tunduk pada suaminya. Ia tidak mampu berbuat apa-apa untuk mempertahankan Sanikem yang akan diserahkan kepada Herman Mellema oleh suaminya. Sedangkan Djumilah, istri Paiman, cukup berani melawan suaminya, walaupun terancam perceraian. Meskipun hanya denngan suara dan kata-kata, ia berjuang untuk mempertahankan Surati. Namun usahanya sia-sia karena Surati memilih untuk memenuhi kehendak ayahnya.

Gambaran Manusia Jawa dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer
 

Manusia Jawa dan Sikap Feodalistik 

Sikap feodalistik sangat meresapi berbagai segi dalam kehidupan masyarakat Jawa. Pramoedya juga menampilkan sikap feodalistik manusia Jawa ini dalam novelnya. Apa itu feodalisme? Feodalisme adalah suatu mental attitude, sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia atau kedudukan (Hardjowirogo, 1984: 11).
 

Pramoedya (2001a: 133) melukiskan salah satu contoh feodalisme itu dalam buku pertama tetraloginya. Di dalamnya, dilukiskan tentang bagaimana seorang bupati memerintah kota kabupatennya sebagai seorang raja kecil, yang oleh rakyat biasa disebut Gusti Kanjeng. Untuk menghadap seorang bupati di kediamannya, seorang rakyat harus mencopot alas kakinya dan jalan berlutut.
 

Sikap feodalistik ini dilukiskan lebih tegas lagi ketika Ibunda Minke memberikan wejangan kepada Minke, “Itu tanda kau bukan Jawa lagi, tak mengindahkan siapa lebih tua, lebih berhak akan kehormatan, siapa lebih berkuasa ... Orang Jawa sujud berbakti pada yang lebih tua, lebih berkuasa, satu jalan pada penghujung keluhuran. Orang Jawa harus berani mengalah” (Ananta Toer, 2001a: 141) .
 

Sikap feodalistik ditunjukkan pula dalam penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Jawa. Seorang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya menggunakan bahasa ngoko kepada orang yang lebih muda atau lebih rendah kedudukannya. Sebaliknya, orang yang lebih muda atau rendah kedudukannya menggunakan krama inggiol kepada yang lebih tua atau tinggi kedudukannya. Hal ini tampak jelas dalam seluruh tetralogi Pramoedya. Misalnyaantara Minke dan ayahanda atau ibundanya, antara Minke dengan kusir kereta, antara bupati dengan rakyatnya, dll.
 

Manusia Jawa dan Sikap Fatalistik
 
Ada pandangan umum bahwa di dalam hidupnya, orang Jawa biasanya bersikap fatalistik. Bagaimanapun baiknya manusia merancang hidupnya, kesudahannya Tuhanlah yang menentukan (Hardjowirogo, 1984: 26). Dalam tetraloginya, Pramoedya menunjukkan kebenaran pandangan itu, tetapi sekaligus juga menunjukkan bahwa tidak semua orang Jawa bersikap demikian. Ada juga orang Jawa yang berpandangan bahwa nasib manusia berada di tangan manusia sendiri. Takkan bisa tercapai sesuatu di dalam hidupnya bila ia tak berusaha sendiri untuk mencapainya.

Gambaran manusia Jawa dan sikap fatalistiknya digambarkan Pramoedya melalui tokoh ibunda Minke. Ibunda Minke melalui nasehat-nasehatnya kepada Minke dan melalui sikap hidupnya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang nrima, menerima nasib apa adanya sebagai suatu yang memang diperuntukkan Tuhan baginya. Dia merasa bersyukur atas nasib yang diterimanya (Ananta Toer, 2001c: 64-65).
 

Manusia Jawa yang tidak bersikap fatalistik cukup jelas digambarkan melalui tokoh Nyai Ontosoroh, Surati, gadis Jepara, Siti Soendari, dan Minke sendiri. Mereka dengan caranya masing-masing berusaha untuk meraih apa yang diharapkan, dan berusaha untuk melepaskan diri dari nasib yang kurang baik untuk meraih nasib yang lebih baik.
 

Manusia Jawa dan Wayang
 

Boleh dikatakan bahwa wayang adalah identitas utama manusia Jawa (Ananta Toer, 2001c: 33). Orang Jawa hampir tidak dapat melepaskan diri dari wayang. Wayang berkaitan dengan penafsiran makna kehidupan manusia, seperti yang disampaikan Pramoedya (2001d: 104) melalui tetraloginya, “Memang dibutuhkan waktu untuk mempelajari garis-garis pokok pemikiran dalam wayang. Mengerti wayang adalah mengerti sejarah pandangan hidup danpandangan dunia manusia Jawa. Menguasai pewayangan sebagai subjek berarti menguasai manusia Jawa”
 

Manusia Jawa juga gemar mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh wayang tertentu dan bercermin padanya untuk melakukan perbuatan dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam tetraloginya, Pramoedya juga memunculkan unsur ini. Lewat ucapan tokoh Minke pada bundanya, Pramoedya (2001c: 487) bertutur demikian,  
Ingat Bunda? Dulu pernah Bunda ceritakan pada sahaya tentang satria Bisma? Dia tewas di medan perang, Bunda. Bunda ceritakan dia hidup kembali dan hidup kembali setiap mayatnya menyentuh bumi? Dia hidup lagi, berperang lagi, mati lagi, dan juga hidup lagi serenta tersintuh lagi pada bumi.

Demikianlah tampak bahwa bagi orang Jawa, wayang dipakai sebagai penyamaan diri. Namun, fungsi wayang bukan hanya sekedar penyamaan belaka. Wayang lebih menjadi pemberi makna kehidupan. Banyak orang Jawa dalam memahami kehidupannya menganggap takdir atau nasibnya sebagai lakon yang dimainkan oleh dalang (Sardjono, 1992: 66). Dalam hal ini, yang dimaksud adalah Sang Dalang Tertinggi, yaitu Tuhan.

Manusia Jawa dan “Aja Dumeh”
 

Dumeh adalah suatu keadaan kejiwaan yang mendorong seseorang untuk bersikap serta berbuat tertentu selagi atau mumpung dia sedang berkuasa (Hardjowirogo, 1984: 52). Manusia Jawa dididik supaya jangan mengecewakan atau menyakiti hati orang lain karena pergantian ke arah yang baik. Untuk menjaga diri supaya tidak keweleh, tersanggah oleh perubahan keadaan, manusia Jawa harus melindungi diri terhadap akibat sikap dumeh.
 

Maka, dalam masyarakat Jawa timbullah ungkapan ‘aja dumeh’, yang bisa diartikan ‘jangan mentang-mentang’, jangan berpikir bahwa semua hal boleh dilakukan karena ia lebih unggul. Ungkapan ini dimaksudkan sebagai nasihat agar seseorang dalam bergaul dengan orang lain tidak melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hati. Biasanya orang bersikap dumeh ketika mendapat kemujuran. Orang itu tidak ingat bahwa keadaan tidak pernah langgeng, selalu berubah.
 

Falsafah hidup manusia Jawa ini ditampilkan juga oleh Pramoedya dalam karyanya. Melalui nasihat-nasihat ibunda kepada Minke, Pramoedya (2001a: 141) bertutur, “Kau terlalu banyak bergaul dengan Belanda. Maka kau sekarang tak suka bergaul dengan sebangsamu, bahkan dengan saudara-saudaramu, dengan Ayahandamu pun. Surat-surat tak kau balas. Mungkin kau pun sudah tak suka padaku.” Lebih lanjut ia bertutur, “Bunda tak hukum kau. Kau sudah temukan jalanmu sendiri. Bunda takkan halangi, juga takkan panggil kembali. Tempuhlah jalan yang kau anggap terbaik. Haya jangan sakiti orangtuamu, dan orang-orang yang kau anggap tak tahu segala sesuatu yang kau tahu” (Ananta Toer, 2001a: 142).
 

Namun dalam kenyataannya, manusia Jawa, khususnya mereka yang memiliki kedudukan atau jabatan tinggi, sangat jarang yang memegang falsafah ini. Tak mungkin orang memegang falsafah ini sekaligus memiliki ambisi untuk dihormati, yaitu dengan memimpikan jabatan atau gelar terhormat, seperti halnya Satrotomo, Paiman, maupun para bupati.

Manusia Jawa dan “Nrima ing Pandum” 

Dalam diri manusia Jawa juga ditekankan sikap nrima ing pandum, yaitu sikap menerima apa yang oleh Tuhan dibagikan kepadanya. Setiap orang mempunyai pandumannya, bagiannya sendiri-sendiri sebagaimana ditentukan oleh Tuhan. Untuk itu ia harus mengucap syukur kepada Tuhan yang telah berkenan menyediakan nasib sebagaimana yang ditentukan baginya. Pramoedya (2001c: 65) menampilkan unsur ini melalui ucapan Ibunda kepada Minke, “Orang Jawa melakukan segala karena sekedar hanya menjalani. Perintah- perintah datang dari Tuhan, dari Dewa, dari Raja. Setelah menjalankan perintah orang merasa berbahagia menjadi dirinya sendiri sampai datang perintah lagi. Maka dia bersyukur, mengenal terimakasih”. Dan melalui ucapan Paiman, Pramoedya (2001b: 159) bertutur, “Semua Allahlah yang membagi-bagikan nasib dan rejeki. Dialah yang menentukan segala-galanya sebagaimana Ia kehendaki.” Ditambahkan pula lewat perkataan ayahanda Minke kepada Minke, “Hanya karena petunjuk Tuhan orang bisa jadi bupati. Kalu Tuhan telah menunjuk engkau, jadilah kau bupati. Tak bakal ada kekuatan padamu untuk menolak, karena itu pembangkangan” (Ananta Toer, 2001c: 343).
 

Demikianlah tampak bahwa manusia Jawa takkan menuntut lebih banyak karena memang hanya sekianlah ukuran keberhasilan yang teruntuk baginya. Memang, boleh dikatakan bahwa ini merupakan suatu sikap fatalistik, tetapi manusia Jawa tidak bisa berbuat lain. Dengan menginginkan lebih banyak, dia sebenarnya menuntut Tuhan supaya memberi perlakuan lebih baik. Padahal Tuhan sudah menentukan ukuran keberuntungan dalam hidup
yang teruntuk baginya.
 

Pandangan tentang Lelaki Jawa 

Lelaki Jawa dari kalangan mana pun, tampaknya hampir semuanya menunjukkan ciri-ciri yang mirip dalam beberapa hal tertentu. Salah satunya seperti yang telah dikemukakan di atas, yaitu sikap feodalistiknya. Hal lain misalnya mengenai pandangan mereka tentang eksistensi seorang istri. Yang cukup kelihatan adalah ‘dominasi’ pria terhadap istrinya. Pramoedya menggambarkan hal ini melalui tokoh Sastrotomo, ayah Sanikem/Nyai Ontosoroh. Melalui ungkapan Sanikem, Pramoedya (2001a: 84) bertutur, “Ibuku tak punya hak bicara, seperti wanita Pribumi seumumnya. Semua ayah yang menentukan.” Melalui gadis Jepara, ia juga bertutur, “... tak ada satu bangsa di dunia bisa terhormat bila wanitanya ditindas oleh pria seperti pada bangsaku, dan bila kasih sayang hanya pada bayi saja... sedang si ibu kembali menjadi hamba dari suaminya” (Ananta Toer, 2001c: 81). Pramoedya (2001a: 224) juga menunjukkan sikap lelaki Jawa terhadap wanita, “... pria Pribumi belum terbiasa memperlakukan wanita dengan lemah-lembut dan sopan, ramah dan tulus.” 

Ciri lain yang tampak pada lelaki Jawa yang tertuang dalam karya Pramoedya itu adalah kesukaan mereka untuk meniru, bahkan mengidentifikasikan diri pada seseorang yang dianggap tinggi dan pantas dihormati. Dikatakan oleh Pramoedya (2001c: 228), “... sekali seorang bupati melakukan sesuatu, bawahannya akan meniru. Sedang bupati hanya meniru Belanda residennya. Meniru atasan jadi pola kebajikan.”
 

Suatu gambaran tentang perilaku seksual lelaki Jawa berkedudukan juga ditampilkan oleh Pramoedya. Digambarkan bahwa adalah suatu hal yang lazim bagi lelaki Jawa yang memiliki kedudukan terhormat untuk beristri lebih dari satu. Pramoedya (2001a: 83) bertutur melalui Sanikem, “Semestinya, sebagaimana lazimnya, ayahku beristri dua atau tiga, apalagi ayah mempunyai tanah yang disewa pabrik dan tanah lain yang digarap oleh orang lain.” Ditambahkan bahwa memiliki ‘piaraan’ atau istri simpanan adalah suatu adat yang terpuji di kalangan pegawai Pribumi (Ananta Toer, 2001b: 83). Bahkan ditegaskan pula, “Mana ada Jawa, dan bupati pula, bukan buaya darat? (Ananta Toer, 2001a: 11).
 

Melalui wejangan Ibunda kepada Minke menjelang pernikahan Minke dengan Annelies, Pramoedya (2001a: 350-351) menuturkan syarat-syarat yang harus ada pada satria Jawa, yaitu wisma, wanita, turangga, kukila, dan curiga. Wisma (rumah) adalah tempat kepercayaan sesama pada yang meninggali. Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan; tanpa wanita, satria menyalahi kodratnya sebagai lelaki. Tanpa turangga (kuda), tak jauh langkah seorang satria, dan pendek penglihatannya. Kukila (burung) lambang keindahan, kelangenan (hobby), segala yang tak punya hubungan dengan penghidupan, hanya dengan kepuasan pribadi. Dan curiga (keris) lambang kewaspadaan, kesiapsiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang empat sebelumnya.
 

Pandangan tentang Perempuan Jawa
 
Menarik bahwa Pramoedya menampilkan lebih dari satu tokoh perempuan dalam karyanya. Tak kalah menarik bahwa perempuan ditempatkan pada kedudukan yang tidak setara dengan kaum lelaki, namun juga diberikan sifat-sifat atau ciri yang terhormat kepada mereka dengan sederet kebaikan, antara lain kesetiaan, kepatuhan, kesabaran.
 

Melalui tokoh Djumilah, istri Paiman, Pramoedya (2001b: 148) menggambarkan bagaimana perempuan Jawa menyikapi keadaannya, 
Istrinya tak pernah heran melihat suaminya tak tidur di rumah. Itu memang gaya hidup pria berjabatan. Ia takkan bertanya dari mana. Dan bukan adat seorang istri menggugat suami berjabatan. Bahkan tanpa menggugat pun seorang istri bisa terusir tanpa talak. Dalam hal-hal tertentu seorang istri mungkin berani menanyakan sesuatu perkara pada suami berjabatan, tetapi tidak dalam soal pelesiran suaminya. Ia diam, diam dengan segala cara, merasa kurang mampu melayani suami sebagaimana dikehendakinya.

Selanjutnya, mengenai pekerjaan seorang perempuan Jawa, Pramoedya menunjukkan adanya perbedaan antara kalangan ningrat/priyayi dengan kalangan kebanyakan/wong cilik. Pramoedya (2001c: 133) bertutur melalui ayahanda Minke, “Buat apa perempuan bekerja dan belajar kalau sudah jadi istri orang? Kurang berhargakah seorang suami maka istrinya ikut bersusah-payah? ... Hanya orang desa saja, orang tani, dua-duanya bekerja. Atau pedagangpedagang kecil itu.”
 

Perempuan Jawa, khususnya kalangan priyayi, selalu berusaha menempatkan kebahagiaan pada kehidupan perkawinannya. Istri golongan priyayi selalu berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan suaminya dengan pelbagai macam cara. Dan landasannya bukan hanya demi kepatuhan, kesetiaan dan pengabdian saja, melainkan juga demi mengikat agar suaminya tetap mencintainya.
 

Pramoedya (2001d: 302) juga menampilkan sebuah gambaran tentang perempuan Jawa yang ideal, utama, patut dicontoh, yaitu perempuan yang pandai bersolek dan bersopansantun, luwes dalam pergaulan, setiap saat sedia membantu dan menolong orang, tak undur terhadap kerja kasar atau halus, trampil di depan umum dan di rumah.
 

Kesimpulan
 
Dari hasil penggalian terhadap tetralogi Pramoedya Ananta Toer, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal mengenai gambaran manusia Jawa berdasarkan tetralogi tersebut. Manusia Jawa dalam masyarakat tidak bisa lepas dari sikap feodalistiknya. Hal ini telah berlangsung turun temurun sejak dahulu dan masih berlangsung hingga kini, misalnya dalam penggunaan bahasa Jawa yang memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan pembicara dan lawan bicaranya.
 

Sikap manusia Jawa yang juga cukup menonjol adalah sikap fatalistiknya, sikap nrima-nya. Falsafah nrima ing pandum cukup mengakar dalam diri manusia Jawa, khususnya wanita Jawa. Falsafah ini, mau tidak mau, mendorong pada sikap fatalistik, yaitu pasrah terhadap nasib. Namun, tidak semua manusia Jawa bersikap demikian. Banyak juga yang berpandangan bahwa nasib manusia ditentukan oleh manusia sendiri.
 

Nasehat yang baik yang dimiliki orang Jawa adalah ‘aja dumeh’. Suatu nasehat yang sungguh relevan untuk dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat demi terciptanya suatu keadaan yang damai. Selanjutnya, manusia Jawa tidak bisa dipisahkan dari wayang. Wayang menjadi suatu pemberi makna hidup bagi manusia Jawa.
 

Mengenai kedudukan lelaki dan perempuan, dalam masyarakat Jawa masih terdapat pembedaan. Wanita lebih dianggap sebagai subordinate yang hanya pantas dipandang sebelah mata saja. Meskipun demikian, keberadaannya dibutuhkan sebagai pelengkap “ketidaksempurnaan” kaum lelaki.

Bahan Bacaan 


Ananta Toer, Pramoedya. 2001a. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.

________. 2001b. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra.


________. 2001c. Jejak Langkah. Jakarta: Hasta Mitra.


________. 2001d. Rumah Kaca. Jakarta: Hasta Mitra.


Hardjowirogo, Marbangun. 1984. Manusia Jawa. Jakarta: Inti Idayu Press.


Magnis-Suseno, Franz. 1985. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.


Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.


Sardjono, Maria A. 1992. Paham Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Gubuk Maya Kang Naryo | Mas Template
Copyright © 2009. GubuK Maya | Kang Naryo - All Rights Reserved
Created by Gubuk Maya | Kang Naryo
Powered by Blogger