Lelaki
gagah berperforma tegap itu sesenggukan. Tak sekalipun kepalanya tegak.
Tumpah segala beban yang menggelayut raganya. Terurai segala suntuk
yang mengeram di dinding batinnya. Tak berdaya di hadapan Kiai Kasdikin.
Raekan menumpahkan segala kemelut yang telah menggerus jiwanya, setelah
kejadian perampokan di salah satu bank di Jakarta yang melibatkan
dirinya sebulan sebelumnya.
Dalam
kurun itu pula dia tak bisa tidur nyenyak. Peristiwa tergeletaknya
seorang korban terkena peluru dari senjata di tangannya selalu terasa
lekat di pelupuk matanya. Masih terngiang suara perempuan kasir bank itu
mengaduh. Memegangi lubang di dadanya yang terkoyak peluru. Darah segar
mulai menyimbah badannya yang hanya bergerak-gerak pelan. Dan sejak
tragedi itu pula Raekan berpindah-pindah tempat. Menyelamatkan diri dari
kejaran polisi. Seorang dari tiga kawannya telah ditangkap.
Bayangan
perempuan muda—diberitakan koran tewas—itu, seakan mengikuti kemana pun
kakinya melangkah. Suara rintih kesakitan meregang ajal, bak irama
menyesakan pengantar tidur. Menelisik dinding mimpi di setiap beranjak
terlelap tidur. Tragedi berdarah itu mengejarnya tanpa jeda hingga pria
perlente itu meminta singgah mondok di pesantren At Taubat, di Desa
Maindu, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
“Saya sudah kapok, Kiai,” rengek pemuda asal Semarang itu terbata. Mata tajamnya kabur oleh sembab air mata penyesalan.
Tak
sepatah kata pun ke luar dari mulut Kiai Kasdikin, disaat menyimak
kisah perjalanan Raekan. Matanya tajam memandangi pria di depannya.
Lelaki yang loyo bagai anak kecil memohon belas kasihan ibunya. Selalu
menunduk sambil meremas ujung taplak meja.
“Pulanglah,
jika masih punya orangtua mintalah pengampunan mereka.
Assalamualaikum,” jawab Kiai Kasdikin seraya berdiri meninggalkan
Raekan. Lelaki gaek itu tak menoleh, langsung masuk ruang pribadinya.
Seorang
santri tergopoh ke luar dari ruang dalam. Ia segera mengantar Raekan
meninggalkan rumah kiainya. Raekan tak bisa menolak. Hasrat untuk
sembunyi di pondok di tengah hutan itu pupus, karena sang kiai tak
menghendaki kehadirannya. Entah apa sebabnya. Padahal sesuai referensi
salah satu kawannya, pesantren itu biasanya menampung orang dari
manapun, tanpa melihat latar belakang. Ini sudah di luar kebiasaan dari
kiai yang sejak lima tahun terakhir jarang ke luar meninggalkan desa
itu.
Di
dalam ruang pribadinya, Kiai Kasdikin duduk bersila. Seronce tasbih dia
keluarkan dari saku bajunya. Mulutnya komat-kamit melafal wirid.
Tubuhnya berguncang menahan emosi yang berat.
“Yaa
Robbi, masih kurang kaffah-kah aku menghamba pada-Mu hingga kau kirim
orang menyayat luka lama,” gumam Kiai Kasdikin. “Kenapa tidak kau beri
kesempatan aku menghadapmu, Gusti,” tambahnya, berlinang air mata.
Lelaki ringkih itu pasrah dan sumeleh pada garis hidup yang dilakoninya.
Batin
lelaki senja itu merintih. Meratapi peristiwa demi peristiwa lawas yang
pernah dilakoninya semasa muda. Dia menangis dalam hati sendiri di
sudut kamar, sambil merapal ayat suci dari kitab suci yang dikuasainya.
Tragedi
yang dibawa Raekan mengoyak ceruk batin Kiai Kasdikin. Nafasnya
tersengal karena sakit mengi yang menderanya sejak lima tahun terakhir
kembali kabuh. Penyakit sesak nafas itu selalu muncul disaat gelisah
menyatroni nuraninya. Jika dalam kondisi demikian pria sepuh berjenggot
putih itu, selalu menyendiri di ruang pribadinya. Ruang yang biasa dia
pakai kontemplasi kepada sang Khaliq. Sekaligus ruang persembunyian
dalam mengurai segala kelaraan hidup.
Dalam
batin kiai yang belum berangkat haji itu mengatakan, apa yang dialami
Raekan, hanya setitik debu dari rangkaian peristiwa kelam yang
dilakoninya. Dimasa muda. Disaat menjadi Komandan Barisan Santri Jawara
Istimewa (Bansaji) Tuban pada medio 1962-1966 silam. Sebuah organisasi
pemuda berbasis religi yang sami’na waato’na terhadap para kiai. Mereka demikian taklik dan haram membantah perintah kiai.
Ketaatan
terhadap kiai yang membabi buta itulah yang menjadi Bansaji dikenal
sebagai anjing galak penjaga kiai. Terlebih disaat hiruk pikuk politik
nasional di era 1965 kental dengan pembunuhan terhadap orang-orang yang
dinilai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI). Para kiai harus
dilindungi agar tidak diganyang pengikuti partai tersebut. Aktivis
Bansaji yang dipimpin Kasdikin pun melakukan serangkaian penculikan dan
pembantaian terhadap aktivis PKI. Sekalipun tak jarang hanya berdasar
sentimen pribadi semata.
Tertatih
Kiai Kasdikin melangkah membuka almari kitab. Batinnya teriris setiap
kali memandang kotak kayu sepanjang 1,5 meter di rak bawah almari itu.
Kotak kayu jati nggaleh itu seakan selalu meminta dibuka. Tangan lelaki
renta itu kembali bergetar ketika mengeluarkannya--belum tentu semusim
sekali dibuka--dari almari.
Dibersihkan
kotak di pangkuannya dengan penuh hati-hati. Debu yang menyelimuti dia
lap dengan kain sarung. Meski tanpa selarik suara, air mata kiai tua itu
kembali menetes. Dirabanya sebilah pedang telanjang dan selembar kain
surban putih yang telah lapuk warnanya yang tersimpan rapi di dalam
kotak.
Pedang
semeter dengan lebar tujuh setengah centimeter itu merupakan benda
keramat bagi Kiai Kasdikin. Pedang yang diantara kilau raganya terdapat
tetesan warna merah kehitaman itu, telah menemani perjalanan hidupnya di
masa muda. Bahkan sudah lebih dari 20 nyawa tercerabut dari raga
pemiliknya dari tebasan pedang yang sesekali memunculkan aroma anyir
darah. Pedang itupun seperti bernyawa yang setiap saat memanggil-manggil
namanya.
Surban
putih yang sudah mangkak itu dia dekap di dada. Penuh perasaan
dielus-elus surban bersejarah itu. Surban yang telah kusam dimangsa
waktu. Tetenger dari jaman kekejaman tanpa belas kasihan. Diciumi surban
yang selalu beraroma wangi minyak yakfaron. Bagai melepas kangen kepada
belahan jiwa yang baru bertandang setelah sekian lama pergi.
“Muntohir, maafkan dosaku,” gumam Kiai Kasdikin menyebut sebuah nama sambil mendekap surban itu.
Entah
getaran apa yang menyelimutinya, begitu memeluk surban fikirannya
tergiring ke masa silam. Di era tahun 1965, tahun sarat kekelaman
bersamaan gejolak politik di tanah air. Dimana saat itu dirinya menjabat
Komandan Bansaji Tuban. Sebuah jabatan yang paling disegani dan
ditakuti di jamannya. Hanya lelaki pilih tanding dengan ilmu kanuragan
mumpuni yang mampu memegang jabatan angker itu. Dan salah satunya adalah
seorang Kasdikin.
Kala
itu markas Bansaji berada di wilayah Desa Kebonsari, kota Tuban. Di
markas itu pula, saban malam, Kasdikin yang asli dari Desa Jetak,
Kecamatan Montong itu membagi tugas kepada 150 anggota terpilih untuk
menjaga rumah para kiai. Sebagian lainnya melakukan menangkapan di
rumah-rumah dan pembantaian terhadap para aktivis PKI. Mereka membuang
jasad korbannya di sungai Bengawan Solo dan jurang-jurang di tengah
hutan.
***
Siang
demikian terik, ketika Kasdikin didampingi dua kawannya menuruni andong
memasuki warung di Desa Talun, Kecamatan Montong. Kedai nasi tak
seberapa ramai. Tiga lelaki muda berseragam hijau daun lorek-lorek ala
seragam serdadu itu demikian berwibawa. Terlebih di masing-masing dada
kanan terdapat simbul bola dunia yang diikat tampar putih sebagai
identitas Bansaji. Tiga kelewang mereka letakkan di atas meja. Mereka
menikmati makan siang sambil melepas lelah.
Sesaat
berikutnya, muncul dokar yang dinaiki empat orang. Mereka pun memasuki
warung. Seorang diantara penumpangnya ternyata mengenali Kasdikin. Ya
dia adalah Munthohir, warga sedesa dengan Kasdikin. Bahkan kedua pemuda
ini dulu pernah belajar mengaji pada kiai sama. Kiai Durahman di Desa
Montong Sekar, Kecamatan Montong.
“Ohh, sampeyan Kang Kasdikin,” sapa Munthohir sambil mengulurkan tangan kepada kawan lamanya.
“Bagaimana kabarmu, apa masih main ketoprak ?” jawab Kasdikin, datar tanpa intonasi.
“Masih Kang, syiar agama kan banyak caranya. Masak sampeyan lupa pada pesan almarhum Mbah Durahman, kiai kita”
Jawaban
Munthohir yang menyebut nama Kiai Durahman, mengaduk emosi Kasdikin.
Dia masih tak bisa menerima ketika kiai sepuh itu lebih menjodohkan
salah satu santriwatinya, Siti Aliyah , kepada Munthohir. Pemuda tegap
berbadan kekar itu merasa dilecehkan pemuda lemah gemulai, namun pandai
membaca kitab, yang kini malah menjadi pemain seni tradisional yang jauh
dari ritus kepesantrenan. Terlebih sudah sangat lama Kasdikin memendam
asmara kepada Siti Aliyah.
Tanpa
pamit akhirnya Kasdikin meninggalkan pondok. Dia menghilang mencari
guru ilmu kanuragan. Dunia kependekaran rupanya lebih menjadi bakat
Kasdikin dibandingkan olah rasa dalam ranah kepesantrenan.
“Di
jaman seperti ini santri harus ber-jihad, menegakkan Islam,” tegas
Kasdikin dalam nada meninggi. Sorot matanya tajam menatap mata kawannya
yang berpakaian celana biro tua komprang dipadu kaos oblong putih.
Baginya, menjadi pemain ketoprak termasuk orang yang tak mengenal agama.
Munthohir
memilih diam. Tak lagi menjawab kata-kata Kasdikin. Dia lantas
menikmati nasi dengan lodeh tewel dan tempe goreng. Bersama tiga
kawannya yang pemain grup ketoprak Makaryo Budaya mereka duduk semeja,
bersebelahan dengan meja yang diduduki Kasdikin dengan dua anak buahnya.
Ruangan pun menjadi kaku. Tak terbersit aura kekerabatan, laiknya dua
karib sebantal bertemu.
Sesaat
berikutnya Kasdikin pamit meninggalkan warung. Tanpa menjabat tangan
kawan lamanya, bersama andongnya Kasdikin berlalu ke arah utara.
Menembus hamparan hutan jati sebelum akhirnya memasuki wilayah Kecamatan
Merakurak.
Mereka
meninggalkan kesan mendalam bagi Munthohir dan tiga kawannya. Rasa
cemas pun mulai merona di wajah mereka. Entah apa penyebabnya. Munthohir
seperti sudah tak mengenali lagi karibnya. Apalagi semenjak Kasdikin
menjadi Komandan Bansaji.
“Hati-hati Kang mereka tadi tukang jagal,” kata Gopar, pemilik warung kepada mereka setelah mereka membayar makanan.
Semula
Munthohir tak berfikir jelek terhadap Kasdikin, sekalipun dia telah
mendengar sepak terjang kawan segotakan di pesantren Kiai Durahman
tersebut. Belakangan menjadi garda terdepan para kiai. Akan tetapi
cerita dari mulut ke mulut dan terakhir omongan pemilik warung,
memunculkan semburat pucat di wajahnya.
“Kita tidak berpolitik mana mungkin dijagal mereka,” kata Munthohir menenangkan gelisah tiga kawannya.
Mereka
pun meneruskan perjalanan ke wilayah Kecamatan Kerek, karena malamnya
akan pentas di sana atas undangan masyarakat dalam pesta panen raya.
Kendati begitu keempatnya lebih banyak berdiam diri. Tak ada lantunan
gending dari mulut Munthohir seperti sederet perjalanan sebelumnya. Tak
terdengar pula canda tentang fans perempuan yang mengelu-elukan
kehandalan mereka berkesenian. Warna perjalanan menjadi semu. Desir
angin utara menggesek daun jati mengiringi ringik kuda berlari.
***
Jendela
malam mulai terbuka. Pentas ketoprak di lapangan Desa Jarorejo, Kerek
dijubeli ratusan penonton. Lakon Angling Darmo—legenda kerajaan
Malowopati, kini Kabupaten Bojonegoro--yang dipentaskan kelompok
ketoprak Makaryo Budaya mampu menyirap penonton. Mulai anak-anak hingga
orangtua yang menyimak lakon pulang membawa beragam kesan. Kesan yang
menghantar mimpi indah tentang panen raya yang berlangsung di desanya.
Para
pemain, pengrawit dan kru ketoprak tengah suka cita membongkar
panggung. Mereka bakal pindah ke desa lain untuk pementasan serupa.
Bersamaan itu sebuah truk berhenti di tepi jalan. Lima pria dengan wajah
dibalut surban mendatangi kru yang tengah membongkar panggung. Tiga
diantaranya memegang sebilah pedang. Siapapun tahu, penjemputan macam
itu identik dengan kematian.
“Mana
Munthohir, kami diperintah menjemputnya,” tegas seorang pria kepada
sejumlah kru ketoprak. Rasa takut yang akut menjadikan anggota ketoprak
makin nelangsa. Mereka tak mampu memberi perlawanan, sekalipun sebatas
menyembunyikan keberadaan kawannya. Terlebih setelah salah satu diantara
pria berseragam hijau daun itu ngoceh tentang kekafiran. Tentang stigma
orang tak beragama yang oleh mereka diyakini boleh disukabumikan.
Tanpa
permisi mereka mengobrak-abrik tumpukan gamelan dan kain kelir
pementasan. Tak menemukan yang dicarinya, ia memaksa seorang panjak gong
untuk menunjukkan keberadaan Munthohir. Tak butuh waktu lama, mereka
pun menuju surau di sudut lapangan. Menemui Munthohir yang tengah
menjalankan sholat isya’ di surau gedhek selepas pentas.
Tanpa
perlawanan, pria lemah itu diseret ke atas truk. Dia berkumpul dengan
sejumlah pria dan wanita yang sudah ditutup matanya dengan selembar kain
gelap, dijaga para lelaki bersenjata pedang. Truk pun berlalu
meninggalkan rasa bersalah kru ketoprak. Kelopak mata mereka meneteskan
air mata. Tak berdaya karena ketidakmampuannya. Menyisakan jejak tangis
kawan seperjuangan dalam ranah seni tradisi.
Malam
sebenarnya berhias rembulan. Teduh ditingkah bintang yang berasi
gemintang. Dewi malam terlihat lelah merangkak ritus dinihari. Suara
burung malam saling bersautan, mengiringi semburat gerombolan kera yang
berlalu diterpa lampu truk. Kendaraan itu bergoyang kesana kemari
mengikuti jalan makadam berbatu.
Di
sudut bibir jurang di tengah hutan jati, jerit tangis dan rintih
mengiba mengiringi tubuh orang-orang bergeletak. Sekumpulan burung
cablak hitam menjerit-jerit mewartakan kepedihan. Tentang tubuh-tubuh
tergeletak tanpa perlawanan. Suara tenggorokan tercekat bersenyawa
seliweran kelewang panjang. Rembulan tanggal 15 demikian cerah hingga
memantulkan kilat tebasan pedang. Satu demi satu jasad bersimbah darah
dilempar ke dasar jurang. Prosesi kematian paksa berlangsung tanpa
peradilan.
“Apa
dosa saya Kang, hingga sampeyan....” Belum rampung ucapan itu ke luar
dari mulut Munthohir, sebilang pedang telah menghentikan suaranya.
Sehelai surban putih yang terpercik darah direnggut paksa lelaki
beringas dengan wajah tertutup kain hitam yang hanya menampakkan lobang
bola mata.
***
Malam
baru bertandang mendekap rembang senja. Di cakrawala langit cerah
berhias bintang. Serombongan kelelawar mulai ke luar mencari buah di
hamparan hutan. Angin malam mulai semilir tanpa membawa pesan pada sang
petang.
Di
rumah berdinding papan seorang perempuan berkerudung hitam membaca
kitab. Raganya terlihat lelah setelah tiga pekan suaminya menghilang.
Siti Aliyah duduk sendiri merenung memikirkan nasib yang menimpa
suaminya. Dia pun sadar jika suaminya tak bakal pulang. Dia pun pasrah
pada takdir yang menimpanya.
Lamunanya buyar begitu terdengar pintu diketuk tetamu. Perempuan yang sudah pasrah itu membuka pintu.
“Subkhanalloh,
Sampeyan kah itu, Kak Kasdikin..?” sapa Siti Aliyah kepada tamunya.
“Sampeyan dengan siapa datang?” tambahnya dalam kecemasan membumi.
Pikirannya makin kalut apalagi sebelumnya telah dia mendengar dari
suaminya, jika Kasdikin menjadi Komandan Bansaji.
“Kamu
tak perlu takut Aliyah, kami datang untuk melindungimu. Saya baru
mendengar saudaraku Munthohir hilang, makanya saya kemari,” jawab
Kasdikin.
Kasdikin
duduk di ruang tamu, sementara tiga anak buahnya berjaga di luar rumah.
Dalam pembicaraan hampir satu jam, Kasdikin menawarkan untuk
mengamankan Siti Aliyah ke luar desa. Dengan berbagai kalimat
menakut-nakuti, perempuan yang hidup sendiri karena tak memiliki saudara
kandung itu, menurut apa kata Kasdikin. Terlebih ketika pemuda bertubuh
tinggi dempal itu berjanji atas nama Tuhan bakal melindunginya. Bahkan
menjaga keselamatannya sampai situasi mereda.
“Sampeyan kan juga tahu dari dulu saya menyayangimu,” demikian ungkap Kasdikin.
Malam
itu juga perempuan bertubuh montok itu dibawa Kasdikin dengan kawalan
tiga anak buahnya ke Desa Maindu. Dia dititipkan di rumah, Kiai Asad
Romli, kiai kampung desa setempat.
Sebulan
setelah itu, mereka dinikahkan oleh kiai tersebut sebagai suami istri.
Perempuan itu tak bisa menolak apalagi Kasdikin setiap kali
mengunjunginya berlaku sangat santun. Bahkan sangat melindungi perempuan
malang itu. Sayangnya hingga usianya telah sepuh, mereka tak dikaruniai
anak. Bisa jadi karena Siti Aliyah yang mandul hingga dua kali
pernikahannya tak memiliki keturunan.
Setelah
tahun berganti dan situasi politik nasional mereda, Kasdikin meneruskan
cita-cita Kiai Asad Romli mendirikan pondok pesantren. Pondok At Taubat
itu hingga kini masih berdiri di bawah asuhan Kasdikin.
“Duh
Gusti, saya sudah pasrah. Saya rela dihukum di akherat, daripada di
dunia tersiksa seperti ini,” keluh Kiai Kasdikin sambil mendekap surban
usang. Surban yang dia ambil dari pundak Munthohir setelah sang karib
tertebas pedang.
Tangis
kiai renta itu berbeda dengan tangis pilu sebelumnya. Hingga mengundang
perhatian Siti Aliyah. Tanpa sepengetahuan suaminya, semua perilaku
suaminya di dalam kamar dia perhatikan dari balik daun pintu yang
sedikit terbuka. Batinnya yang telah rapuh terguncang. Bergolak begitu
melihat selembar surban putih bernoda percikan darah di tangan suaminya.
Terlebih
setelah mengetahui ada sulaman bunga genjer berbenang hijau di ujung
surban. Ornamen bunga itu merupakan hasil jematinya, sebelum surban itu
diberikan kepada Munthohir. Tangis Siti Aliyah tak bisa dibendung.
Direbutnya surban itu dari tangan suaminya.
“Ya Allah, Kang…” Hanya itu yang ke luar dari mulutnya, sebelum tubuhnya yang ambruk tak sadarkan diri.
“Ya Robbi. Maafkan saya, Aliyah,” kata Kiai Kasdikin sambil memeluk istrinya yang tak sadarkan diri di pangkuannya.
Suara
Adzan Ashar, berkumandang membelah sore berhias awan kelabu. Suami
istri itu masih di dalam ruang, ketika para santri mengambil air wudlu
dari pancuran dekat mushola pondok.
(*Teguh Budi Utomo)
Posting Komentar