Headlines News :
Home » » Bunga Genjer di Surban Kiai

Bunga Genjer di Surban Kiai

Written By Kang Naryo on Senin, 08 April 2013 | 05.37

Lelaki gagah berperforma tegap itu sesenggukan. Tak sekalipun kepalanya tegak. Tumpah segala beban yang menggelayut raganya. Terurai segala suntuk yang mengeram di dinding batinnya. Tak berdaya di hadapan Kiai Kasdikin. Raekan menumpahkan segala kemelut yang telah menggerus jiwanya, setelah kejadian perampokan di salah satu bank di Jakarta yang melibatkan dirinya sebulan sebelumnya.

Dalam kurun itu pula dia tak bisa tidur nyenyak. Peristiwa tergeletaknya seorang korban terkena peluru dari senjata di tangannya selalu terasa lekat di pelupuk matanya. Masih terngiang suara perempuan kasir bank itu mengaduh. Memegangi lubang di dadanya yang terkoyak peluru. Darah segar mulai menyimbah badannya yang hanya bergerak-gerak pelan. Dan sejak tragedi itu pula Raekan berpindah-pindah tempat. Menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Seorang dari tiga kawannya telah ditangkap.

Bayangan perempuan muda—diberitakan koran tewas—itu, seakan mengikuti kemana pun kakinya melangkah. Suara rintih kesakitan meregang ajal, bak irama menyesakan pengantar tidur. Menelisik dinding mimpi di setiap beranjak terlelap tidur. Tragedi berdarah itu mengejarnya tanpa jeda hingga pria perlente itu meminta singgah mondok di pesantren At Taubat, di Desa Maindu, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

“Saya sudah kapok, Kiai,” rengek pemuda asal Semarang itu terbata. Mata tajamnya kabur oleh sembab air mata penyesalan.

Tak sepatah kata pun ke luar dari mulut Kiai Kasdikin, disaat menyimak kisah perjalanan Raekan. Matanya tajam memandangi pria di depannya. Lelaki yang loyo bagai anak kecil memohon belas kasihan ibunya. Selalu menunduk sambil meremas ujung taplak meja.

“Pulanglah, jika masih punya orangtua mintalah pengampunan mereka. Assalamualaikum,” jawab Kiai Kasdikin seraya berdiri meninggalkan Raekan. Lelaki gaek itu tak menoleh, langsung masuk ruang pribadinya.

Seorang santri tergopoh ke luar dari ruang dalam. Ia segera mengantar Raekan meninggalkan rumah kiainya. Raekan tak bisa menolak. Hasrat untuk sembunyi di pondok di tengah hutan itu pupus, karena sang kiai tak menghendaki kehadirannya. Entah apa sebabnya. Padahal sesuai referensi salah satu kawannya, pesantren itu biasanya menampung orang dari manapun, tanpa melihat latar belakang. Ini sudah di luar kebiasaan dari kiai yang sejak lima tahun terakhir jarang ke luar meninggalkan desa itu.

Di dalam ruang pribadinya, Kiai Kasdikin duduk bersila. Seronce tasbih dia keluarkan dari saku bajunya. Mulutnya komat-kamit melafal wirid. Tubuhnya berguncang menahan emosi yang berat.

“Yaa Robbi, masih kurang kaffah-kah aku menghamba pada-Mu hingga kau kirim orang menyayat luka lama,” gumam Kiai Kasdikin. “Kenapa tidak kau beri kesempatan aku menghadapmu, Gusti,” tambahnya, berlinang air mata. Lelaki ringkih itu pasrah dan sumeleh pada garis hidup yang dilakoninya.

Batin lelaki senja itu merintih. Meratapi peristiwa demi peristiwa lawas yang pernah dilakoninya semasa muda. Dia menangis dalam hati sendiri di sudut kamar, sambil merapal ayat suci dari kitab suci yang dikuasainya.

Tragedi yang dibawa Raekan mengoyak ceruk batin Kiai Kasdikin. Nafasnya tersengal karena sakit mengi yang menderanya sejak lima tahun terakhir kembali kabuh. Penyakit sesak nafas itu selalu muncul disaat gelisah menyatroni nuraninya. Jika dalam kondisi demikian pria sepuh berjenggot putih itu, selalu menyendiri di ruang pribadinya. Ruang yang biasa dia pakai kontemplasi kepada sang Khaliq. Sekaligus ruang persembunyian dalam mengurai segala kelaraan hidup.

Dalam batin kiai yang belum berangkat haji itu mengatakan, apa yang dialami Raekan, hanya setitik debu dari rangkaian peristiwa kelam yang dilakoninya. Dimasa muda. Disaat menjadi Komandan Barisan Santri Jawara Istimewa (Bansaji) Tuban pada medio 1962-1966 silam. Sebuah organisasi pemuda berbasis religi yang sami’na waato’na terhadap para kiai. Mereka demikian taklik dan haram membantah perintah kiai.

Ketaatan terhadap kiai yang membabi buta itulah yang menjadi Bansaji dikenal sebagai anjing galak penjaga kiai. Terlebih disaat hiruk pikuk politik nasional di era 1965 kental dengan pembunuhan terhadap orang-orang yang dinilai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI). Para kiai harus dilindungi agar tidak diganyang pengikuti partai tersebut. Aktivis Bansaji yang dipimpin Kasdikin pun melakukan serangkaian penculikan dan pembantaian terhadap aktivis PKI. Sekalipun tak jarang hanya berdasar sentimen pribadi semata.

Tertatih Kiai Kasdikin melangkah membuka almari kitab. Batinnya teriris setiap kali memandang kotak kayu sepanjang 1,5 meter di rak bawah almari itu. Kotak kayu jati nggaleh itu seakan selalu meminta dibuka. Tangan lelaki renta itu kembali bergetar ketika mengeluarkannya--belum tentu semusim sekali dibuka--dari almari.

Dibersihkan kotak di pangkuannya dengan penuh hati-hati. Debu yang menyelimuti dia lap dengan kain sarung. Meski tanpa selarik suara, air mata kiai tua itu kembali menetes. Dirabanya sebilah pedang telanjang dan selembar kain surban putih yang telah lapuk warnanya yang tersimpan rapi di dalam kotak.

Pedang semeter dengan lebar tujuh setengah centimeter itu merupakan benda keramat bagi Kiai Kasdikin. Pedang yang diantara kilau raganya terdapat tetesan warna merah kehitaman itu, telah menemani perjalanan hidupnya di masa muda. Bahkan sudah lebih dari 20 nyawa tercerabut dari raga pemiliknya dari tebasan pedang yang sesekali memunculkan aroma anyir darah. Pedang itupun seperti bernyawa yang setiap saat memanggil-manggil namanya.

Surban putih yang sudah mangkak itu dia dekap di dada. Penuh perasaan dielus-elus surban bersejarah itu. Surban yang telah kusam dimangsa waktu. Tetenger dari jaman kekejaman tanpa belas kasihan. Diciumi surban yang selalu beraroma wangi minyak yakfaron. Bagai melepas kangen kepada belahan jiwa yang baru bertandang setelah sekian lama pergi.

“Muntohir, maafkan dosaku,” gumam Kiai Kasdikin menyebut sebuah nama sambil mendekap surban itu. 

Entah getaran apa yang menyelimutinya, begitu memeluk surban fikirannya tergiring ke masa silam. Di era tahun 1965, tahun sarat kekelaman bersamaan gejolak politik di tanah air. Dimana saat itu dirinya menjabat Komandan Bansaji Tuban. Sebuah jabatan yang paling disegani dan ditakuti di jamannya. Hanya lelaki pilih tanding dengan ilmu kanuragan mumpuni yang mampu memegang jabatan angker itu. Dan salah satunya adalah seorang Kasdikin.

Kala itu markas Bansaji berada di wilayah Desa Kebonsari, kota Tuban. Di markas itu pula, saban malam, Kasdikin yang asli dari Desa Jetak, Kecamatan Montong itu membagi tugas kepada 150 anggota terpilih untuk menjaga rumah para kiai. Sebagian lainnya melakukan menangkapan di rumah-rumah dan pembantaian terhadap para aktivis PKI. Mereka membuang jasad korbannya di sungai Bengawan Solo dan jurang-jurang di tengah hutan.

                                                               ***

Siang demikian terik, ketika Kasdikin didampingi dua kawannya menuruni andong memasuki warung di Desa Talun, Kecamatan Montong. Kedai nasi tak seberapa ramai. Tiga lelaki muda berseragam hijau daun lorek-lorek ala seragam serdadu itu demikian berwibawa. Terlebih di masing-masing dada kanan terdapat simbul bola dunia yang diikat tampar putih sebagai identitas Bansaji. Tiga kelewang mereka letakkan di atas meja. Mereka menikmati makan siang sambil melepas lelah.

Sesaat berikutnya, muncul dokar yang dinaiki empat orang. Mereka pun memasuki warung. Seorang diantara penumpangnya ternyata mengenali Kasdikin. Ya dia adalah Munthohir, warga sedesa dengan Kasdikin. Bahkan kedua pemuda ini dulu pernah belajar mengaji pada kiai sama. Kiai Durahman di Desa Montong Sekar, Kecamatan Montong.

“Ohh, sampeyan Kang Kasdikin,” sapa Munthohir sambil mengulurkan tangan kepada kawan lamanya.

“Bagaimana kabarmu, apa masih main ketoprak ?” jawab Kasdikin, datar tanpa intonasi.

“Masih Kang, syiar agama kan banyak caranya. Masak sampeyan lupa pada pesan almarhum Mbah Durahman, kiai kita”

Jawaban Munthohir yang menyebut nama Kiai Durahman, mengaduk emosi Kasdikin. Dia masih tak bisa menerima ketika kiai sepuh itu lebih menjodohkan salah satu santriwatinya, Siti Aliyah , kepada Munthohir. Pemuda tegap berbadan kekar itu merasa dilecehkan pemuda lemah gemulai, namun pandai membaca kitab, yang kini malah menjadi pemain seni tradisional yang jauh dari ritus kepesantrenan. Terlebih sudah sangat lama Kasdikin memendam asmara kepada Siti Aliyah.

Tanpa pamit akhirnya Kasdikin meninggalkan pondok. Dia menghilang mencari guru ilmu kanuragan. Dunia kependekaran rupanya lebih menjadi bakat Kasdikin dibandingkan olah rasa dalam ranah kepesantrenan.

“Di jaman seperti ini santri harus ber-jihad, menegakkan Islam,” tegas Kasdikin dalam nada meninggi. Sorot matanya tajam menatap mata kawannya yang berpakaian celana biro tua komprang dipadu kaos oblong putih. Baginya, menjadi pemain ketoprak termasuk orang yang tak mengenal agama.

Munthohir memilih diam. Tak lagi menjawab kata-kata Kasdikin. Dia lantas menikmati nasi dengan lodeh tewel dan tempe goreng. Bersama tiga kawannya yang pemain grup ketoprak Makaryo Budaya mereka duduk semeja, bersebelahan dengan meja yang diduduki Kasdikin dengan dua anak buahnya. Ruangan pun menjadi kaku. Tak terbersit aura kekerabatan, laiknya dua karib sebantal bertemu.

Sesaat berikutnya Kasdikin pamit meninggalkan warung. Tanpa menjabat tangan kawan lamanya, bersama andongnya Kasdikin berlalu ke arah utara. Menembus hamparan hutan jati sebelum akhirnya memasuki wilayah Kecamatan Merakurak.

Mereka meninggalkan kesan mendalam bagi Munthohir dan tiga kawannya. Rasa cemas pun mulai merona di wajah mereka. Entah apa penyebabnya. Munthohir seperti sudah tak mengenali lagi karibnya. Apalagi semenjak Kasdikin menjadi Komandan Bansaji.

“Hati-hati Kang mereka tadi tukang jagal,” kata Gopar, pemilik warung kepada mereka setelah mereka membayar makanan.

Semula Munthohir tak berfikir jelek terhadap Kasdikin, sekalipun dia telah mendengar sepak terjang kawan segotakan di pesantren Kiai Durahman tersebut. Belakangan menjadi garda terdepan para kiai. Akan tetapi cerita dari mulut ke mulut dan terakhir omongan pemilik warung, memunculkan semburat pucat di wajahnya.

“Kita tidak berpolitik mana mungkin dijagal mereka,” kata Munthohir menenangkan gelisah tiga kawannya.

Mereka pun meneruskan perjalanan ke wilayah Kecamatan Kerek, karena malamnya akan pentas di sana atas undangan masyarakat dalam pesta panen raya. Kendati begitu keempatnya lebih banyak berdiam diri. Tak ada lantunan gending dari mulut Munthohir seperti sederet perjalanan sebelumnya. Tak terdengar pula canda tentang fans perempuan yang mengelu-elukan kehandalan mereka berkesenian. Warna perjalanan menjadi semu. Desir angin utara menggesek daun jati mengiringi ringik kuda berlari.

                                                                     ***

Jendela malam mulai terbuka. Pentas ketoprak di lapangan Desa Jarorejo, Kerek dijubeli ratusan penonton. Lakon Angling Darmo—legenda kerajaan Malowopati, kini Kabupaten Bojonegoro--yang dipentaskan kelompok ketoprak Makaryo Budaya mampu menyirap penonton. Mulai anak-anak hingga orangtua yang menyimak lakon pulang membawa beragam kesan. Kesan yang menghantar mimpi indah tentang panen raya yang berlangsung di desanya.

Para pemain, pengrawit dan kru ketoprak tengah suka cita membongkar panggung. Mereka bakal pindah ke desa lain untuk pementasan serupa. Bersamaan itu sebuah truk berhenti di tepi jalan. Lima pria dengan wajah dibalut surban mendatangi kru yang tengah membongkar panggung. Tiga diantaranya memegang sebilah pedang. Siapapun tahu, penjemputan macam itu identik dengan kematian.

“Mana Munthohir, kami diperintah menjemputnya,” tegas seorang pria kepada sejumlah kru ketoprak. Rasa takut yang akut menjadikan anggota ketoprak makin nelangsa. Mereka tak mampu memberi perlawanan, sekalipun sebatas menyembunyikan keberadaan kawannya. Terlebih setelah salah satu diantara pria berseragam hijau daun itu ngoceh tentang kekafiran. Tentang stigma orang tak beragama yang oleh mereka diyakini boleh disukabumikan.

Tanpa permisi mereka mengobrak-abrik tumpukan gamelan dan kain kelir pementasan. Tak menemukan yang dicarinya, ia memaksa seorang panjak gong untuk menunjukkan keberadaan Munthohir. Tak butuh waktu lama, mereka pun menuju surau di sudut lapangan. Menemui Munthohir yang tengah menjalankan sholat isya’ di surau gedhek selepas pentas.

Tanpa perlawanan, pria lemah itu diseret ke atas truk. Dia berkumpul dengan sejumlah pria dan wanita yang sudah ditutup matanya dengan selembar kain gelap, dijaga para lelaki bersenjata pedang. Truk pun berlalu meninggalkan rasa bersalah kru ketoprak. Kelopak mata mereka meneteskan air mata. Tak berdaya karena ketidakmampuannya. Menyisakan jejak tangis kawan seperjuangan dalam ranah seni tradisi.

Malam sebenarnya berhias rembulan. Teduh ditingkah bintang yang berasi gemintang. Dewi malam terlihat lelah merangkak ritus dinihari. Suara burung malam saling bersautan, mengiringi semburat gerombolan kera yang berlalu diterpa lampu truk. Kendaraan itu bergoyang kesana kemari mengikuti jalan makadam berbatu.

Di sudut bibir jurang di tengah hutan jati, jerit tangis dan rintih mengiba mengiringi tubuh orang-orang bergeletak. Sekumpulan burung cablak hitam menjerit-jerit mewartakan kepedihan. Tentang tubuh-tubuh tergeletak tanpa perlawanan. Suara tenggorokan tercekat bersenyawa seliweran kelewang panjang. Rembulan tanggal 15 demikian cerah hingga memantulkan kilat tebasan pedang. Satu demi satu jasad bersimbah darah dilempar ke dasar jurang. Prosesi kematian paksa berlangsung tanpa peradilan.

“Apa dosa saya Kang, hingga sampeyan....” Belum rampung ucapan itu ke luar dari mulut Munthohir, sebilang pedang telah menghentikan suaranya. Sehelai surban putih yang terpercik darah direnggut paksa lelaki beringas dengan wajah tertutup kain hitam yang hanya menampakkan lobang bola mata.

                                                                    ***

Malam baru bertandang mendekap rembang senja. Di cakrawala langit cerah berhias bintang. Serombongan kelelawar mulai ke luar mencari buah di hamparan hutan. Angin malam mulai semilir tanpa membawa pesan pada sang petang.

Di rumah berdinding papan seorang perempuan berkerudung hitam membaca kitab. Raganya terlihat lelah setelah tiga pekan suaminya menghilang. Siti Aliyah duduk sendiri merenung memikirkan nasib yang menimpa suaminya. Dia pun sadar jika suaminya tak bakal pulang. Dia pun pasrah pada takdir yang menimpanya.

Lamunanya buyar begitu terdengar pintu diketuk tetamu. Perempuan yang sudah pasrah itu membuka pintu.

“Subkhanalloh, Sampeyan kah itu, Kak Kasdikin..?” sapa Siti Aliyah kepada tamunya. “Sampeyan dengan siapa datang?” tambahnya dalam kecemasan membumi. Pikirannya makin kalut apalagi sebelumnya telah dia mendengar dari suaminya, jika Kasdikin menjadi Komandan Bansaji.

“Kamu tak perlu takut Aliyah, kami datang untuk melindungimu. Saya baru mendengar saudaraku Munthohir hilang, makanya saya kemari,” jawab Kasdikin.

Kasdikin duduk di ruang tamu, sementara tiga anak buahnya berjaga di luar rumah. Dalam pembicaraan hampir satu jam, Kasdikin menawarkan untuk mengamankan Siti Aliyah ke luar desa. Dengan berbagai kalimat menakut-nakuti, perempuan yang hidup sendiri karena tak memiliki saudara kandung itu, menurut apa kata Kasdikin. Terlebih ketika pemuda bertubuh tinggi dempal itu berjanji atas nama Tuhan bakal melindunginya. Bahkan menjaga keselamatannya sampai situasi mereda.

“Sampeyan kan juga tahu dari dulu saya menyayangimu,” demikian ungkap Kasdikin.

Malam itu juga perempuan bertubuh montok itu dibawa Kasdikin dengan kawalan tiga anak buahnya ke Desa Maindu. Dia dititipkan di rumah, Kiai Asad Romli, kiai kampung desa setempat.

Sebulan setelah itu, mereka dinikahkan oleh kiai tersebut sebagai suami istri. Perempuan itu tak bisa menolak apalagi Kasdikin setiap kali mengunjunginya berlaku sangat santun. Bahkan sangat melindungi perempuan malang itu. Sayangnya hingga usianya telah sepuh, mereka tak dikaruniai anak. Bisa jadi karena Siti Aliyah yang mandul hingga dua kali pernikahannya tak memiliki keturunan.

Setelah tahun berganti dan situasi politik nasional mereda, Kasdikin meneruskan cita-cita Kiai Asad Romli mendirikan pondok pesantren. Pondok At Taubat itu hingga kini masih berdiri di bawah asuhan Kasdikin.

“Duh Gusti, saya sudah pasrah. Saya rela dihukum di akherat, daripada di dunia tersiksa seperti ini,” keluh Kiai Kasdikin sambil mendekap surban usang. Surban yang dia ambil dari pundak Munthohir setelah sang karib tertebas pedang.

Tangis kiai renta itu berbeda dengan tangis pilu sebelumnya. Hingga mengundang perhatian Siti Aliyah. Tanpa sepengetahuan suaminya, semua perilaku suaminya di dalam kamar dia perhatikan dari balik daun pintu yang sedikit terbuka. Batinnya yang telah rapuh terguncang. Bergolak begitu melihat selembar surban putih bernoda percikan darah di tangan suaminya.
Terlebih setelah mengetahui ada sulaman bunga genjer berbenang hijau di ujung surban. Ornamen bunga itu merupakan hasil jematinya, sebelum surban itu diberikan kepada Munthohir. Tangis Siti Aliyah tak bisa dibendung. Direbutnya surban itu dari tangan suaminya.

“Ya Allah, Kang…” Hanya itu yang ke luar dari mulutnya, sebelum tubuhnya yang ambruk tak sadarkan diri.

“Ya Robbi. Maafkan saya, Aliyah,” kata Kiai Kasdikin sambil memeluk istrinya yang tak sadarkan diri di pangkuannya.

Suara Adzan Ashar, berkumandang membelah sore berhias awan kelabu. Suami istri itu masih di dalam ruang, ketika para santri mengambil air wudlu dari pancuran dekat mushola pondok. 
 
(*Teguh Budi Utomo)
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Gubuk Maya Kang Naryo | Mas Template
Copyright © 2009. GubuK Maya | Kang Naryo - All Rights Reserved
Created by Gubuk Maya | Kang Naryo
Powered by Blogger