Headlines News :
Home » » Kamboja Merah untuk Riris

Kamboja Merah untuk Riris

Written By Kang Naryo on Kamis, 11 Juli 2013 | 14.05

Lelaki muda itu hanya duduk di batu dekat nisan tua tanpa nama. Sorot matanya tak bersemangat. Dingin dengan sekujur lelah melilit raganya. Merdu kicau burung yang saling bersahutan tak membuatnya gaduh.

Rombongan orang penggali kubur yang melintas di depannya hanya sesekali dia lirik. Lelaki murung di betis senja itu hanya merenung. Seakan meratapi kekalahannya. Terhempas oleh takdir yang merenggut belahan jiwanya.
 
Seikat kamboja merah dia pegang erat. Sesekali dibelai dengan penuh perasaan. Kopyah hitam yang bertengger di kepalanya miring, selepas telapak kirinya menampar nyamuk yang menempel pipi. Baju koko hitam yang memadu kain sarung hijau tampak lusuh. Tak tercium aroma wewangian di sekujur tubuhnya yang tipis.
 
Wajah lelaki malang itu tak terbersit binar. Merunduk tanpa rasa. Gelap menyelimutinya. Segelap nasib asmara yang memilinnya. Tanpa pula gairah dalam rona kerlip senja.
 
Semerbak harum kembang setaman menelikung diantara serakan batu nisan. Aroma bunga gading dan kenanga begitu kuat menari-nari di ujung penciuman. Wangi serupa telah mengiringi mobil ambulan ketika mengantar peti jenasah ke Desa Sendang, Kecamatan Senori, Kabupaten Tuban-Jawa Timur, tempat sang jasad kali pertama melihat alam.
 
Iring-iringan keranda jenasah memasuki kompleks makam. Berjalan berkelok menghindari deretan nisan. Gema lafal Laillaha Illallah kian menambah kesenyapan. Tak ada tawa. Tak terdengar pula celoteh. Isak tangis sesekali menimpali akapela puluhan pentakziyah melafal ayat suci mengantar jasad. Ditingkah pula teriak burung gagak yang bersarang di pohon panggang, tepat di ubun-ubun lobang makam.
 
Lelaki sial itu masih bergeming. Bercumbu dengan bayangan kekasihnya. Tautan hati yang diusung di dalam keranda. Tak surut pula ketika rombongan pengantar jenasah melintas di depannya. Ia sepintas melirik. Sisa air mata yang semalam tumpah, dia usap dengan ujung lengan bajunya.
 
Keranda jenasah telah dibuka. Isak tangis kerabat batih mengantar jasad Risnawati, untuk tidur panjang di liang kubur. Di pemakaman umum Desa Sendang, di ujung sore berpayung awan tipis.
 
Modin Sarpan memimpin petakziyah berdoa. Mereka melingkari gundukan tanah basah berselimut kembang setaman. Doa terakhir untuk jasad Buruh Migran Indonesia (BMI) yang meninggal di Yan Chai Hospital, di bilangan Tsuen Wan, New Teritorries, Hong Kong, dua pekan sebelumnya. Ulama dusun yang juga kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) Desa Sendang itu, begitu khusuk merapal mantra. Mantera kematian yang diyakini mampu menggiring sang ruh ke haribaan Illahi.
 
Lelaki itu mulai berdiri ketika kompleks makam sepi ditinggalkan petakziyah. Dia melangkah ke kuburan yang masih basah. Dia belai nisan bagian utara yang terpahat nama kekasihnya. Diletakkan seikat kembang kamboja merah di atas pusara. Isak tangis pun tumpah, mengiringi lengan lelaki nelangsa itu memeluk pusara beku.
 
“Inikah simbul yang kau berikan ketika minta kamboja merah padaku, Ris,” gumam Sunaryo, sang lelaki malang.
 
Setangkai kamboja putih yang kering luruh menimpa lengannya. Kalong yang menggelantung di pohon trembesi, tak jauh dari pohon panggang, mulai membuka mata. Bahkan diantaranya telah terbang ke arah selatan. Menjemput sinar rembulan yang masih dipeluk awan. Selebihnya, sepi tak bertepi berujung kesenyapan. Tanpa emosi penuh kepiluan.
 
Pikiran Sunaryo kembali teraduk. Mengingat masa kebersamaan dengan Riris, nama kecil sang buruh malang. Kali terakhir 2 tahun silam. Saat-saat indah ketika janji terucap sebelum sang pujaan berangkat, menuntaskan sisa kontrak 2 tahun terakhirnya setelah 8 tahun memeras peluh di negeri bekas koloni Inggris itu.
 
****
 
Pagi masih berembun ketika sepasang anak muda turun bus DAMRI, di terminal bandara Juanda Surabaya. Sang pria tak terlihat bersemangat. Gadis muda di sampingnya melingkarkan lengan kanannya di pinggang pasangannya. Gadis berbaju putih katun dengan celana jeans biru itu, berjalan santai menempel lengan kekasihnya. Sesekali perempuan muda bersepatu cat putih itu, tersenyum memandang pasangannya yang terlihat lesu.
 
Lesung pipinya muncul dan tenggelam ketika tersenyum. Tatap matanya yang berbinar, cukup mewakili keceriaan gadis berkulit sawo matang yang hanya lulus Madrasah Tsanawiyah (MTs) di desanya itu. Sesekali lengannya melepas rangkulan, ketika menyibak helaian rambut yang menutup separo wajah ovalnya.
 
Sementara pria kerempeng berambut ikal, terlihat berjalan menunduk. Tanpa berkata-kata. Baju hitam berlengan pendek salur-salur merah jambu, memadu celana kain warna coklat membungkus tubuhnya yang lemah. Seulas senyum pun tak ke luar dari bibirnya yang hitam karena asap kretek. Meski kecil, namun kaki yang ujungnya dibungkus sepatu kulit coklat kusam nampak kokoh melangkah.
 
Riris melihat jam tangan berlapis warna emas. Rambutnya yang lurus sebahu, menari disapa angin pagi. Kopor besar diangkat Sunaryo hingga memasuki ruang tunggu penumpang sebelum cek tiket dan boarding. Dompet paspor dan dokumen lainnya dia keluarkan dari tas warna hitam itu.
 
“Mas tunggu disini, saya ngurus tiket dulu,” kata Riris ketika mendekati deretan kursi di ruang tunggu.
 
Dihempaskan pantat tipisnya di kursi plastik. Tas koper hitam merk Polo milik kekasihnya ditata tepat di depan ujung tekukan kaki. Dipandangi punggung Riris yang melangkah pelan ke salah satu loket. Tak butuh waktu lama perempuan yang sejak dua tahun silam menjalin asmara dengannya itu tanpa bekedip.
 
Pemuda asal Desa Bate, masih tetangga Sendang, ini sebenarnya tak merelakan Riris pergi. Namun gajinya sebagai guru kelas di MTs di kota Kecamatan Senori, tak mampu untuk membiayai pesta pernikahan. Ia tak mampu mencari uang karena yang dia bisa hanya mengajar. Itupun di sekolah MTs swasta, bukan pula pegawai negeri. Oleh karena itu meski harus menahan rindu sepanjang 2 tahun lagi dia paksa bertahan.
 
Namun sebenarnya kepergian Riris ke Hongkong untuk menjadi pembantu rumah tangga, tak lebih dari niat membantu ekonomi keluarganya. Bukan mutlak karena mencari biaya pernikahannya dengan Sunaryo. Bibit Sampurno dan Ny Fatimah, orangtuanya, hanya buruh tani. Dua adiknya masih butuh pendidikan layak. Yang pertama kelas 2 SMA, seorang lagi perempuan kelas 2 SMP.
 
Praktis Riris sebagai tulang punggung keluarga sangat sederhana yang menghuni rumah berdinding papan ini. Meski lantainya tak bertegel keramik, namun rumah ukuran 7 x 16 meter ini telah diplester semen. Lokasinya pun masuk gang sempit berada di ujung belakang jalan, dekat sungai dan sawah milik tetangga.
 
“Saya di luar negeri sampai dua tahun lagi Pak, pas Bambang lulus SMA aku pulang,” kata Riris, di hadapan ayah ibunya semalam menjelang kepergiannya. Bibit Sampurno, hanya bisa diam tak berdaya. Batinnya bangga akan pengabdian anak sulungnya. Sementara hatinya menangis karena ketidakberdayaannya sehingga anak perempuannya itu sampai kerja ke luar negeri. Menjadi pembantu rumah tangga. `
 
“Pak’e dan Mak’e hanya bisa membantu doa Ris, semoga kau dilindungi Tuhan,” jawab Bibit seraya terbatuk-batuk kecil.
 
Sakit paru-paru telah menahun menggerogoti tubuhnya yang kurus. Praktis dia tak lagi mampu mengayun cangkul, untuk menjadi buruh tani. Penyakit ini pula yang menghabiskan Dollar Hongkong kiriman anaknya saban awal bulan. Hingga cita-cita Riris memiliki sepetak sawah untuk mengisi hari tuanya dengan bertani pun tak kesampaian.
 
Sedangkan Ny Fatimah yang lugu dan buta huruf, juga tak jauh berbeda. Modal dari kiriman anaknya untuk membuka toko kecil di depan rumahnya selalu habis. Kalau tidak diutang tetangganya, juga tak bisa menata manajemen. Jadinya warung berdinding gedhek itupun hanya bertahan setahun, karena selalu merugi akibat kebodohan Fatimah.
 
“Bulan April tahun depan, Saya pulang Mas,” kata Riris memecah kebisuan Sunaryo.
Tubuh Sunaryo yang masih basah keringat karena mengangkat tas pacarnya itu gemetar. Entah apa yang akan terjadi dengan kekasihnya. Kepergian Riris kali ini seperti menyisakan duka. Ia tak sanggup menerjemahkan pikiran galaunya. Resah masih menyelimutinya, sekalipun Riris yang telah duduk di samping kirinya menawarinya permen.
 
“Iya Dik, jangan ditunda lagi saya sudah tak sanggup berpisah,” jawab Sunaryo.
 
“Mas sabar ya, ini kontrak terakhir saya”
 
“Tapi kenapa tiba-tiba pikiranku jadi begini?”
 
“Jangan membuatku takut, Mas”
 
“Entahlah Dik, semoga saja engkau selamat sampai tujuan,” pungkas Sunaryo memupus kekhawatiran Riris.
 
“Kita masih ada waktu 1,5 jam Mas, ayo beli makanan dulu,” kata Riris sambil melirik jam tangannya. Tepat jam 08.00 WIB nanti, ia musti terbang meninggalkan Sunaryo ke Hongkong.
 
“Disini saja Dik aku masih pingin berduaan, aku juga tidak lapar,” tolak halus Sunaryo.
 
“Saya beli roti sebentar kalau gitu,” sergah Riris. Tanpa menunggu jawaban, perempuan yang sarat pengalaman hidup sebagai buruh ini melangkah ke salah satu kantin dekat penjualan tiket, di pinggir ruang tunggu. Dua potong roti dan dua gelas air mineral dia tenteng sambil berjalan menuju deretan kursi. Tempat pacarnya setia menunggu.
 
Keduanya tak lagi banyak bicara. Sunaryo hanya pesan agar Riris pandai menjaga diri. Jangan ke luar kalau tidak ada keperluan. Tak lupa pula dia pesan agar kekasihnya tidak boros, karena bakal banyak dana dibutuhkan di saat pernikahan dua tahun lagi.
 
“Kalau tidur kamar dan jendela dikunci rapat, jangan sampai dimasuki majikan,” pesan Sunaryo, tanpa berkedip memandang raut muka pacarnya.
 
Buliran air tiba-tiba mengalir di celah lekuk wajah ayu Riris. “Engkau tak tahu yang menimpaku disana Mas, maafkan aku,” kata Riris dalam batin.
 
Mereka pun berpisah begitu jarum pendek menunjuk angka 8. Mereka saling pandang berhadapan. Sunaryo mencoba menenangkan pacarnya. Mereka saling berdekap dalam pelukan panjang. Diciumnya pipi Sunaryo penuh kemesraan.
 
“Mas jangan melirik cewek lain lo ya,” pesan Riris melepas genggaman lembut Sunaryo. Mereka pun berpisah untuk waktu yang telah ditentukan dan disepakati bersama. Pada 2 tahun lagi.
 
****
 
Awan tebal menyelimuti kompleks Sea Crest Villa di kawasan Castle Peak Road, Tsuen Wan, New Teritorries, Hong Kong. Di villa milik keluarga Lee Poo Kang, Riris bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Komplek permukiman mewah ini begitu damai. Di samping bertepi laut, teritorialnya yang dekat pegunungan kian menambah dinginnya udara disana.
 
Di keluarga pialang saham ini, ia merawat anak perempuan semata wayang yang baru berusia 11 tahun pasangan Lee Poo Kang dan Ny Leung Mei Hwa. Mereka baru pulang tengah malam ketika bursa perdagangan saham ditutup. Rutinitas ini dia lakukan setiap hari. Hanya menyisakan libur sehari di hari Minggu.
 
Meski begitu, Riris telah memperpanjang kontrak ke dua selama 2 tahun lagi dengan keluarga Lee. Tak seorang pun tahu, kondisi riil yang dialaminya. Keluarganya pun tak tahu, jika sepanjang kerja di keluarga kaya raya ini, ia harus kedinginan setiap malam. Mereka tak menyediakan kamar untuk tidur pembantu, sekalipun kehadiran pembantu rumah tangga menjadi bagian vital bagi keluarganya.
 
Riris harus bergelut dengan dinginnya malam berselimut kabut. Dia saban malam tergolek di atas karton bekas bungkus kulkas yang ditumpuk kertas koran. Di sampingnya teronggok koper hitam dan tumpukan pakaiannya. Gasebo ukuran 2 x 2 meter yang dipakai menumpuk barang rongsokan di belakang rumah, menjadi saksi kehidupan malam Riris. Kabut pegunungan yang selingkuh dengan angin laut bersekutu mengisi malam-malam kelamnya. Di tempat yang menjadi sarang tikus itu pula, dia terlelap berbantal karton yang ditumpuk.
 
Fisik gadis berumur 29 tahun ini, tak seperti 4 tahun lalu. Belakangan nafasnya sering tersengal jika musim dingin datang. Jika dia batuk dahaknya terlihat semburat merah. Darah itu selalu menempel di sapu tangan pemberian Sunaryo pacarnya. Musim dingin di malam hari kian menyulitkan Riris. Gasebo yang hanya dikelilingi dinding bambu itu, tak lagi mampu menghangatkan tubuhnya. Jarik kawung milik Emaknya yang dibawa dari rumah pun tak mampu memenangkan batinnya yang perih.
 
“Mas Naryo, saya sakit Mas,” demikian pesan pendek yang dikirim Riris kepada Sunaryo kekasihnya. Pesan ini sudah ke sekian kali dia kirim pada malam-malam sialan sebelumnya.
 
Malam ini memang berbeda dengan malam sebelumnya. Udara di kompleks vila mewah itu menembus suhu di bawah 10 derajat. Usai mengirim pesan kepada kekasihnya, pesawat HP dibiarkan tergeletak di lantai. Perempuan itu sempoyongan menuju kran air tak jauh dari gazebo. Di kran yang biasanya dia pakai mencuci perabot majikannya itu, Riris mengambil air dengan kedua tangannya dibersihkan percikan darah di sapu tangan. Dari air kran itu pula ia mengobati haus karena sebelum rumah dikunci majikannya, Riris lupa mengambil air minum.
 
Dering suara HP tiba-tiba terdengar. Riris yang mendengarnya tergopoh sambil memegangi dadanya yang nyeri tak terperi. Matanya berkunang dan pandangannya tiba-tiba kabur. Kakinya hendak melangkah naik tangga gazebo. Akan tetapi tak sampai menginjak tangga ke tiga badannya limbung. Tubuhnya luruh dari tangga terhempas di tanah.
 
Dinginnya embun pagi membangunkan Riris dari pingsan. Terhitung hampir 3 jam dia tak sadarkan diri. Pingsan di tengah malam itu merupakan kejadian yang kesekian kali dalam setahun terakhir. Wajahnya pucat dengan bibir bersemu biru. Ia menaiki 3 anak tangga yang semalam gagal dia tapaki. Dilihatnya misscall sampai berkali-kali dari nomor Sunaryo. Termasuk sederet pesan berisi kecemasan dari kekasihnya itu.
 
“Mas Naryo, saya sudah baikkan kok,” kata Riris memupus kecemasan kekasihnya dalam telepon di awal subuh, selepas perempuan itu tersadar. “Saya pingin pulang Mas,” tambahnya menghiba. Ada getar aneh dalam suara perempuan berperawakan semampai itu di telinga Sunaryo.
 
“Iya Dik, kamu minta saya sambut dengan apa saat tiba di rumah?” ujar Sunaryo. Meski tak pandai menyusun kata-kata guru MTs ini mencoba menghibur kekasihnya.
 
“Mas, saya tak minta apa-apa. Saya pingin Mas Naryo jemput saya di Bandara Juanda sambil membawa bunga kamboja merah,” pungkas Riris. Setelah itu sambungan telepon pun terputus, karena Riris mendengar dipanggil majikannya dari dapur.
 
Jarum jam menunjuk angka 01.45 waktu Hongkong, namun majikannya belum pulang. Sementara Riris yang sendiri menunggui Lee Pow Hwat, anak majikannya yang telah terlelap tidur. Ia tak berani tidur di samping anak majikannya, karena takut jika majikan datang tak dibukakan pintu bakal kena caci maki. Di saat seluruh persendiaannya ngilu dan kepala pusing, klakson mobil mewah majikannya berbunyi. Ia langsung beranjak membukakan pintu pagar. Dalam pembicaraan satu dua, Riris langsung ke luar rumah. Dan pintu pun langsung dikunci Ny Leung Mei Hwa yang galak.
 
Riris ke peraduannya, gasebo yang tak terpakai. Arloji murahan yang dia simpan di samping tumpukan pakaiannya menunjuk angka 02.15. Namun tak secuilpun kantuk menghampirinya. Celana panjang dan jaket kumal dia kenakan. Untuk menghalau dingin dibungkus pula kakinya dengan kaos kaki tebal. Sebutir obat yang dia beli saat libur hari Minggu dia minum. Pikirannya melayang ke kampung halaman. Dia ingat orangtuanya, adek-adeknya dan tentu saja Sunaryo yang kini menunggunya.
 
Awan tebal tiba-tiba bergelayut di Tsuen Wan. Angin kencang menyertai awan yang mulai mengendap. Titik-titik air langit mulai membunyikan atap seng gazebo. Tak lama berselang hujan lebat menyertai dinihari. Amuk hawa dingin membuat Riris menggigit. Udara beku mulai menyerang tubuhnya yang lemah. Nyeri di dadanya kambuh. Bahkan, rasa sakitnya makin tak bisa dia tahan. Riris merintih kesakitan sambil terbatuk-batuk. Darah segar mulai mengalir dari bibir tipisnya. Dan perempuan yang jauh dari sanak keluarga itu pun kembali tak sadarkan diri. Tertelungkup memegangi dadanya di lantai gasebo beralaskan kertas karton.
 
Geger di pagi buta, ketika Ny Leung Mei Hwa tak dijawab panggilannya. “Riris... dimana kamu, apa sudah budhek telingamu dipanggil tak menjawab,” teriak Ny Leung Mei Hwa ketika mendekati tangga gasebo. Ia ketakutan ketika menggoyang-goyang tubuh Riris namun tak juga bergeming. Riris tak sadarkan diri dengan tubuh lemas dan wajah pucat pasi.
 
Dengan rasa takut majikan perempuan itu balik ke kamar membangunkan suaminya. Lee Poo Kang langsung menelpon Yan Chai Hospital. Mobil ambulan melarikan perempuan malang itu ke rumah sakit. Riris sempat siuman. Sekira dua jam berikutnya ia tak sadar lagi, hingga satu jam berikutnya dokter menyatakan buruh migran asal Indonesia itu telah menghembuskan nafas terakhir. Secara medis Risnawati dinyatakan meninggal karena serangan jantung.
 
Kabar wafatnya Riris dilaporkan ke KJRI Hongkong. Petugas dari perusahaan pengerah tenaga kerja yang memberangkatkannya, mulai sibuk mengurus pemulangan jenasah ke Indonesia. Sekira dua minggu jenasah yang sudah dimasukkan peti mati dan dibalsam agar tak membusuk itu, diterbangkan ke tanah kelahirannya. Aroma harum bunga gading dan kenanga mengiringi jenasah hingga kampung halaman.
 
“Ayo bangun Nak, kamu tidak boleh menangisi kepergiannya. Doakan saja agar dia diterima disisi-Nya,” ujar seorang pria tua sambil memegang pundak Sunaryo yang masih memeluk makam kekasihnya.
 
“Saya tak sanggup hidup begini Pak,” kata Naryo kepada Raekan, bapaknya. Suaranya lirih datar tanpa intonasi.
 
Nampaknya orangtua ini mengikuti garak-gerik anak kandungnya dari jauh. Tangan kokoh petani ini mengangkat anaknya. Dipeluknya sang anak dengan penuh kasih sayang. Mereka pun berlalu meninggalkan makam diiringi gerimis. Suara adzan magrib pun mulai terdengar dari surau desa.
 
“Duh Gusti, berilah kekuatan pada hambamu,” demikian kata Raekan dalam hati. 
 
(*Rakai Pemanahan)
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Gubuk Maya Kang Naryo | Mas Template
Copyright © 2009. GubuK Maya | Kang Naryo - All Rights Reserved
Created by Gubuk Maya | Kang Naryo
Powered by Blogger