Lelaki muda itu
hanya duduk di batu dekat nisan tua tanpa nama. Sorot matanya tak
bersemangat. Dingin dengan sekujur lelah melilit raganya. Merdu kicau
burung yang saling bersahutan tak membuatnya gaduh.
Rombongan orang penggali kubur yang melintas di depannya hanya sesekali dia lirik. Lelaki murung di betis senja itu hanya merenung. Seakan meratapi kekalahannya. Terhempas oleh takdir yang merenggut belahan jiwanya.
Seikat kamboja
merah dia pegang erat. Sesekali dibelai dengan penuh perasaan. Kopyah
hitam yang bertengger di kepalanya miring, selepas telapak kirinya
menampar nyamuk yang menempel pipi. Baju koko hitam yang memadu kain
sarung hijau tampak lusuh. Tak tercium aroma wewangian di sekujur
tubuhnya yang tipis.
Wajah lelaki
malang itu tak terbersit binar. Merunduk tanpa rasa. Gelap
menyelimutinya. Segelap nasib asmara yang memilinnya. Tanpa pula gairah
dalam rona kerlip senja.
Semerbak harum
kembang setaman menelikung diantara serakan batu nisan. Aroma bunga
gading dan kenanga begitu kuat menari-nari di ujung penciuman. Wangi
serupa telah mengiringi mobil ambulan ketika mengantar peti jenasah ke
Desa Sendang, Kecamatan Senori, Kabupaten Tuban-Jawa Timur, tempat sang
jasad kali pertama melihat alam.
Iring-iringan
keranda jenasah memasuki kompleks makam. Berjalan berkelok menghindari
deretan nisan. Gema lafal Laillaha Illallah kian menambah kesenyapan.
Tak ada tawa. Tak terdengar pula celoteh. Isak tangis sesekali menimpali
akapela puluhan pentakziyah melafal ayat suci mengantar jasad.
Ditingkah pula teriak burung gagak yang bersarang di pohon panggang,
tepat di ubun-ubun lobang makam.
Lelaki sial itu
masih bergeming. Bercumbu dengan bayangan kekasihnya. Tautan hati yang
diusung di dalam keranda. Tak surut pula ketika rombongan pengantar
jenasah melintas di depannya. Ia sepintas melirik. Sisa air mata yang
semalam tumpah, dia usap dengan ujung lengan bajunya.
Keranda jenasah
telah dibuka. Isak tangis kerabat batih mengantar jasad Risnawati, untuk
tidur panjang di liang kubur. Di pemakaman umum Desa Sendang, di ujung
sore berpayung awan tipis.
Modin Sarpan
memimpin petakziyah berdoa. Mereka melingkari gundukan tanah basah
berselimut kembang setaman. Doa terakhir untuk jasad Buruh Migran
Indonesia (BMI) yang meninggal di Yan Chai Hospital, di bilangan Tsuen
Wan, New Teritorries, Hong Kong, dua pekan sebelumnya. Ulama dusun yang
juga kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) Desa Sendang itu,
begitu khusuk merapal mantra. Mantera kematian yang diyakini mampu
menggiring sang ruh ke haribaan Illahi.
Lelaki itu mulai
berdiri ketika kompleks makam sepi ditinggalkan petakziyah. Dia
melangkah ke kuburan yang masih basah. Dia belai nisan bagian utara yang
terpahat nama kekasihnya. Diletakkan seikat kembang kamboja merah di
atas pusara. Isak tangis pun tumpah, mengiringi lengan lelaki nelangsa
itu memeluk pusara beku.
“Inikah simbul yang kau berikan ketika minta kamboja merah padaku, Ris,” gumam Sunaryo, sang lelaki malang.
Setangkai kamboja
putih yang kering luruh menimpa lengannya. Kalong yang menggelantung di
pohon trembesi, tak jauh dari pohon panggang, mulai membuka mata.
Bahkan diantaranya telah terbang ke arah selatan. Menjemput sinar
rembulan yang masih dipeluk awan. Selebihnya, sepi tak bertepi berujung
kesenyapan. Tanpa emosi penuh kepiluan.
Pikiran Sunaryo
kembali teraduk. Mengingat masa kebersamaan dengan Riris, nama kecil
sang buruh malang. Kali terakhir 2 tahun silam. Saat-saat indah ketika
janji terucap sebelum sang pujaan berangkat, menuntaskan sisa kontrak 2
tahun terakhirnya setelah 8 tahun memeras peluh di negeri bekas koloni
Inggris itu.
****
Pagi masih
berembun ketika sepasang anak muda turun bus DAMRI, di terminal bandara
Juanda Surabaya. Sang pria tak terlihat bersemangat. Gadis muda di
sampingnya melingkarkan lengan kanannya di pinggang pasangannya. Gadis
berbaju putih katun dengan celana jeans biru itu, berjalan santai
menempel lengan kekasihnya. Sesekali perempuan muda bersepatu cat putih
itu, tersenyum memandang pasangannya yang terlihat lesu.
Lesung pipinya
muncul dan tenggelam ketika tersenyum. Tatap matanya yang berbinar,
cukup mewakili keceriaan gadis berkulit sawo matang yang hanya lulus
Madrasah Tsanawiyah (MTs) di desanya itu. Sesekali lengannya melepas
rangkulan, ketika menyibak helaian rambut yang menutup separo wajah
ovalnya.
Sementara pria
kerempeng berambut ikal, terlihat berjalan menunduk. Tanpa berkata-kata.
Baju hitam berlengan pendek salur-salur merah jambu, memadu celana kain
warna coklat membungkus tubuhnya yang lemah. Seulas senyum pun tak ke
luar dari bibirnya yang hitam karena asap kretek. Meski kecil, namun
kaki yang ujungnya dibungkus sepatu kulit coklat kusam nampak kokoh
melangkah.
Riris melihat jam
tangan berlapis warna emas. Rambutnya yang lurus sebahu, menari disapa
angin pagi. Kopor besar diangkat Sunaryo hingga memasuki ruang tunggu
penumpang sebelum cek tiket dan boarding. Dompet paspor dan dokumen
lainnya dia keluarkan dari tas warna hitam itu.
“Mas tunggu disini, saya ngurus tiket dulu,” kata Riris ketika mendekati deretan kursi di ruang tunggu.
Dihempaskan
pantat tipisnya di kursi plastik. Tas koper hitam merk Polo milik
kekasihnya ditata tepat di depan ujung tekukan kaki. Dipandangi punggung
Riris yang melangkah pelan ke salah satu loket. Tak butuh waktu lama
perempuan yang sejak dua tahun silam menjalin asmara dengannya itu tanpa
bekedip.
Pemuda asal Desa
Bate, masih tetangga Sendang, ini sebenarnya tak merelakan Riris pergi.
Namun gajinya sebagai guru kelas di MTs di kota Kecamatan Senori, tak
mampu untuk membiayai pesta pernikahan. Ia tak mampu mencari uang karena
yang dia bisa hanya mengajar. Itupun di sekolah MTs swasta, bukan pula
pegawai negeri. Oleh karena itu meski harus menahan rindu sepanjang 2
tahun lagi dia paksa bertahan.
Namun sebenarnya
kepergian Riris ke Hongkong untuk menjadi pembantu rumah tangga, tak
lebih dari niat membantu ekonomi keluarganya. Bukan mutlak karena
mencari biaya pernikahannya dengan Sunaryo. Bibit Sampurno dan Ny
Fatimah, orangtuanya, hanya buruh tani. Dua adiknya masih butuh
pendidikan layak. Yang pertama kelas 2 SMA, seorang lagi perempuan kelas
2 SMP.
Praktis Riris
sebagai tulang punggung keluarga sangat sederhana yang menghuni rumah
berdinding papan ini. Meski lantainya tak bertegel keramik, namun rumah
ukuran 7 x 16 meter ini telah diplester semen. Lokasinya pun masuk gang
sempit berada di ujung belakang jalan, dekat sungai dan sawah milik
tetangga.
“Saya di luar
negeri sampai dua tahun lagi Pak, pas Bambang lulus SMA aku pulang,”
kata Riris, di hadapan ayah ibunya semalam menjelang kepergiannya. Bibit
Sampurno, hanya bisa diam tak berdaya. Batinnya bangga akan pengabdian
anak sulungnya. Sementara hatinya menangis karena ketidakberdayaannya
sehingga anak perempuannya itu sampai kerja ke luar negeri. Menjadi
pembantu rumah tangga. `
“Pak’e dan Mak’e hanya bisa membantu doa Ris, semoga kau dilindungi Tuhan,” jawab Bibit seraya terbatuk-batuk kecil.
Sakit paru-paru
telah menahun menggerogoti tubuhnya yang kurus. Praktis dia tak lagi
mampu mengayun cangkul, untuk menjadi buruh tani. Penyakit ini pula yang
menghabiskan Dollar Hongkong kiriman anaknya saban awal bulan. Hingga
cita-cita Riris memiliki sepetak sawah untuk mengisi hari tuanya dengan
bertani pun tak kesampaian.
Sedangkan Ny
Fatimah yang lugu dan buta huruf, juga tak jauh berbeda. Modal dari
kiriman anaknya untuk membuka toko kecil di depan rumahnya selalu habis.
Kalau tidak diutang tetangganya, juga tak bisa menata manajemen.
Jadinya warung berdinding gedhek itupun hanya bertahan setahun, karena
selalu merugi akibat kebodohan Fatimah.
“Bulan April tahun depan, Saya pulang Mas,” kata Riris memecah kebisuan Sunaryo.
Tubuh Sunaryo yang masih basah keringat karena mengangkat tas pacarnya itu gemetar. Entah apa yang akan terjadi dengan kekasihnya. Kepergian Riris kali ini seperti menyisakan duka. Ia tak sanggup menerjemahkan pikiran galaunya. Resah masih menyelimutinya, sekalipun Riris yang telah duduk di samping kirinya menawarinya permen.
Tubuh Sunaryo yang masih basah keringat karena mengangkat tas pacarnya itu gemetar. Entah apa yang akan terjadi dengan kekasihnya. Kepergian Riris kali ini seperti menyisakan duka. Ia tak sanggup menerjemahkan pikiran galaunya. Resah masih menyelimutinya, sekalipun Riris yang telah duduk di samping kirinya menawarinya permen.
“Iya Dik, jangan ditunda lagi saya sudah tak sanggup berpisah,” jawab Sunaryo.
“Mas sabar ya, ini kontrak terakhir saya”
“Tapi kenapa tiba-tiba pikiranku jadi begini?”
“Jangan membuatku takut, Mas”
“Entahlah Dik, semoga saja engkau selamat sampai tujuan,” pungkas Sunaryo memupus kekhawatiran Riris.
“Kita masih ada
waktu 1,5 jam Mas, ayo beli makanan dulu,” kata Riris sambil melirik jam
tangannya. Tepat jam 08.00 WIB nanti, ia musti terbang meninggalkan
Sunaryo ke Hongkong.
“Disini saja Dik aku masih pingin berduaan, aku juga tidak lapar,” tolak halus Sunaryo.
“Saya beli roti
sebentar kalau gitu,” sergah Riris. Tanpa menunggu jawaban, perempuan
yang sarat pengalaman hidup sebagai buruh ini melangkah ke salah satu
kantin dekat penjualan tiket, di pinggir ruang tunggu. Dua potong roti
dan dua gelas air mineral dia tenteng sambil berjalan menuju deretan
kursi. Tempat pacarnya setia menunggu.
Keduanya tak lagi
banyak bicara. Sunaryo hanya pesan agar Riris pandai menjaga diri.
Jangan ke luar kalau tidak ada keperluan. Tak lupa pula dia pesan agar
kekasihnya tidak boros, karena bakal banyak dana dibutuhkan di saat
pernikahan dua tahun lagi.
“Kalau tidur
kamar dan jendela dikunci rapat, jangan sampai dimasuki majikan,” pesan
Sunaryo, tanpa berkedip memandang raut muka pacarnya.
Buliran air
tiba-tiba mengalir di celah lekuk wajah ayu Riris. “Engkau tak tahu yang
menimpaku disana Mas, maafkan aku,” kata Riris dalam batin.
Mereka pun
berpisah begitu jarum pendek menunjuk angka 8. Mereka saling pandang
berhadapan. Sunaryo mencoba menenangkan pacarnya. Mereka saling berdekap
dalam pelukan panjang. Diciumnya pipi Sunaryo penuh kemesraan.
“Mas jangan
melirik cewek lain lo ya,” pesan Riris melepas genggaman lembut Sunaryo.
Mereka pun berpisah untuk waktu yang telah ditentukan dan disepakati
bersama. Pada 2 tahun lagi.
****
Awan tebal
menyelimuti kompleks Sea Crest Villa di kawasan Castle Peak Road, Tsuen
Wan, New Teritorries, Hong Kong. Di villa milik keluarga Lee Poo Kang,
Riris bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Komplek permukiman mewah
ini begitu damai. Di samping bertepi laut, teritorialnya yang dekat
pegunungan kian menambah dinginnya udara disana.
Di keluarga
pialang saham ini, ia merawat anak perempuan semata wayang yang baru
berusia 11 tahun pasangan Lee Poo Kang dan Ny Leung Mei Hwa. Mereka baru
pulang tengah malam ketika bursa perdagangan saham ditutup. Rutinitas
ini dia lakukan setiap hari. Hanya menyisakan libur sehari di hari
Minggu.
Meski begitu,
Riris telah memperpanjang kontrak ke dua selama 2 tahun lagi dengan
keluarga Lee. Tak seorang pun tahu, kondisi riil yang dialaminya.
Keluarganya pun tak tahu, jika sepanjang kerja di keluarga kaya raya
ini, ia harus kedinginan setiap malam. Mereka tak menyediakan kamar
untuk tidur pembantu, sekalipun kehadiran pembantu rumah tangga menjadi
bagian vital bagi keluarganya.
Riris harus
bergelut dengan dinginnya malam berselimut kabut. Dia saban malam
tergolek di atas karton bekas bungkus kulkas yang ditumpuk kertas koran.
Di sampingnya teronggok koper hitam dan tumpukan pakaiannya. Gasebo
ukuran 2 x 2 meter yang dipakai menumpuk barang rongsokan di belakang
rumah, menjadi saksi kehidupan malam Riris. Kabut pegunungan yang
selingkuh dengan angin laut bersekutu mengisi malam-malam kelamnya. Di
tempat yang menjadi sarang tikus itu pula, dia terlelap berbantal karton
yang ditumpuk.
Fisik gadis
berumur 29 tahun ini, tak seperti 4 tahun lalu. Belakangan nafasnya
sering tersengal jika musim dingin datang. Jika dia batuk dahaknya
terlihat semburat merah. Darah itu selalu menempel di sapu tangan
pemberian Sunaryo pacarnya. Musim dingin di malam hari kian menyulitkan
Riris. Gasebo yang hanya dikelilingi dinding bambu itu, tak lagi mampu
menghangatkan tubuhnya. Jarik kawung milik Emaknya yang dibawa dari
rumah pun tak mampu memenangkan batinnya yang perih.
“Mas Naryo, saya
sakit Mas,” demikian pesan pendek yang dikirim Riris kepada Sunaryo
kekasihnya. Pesan ini sudah ke sekian kali dia kirim pada malam-malam
sialan sebelumnya.
Malam ini memang
berbeda dengan malam sebelumnya. Udara di kompleks vila mewah itu
menembus suhu di bawah 10 derajat. Usai mengirim pesan kepada
kekasihnya, pesawat HP dibiarkan tergeletak di lantai. Perempuan itu
sempoyongan menuju kran air tak jauh dari gazebo. Di kran yang biasanya
dia pakai mencuci perabot majikannya itu, Riris mengambil air dengan
kedua tangannya dibersihkan percikan darah di sapu tangan. Dari air kran
itu pula ia mengobati haus karena sebelum rumah dikunci majikannya,
Riris lupa mengambil air minum.
Dering suara HP
tiba-tiba terdengar. Riris yang mendengarnya tergopoh sambil memegangi
dadanya yang nyeri tak terperi. Matanya berkunang dan pandangannya
tiba-tiba kabur. Kakinya hendak melangkah naik tangga gazebo. Akan
tetapi tak sampai menginjak tangga ke tiga badannya limbung. Tubuhnya
luruh dari tangga terhempas di tanah.
Dinginnya embun
pagi membangunkan Riris dari pingsan. Terhitung hampir 3 jam dia tak
sadarkan diri. Pingsan di tengah malam itu merupakan kejadian yang
kesekian kali dalam setahun terakhir. Wajahnya pucat dengan bibir
bersemu biru. Ia menaiki 3 anak tangga yang semalam gagal dia tapaki.
Dilihatnya misscall sampai berkali-kali dari nomor Sunaryo. Termasuk
sederet pesan berisi kecemasan dari kekasihnya itu.
“Mas Naryo, saya
sudah baikkan kok,” kata Riris memupus kecemasan kekasihnya dalam
telepon di awal subuh, selepas perempuan itu tersadar. “Saya pingin
pulang Mas,” tambahnya menghiba. Ada getar aneh dalam suara perempuan
berperawakan semampai itu di telinga Sunaryo.
“Iya Dik, kamu
minta saya sambut dengan apa saat tiba di rumah?” ujar Sunaryo. Meski
tak pandai menyusun kata-kata guru MTs ini mencoba menghibur kekasihnya.
“Mas, saya tak
minta apa-apa. Saya pingin Mas Naryo jemput saya di Bandara Juanda
sambil membawa bunga kamboja merah,” pungkas Riris. Setelah itu
sambungan telepon pun terputus, karena Riris mendengar dipanggil
majikannya dari dapur.
Jarum jam
menunjuk angka 01.45 waktu Hongkong, namun majikannya belum pulang.
Sementara Riris yang sendiri menunggui Lee Pow Hwat, anak majikannya
yang telah terlelap tidur. Ia tak berani tidur di samping anak
majikannya, karena takut jika majikan datang tak dibukakan pintu bakal
kena caci maki. Di saat seluruh persendiaannya ngilu dan kepala pusing,
klakson mobil mewah majikannya berbunyi. Ia langsung beranjak membukakan
pintu pagar. Dalam pembicaraan satu dua, Riris langsung ke luar rumah.
Dan pintu pun langsung dikunci Ny Leung Mei Hwa yang galak.
Riris ke
peraduannya, gasebo yang tak terpakai. Arloji murahan yang dia simpan di
samping tumpukan pakaiannya menunjuk angka 02.15. Namun tak secuilpun
kantuk menghampirinya. Celana panjang dan jaket kumal dia kenakan. Untuk
menghalau dingin dibungkus pula kakinya dengan kaos kaki tebal. Sebutir
obat yang dia beli saat libur hari Minggu dia minum. Pikirannya
melayang ke kampung halaman. Dia ingat orangtuanya, adek-adeknya dan
tentu saja Sunaryo yang kini menunggunya.
Awan tebal
tiba-tiba bergelayut di Tsuen Wan. Angin kencang menyertai awan yang
mulai mengendap. Titik-titik air langit mulai membunyikan atap seng
gazebo. Tak lama berselang hujan lebat menyertai dinihari. Amuk hawa
dingin membuat Riris menggigit. Udara beku mulai menyerang tubuhnya yang
lemah. Nyeri di dadanya kambuh. Bahkan, rasa sakitnya makin tak bisa
dia tahan. Riris merintih kesakitan sambil terbatuk-batuk. Darah segar
mulai mengalir dari bibir tipisnya. Dan perempuan yang jauh dari sanak
keluarga itu pun kembali tak sadarkan diri. Tertelungkup memegangi
dadanya di lantai gasebo beralaskan kertas karton.
Geger di pagi
buta, ketika Ny Leung Mei Hwa tak dijawab panggilannya. “Riris... dimana
kamu, apa sudah budhek telingamu dipanggil tak menjawab,” teriak Ny
Leung Mei Hwa ketika mendekati tangga gasebo. Ia ketakutan ketika
menggoyang-goyang tubuh Riris namun tak juga bergeming. Riris tak
sadarkan diri dengan tubuh lemas dan wajah pucat pasi.
Dengan rasa takut
majikan perempuan itu balik ke kamar membangunkan suaminya. Lee Poo
Kang langsung menelpon Yan Chai Hospital. Mobil ambulan melarikan
perempuan malang itu ke rumah sakit. Riris sempat siuman. Sekira dua jam
berikutnya ia tak sadar lagi, hingga satu jam berikutnya dokter
menyatakan buruh migran asal Indonesia itu telah menghembuskan nafas
terakhir. Secara medis Risnawati dinyatakan meninggal karena serangan
jantung.
Kabar wafatnya
Riris dilaporkan ke KJRI Hongkong. Petugas dari perusahaan pengerah
tenaga kerja yang memberangkatkannya, mulai sibuk mengurus pemulangan
jenasah ke Indonesia. Sekira dua minggu jenasah yang sudah dimasukkan
peti mati dan dibalsam agar tak membusuk itu, diterbangkan ke tanah
kelahirannya. Aroma harum bunga gading dan kenanga mengiringi jenasah
hingga kampung halaman.
“Ayo bangun Nak,
kamu tidak boleh menangisi kepergiannya. Doakan saja agar dia diterima
disisi-Nya,” ujar seorang pria tua sambil memegang pundak Sunaryo yang
masih memeluk makam kekasihnya.
“Saya tak sanggup hidup begini Pak,” kata Naryo kepada Raekan, bapaknya. Suaranya lirih datar tanpa intonasi.
Nampaknya
orangtua ini mengikuti garak-gerik anak kandungnya dari jauh. Tangan
kokoh petani ini mengangkat anaknya. Dipeluknya sang anak dengan penuh
kasih sayang. Mereka pun berlalu meninggalkan makam diiringi gerimis.
Suara adzan magrib pun mulai terdengar dari surau desa.
“Duh Gusti, berilah kekuatan pada hambamu,” demikian kata Raekan dalam hati.
(*Rakai Pemanahan)
Posting Komentar