Rindla Illahi karena ridlanya...
Murka Illahi karena murkanya...
Bila kau sayang pada kasihmu...
Lebih sayanglah pada ibumu...
PENGGALAN
syair dari lagu Keramat yang dilantun Rhoma Irama terdengar sayup dari
tape recorder warung remang. Tiga lelaki masih bercanda dengan wanita
muda bergincu tebal, di dekat stasiun kereta api Cepu, Jawa Tengah
menjelang dinihari. Gurauan kian liar dengan diksi-diksi genit.
Menyentuh jiwa gersang lelaki hidung belang.
Sesekali tangan lelaki berjaket kuning mencolek pantat penjaja nikmat. Yang dicolek pun merajuk. Tak menolak sentuhan hangat lelaki beraroma arak. Dua pria lainnya hanya memainkan batang keretek. Kepalanya bergoyang-goyang mengikuti ritme tepukan ketipung. Larut dalam tembang lawas.
“Sebentar ya wong ayu, aku pipis dulu,” kata lelaki sambil berdiri. Dicoleknya pipi perempuan yang jika tersenyum memunculkan gigi putih kekuningan berhias gingsul itu.
“Jangan lama Mas, saya sudah enggak tahan,” jawab perempuan muda sambil meremas selakangan pria yang telah berumur itu. Dia tersenyum genit melangkah di depan dua pria yang tengah dibekap halusinasi yang dihantar alkohol. Ikatan tali kutang dia lepas, sambil membuka pintu kamar berdinding papan.
Sang lelaki gontai melangkah sambil melepas ikat pinggang kulit lapuk. Di dekat pohon waru samping kanan warung air seni tumpah. Sang lelaki memandang langit yang terang benderang. Kerlib bintang menari-nari mengikuti pusaran rembulan yang bundar.
Tak lama kemudian sudut ruang pun membara. Saling pagut dalam lembaran asmara usang. Bulan perempuan muda pun tertusuk ilalang. Lingkaran berahi pun kian menggeliat. Desah nafas tak berirama saling berkejaran pada titik persinggahan. Malam demikian panjang mencipta lelah ragawi di warung remang.
Di sudut jalan tak jauh dari warung, seorang perempuan paruh baya menunduk di bawah temaram lampu jalan. Rambutnya yang sebahu luruh di ujung dagu. Dihela asap rokok yang tinggal separo. Hatinya gundah. Rasa tercampakan menggelayuti batinnya.
“Saya sudah tidak muda lagi, sudah tak laku,” gumam Sutini, sang perempuan yang berdiri sendiri ditemani nyamuk nakal dalam dekapan sepi malam. Dihempaskan pantatnya yang tipis terbungkus celana jeans ke atas batu di tepi jalan. Dihisapnya dalam-dalam batangan rokok, hingga wajahnya memerah menahan nafas.
Pikirannya melayang. Menerobos dinding waktu. Teringat masa SMA di daerah yang melahirkannya di Sragen, Jawa Tengah. Teringat pula masa perkawinannya dengan pemuda yang tak bertanggung jawab. Lalu terbelah benang merah pernikahan yang meninggalkan seorang bocah lelaki. Belahan jiwanya yang kini meretas ilmu di bangku SD di desanya. Dirawat orangtuanya.
Dia tersenyum ketika mengingat kisah cintanya dengan sesama buruh di negeri yang dihuni mayoritas mata sipit. Ya hampir 10 tahun sang perempuan menjadi pembantu rumah tangga di negeri yang pernah dikuasai Khubelai Khan itu. Di sana pula dia menemukan komunitas pegiat sandiwara. Dan di komunitas itu pula dia mengenal sastra.
Sempat pula terlintas hasrat menjadi pemain sandiwara atau sastrawan jika balik ke tanah air. Namun, harapan itu tinggallah impian, apa yang dia dapat dalam serangkaian latihan dan teori perwatakan maupun perilaku, tak ada artinya sama sekali. Di tanah air popularitas bisa diperoleh asal memiliki koneksi. Itu pun berlaku bagi pemain tonil dari kampung ke kampung. Atau bahkan untuk menjadi seorang penulis cerpen picisan. Karena, susastra yang dia miliki belum genap.
Perempuan berkulit bening itu tercampakkan. Rangkaian realitas hidup menyudutkan dirinya di lorong gelap. Hingga terjerembab ke lorong pengap, setelah tertipu lelaki buaya yang meludeskan pundi-pundi yang dia kumpulkan selama memeras peluh di negeri orang.
Ujung baju birunya ditarikan angin, ketika truk sarat muatan melintas lalu berhenti sejarak sebelas depa dari dia berdiri di tepi jalan. Perempuan itu setengah berlari menyambut supir yang baru turun dari kabin. Mereka saling tersenyum. Saling memeluk melepas ribang yang terpendam sepekan terakhir.
“Titin, maafkan saya ya. Malam ini saya tergesa berangkat ke Semarang mengantar muatan,” kata supir truk begitu turun menemui Sutini yang sejak awal malam menunggu di tepi jalan. Pria asal Rembang, Jawa Tengah itu tak diam. Dipeluknya sang perempuan yang kecewa. “Ini saya ada rejeki sedikit, pakailah untuk kebutuhan sekolah anakmu,” pungkas Ladiyo, sang lelaki, sambil menyerahkan dua lembaran uang kertas berwarna kemerahan.
Jika tak sibuk, mereka selalu kencan atau sekadar ngobrol sampai pagi di salah satu warung remang. Tempat mangkal truk yang akan melintas ke wilayah Semarang dan Purwodadi.
“Hati-hati di jalan ya Mas Yoyok. Saya juga akan pulang kalau gitu,” kata Titin, sapaan akrab Sutini. Dipeluknya pria yang telah berkeluarga yang biasa disapa Yoyok itu. Mereka pun berpisah karena berbeda arah jalan.
****
DI simpang tiga dekat hutan jati Blora, Titin sendiri. Menunggu tumpangan ke Randublatung, wilayah Blora-Jawa Tengah. Hampir sejam dia sendiri dipeluk dingin tak bertepi. Didekap erat tas kain hijau daun untuk melepas dingin. Sendiri dalam kesendirian.
Suara andong sayup-sayup terdengar membelah ujung malam. Dua lampu minyak menyala di kanan dan kiri bajingan andong. Dari kejauhan pijarnya naik turun mengikuti langkah kuda. Seonggok karung berisi jagung tergolek di bagian depan. Menjadi tumpuhan kaki lelaki sepuh yang memegang pedati.
“Maaf Ki, bolehkan saya menumpang ke Randublatung?” sapa Titin, begitu dokar melintas pelan di depannya.
“Monggo, Mbakyu,” jawab sais andong yang berbusana serba hitam. Wajahnya bersih namun sikapnya dingin. Ujung kain udeng di belakang kepalanya tampak luruh di pundak. Sesekali meliuk ditarikan angin hutan sisa dinihari.
Titin terperanjat dalam kekaguman mendalam. Wangi tubuh lelaki menelikung sudut hidungnya. Harum menawan. Khas aroma raga pejantan. Dipandangi punggung lelaki itu. Aura magis sesekali muncul dari tubuh lelaki itu. Setidaknya itu yang ditangkap mata perempuan bergelimang derita. Mata seorang Sutini.
“Aki dari mana?” sapa Titin yang duduk di jok kursi andong bagian belakang.
“Dari rumah teman di Blora, Mbakyu,” jawab sang lelaki tua. Dingin tak berintonasi. Tanpa menoleh.
“Maaf Ki, panjenengan siapa. Saya kok pernah bertemu Aki, entah dimana”
“Saya Ki Mangil, Mbakyu. Saya dari alas Wulung, Randublatung”
Jawaban itu cukup mengagetkan. Titin teringat Ramsono, lelaki yang menemaninya sepanjang tiga tahun sebelum meninggal ditembak Polisi Hutan disaat membalak jati di kawasan hutan Perhutani Randublatung. Meski suami keduanya itu tak memberinya keturunan, namun telah mewarisi sepetak tanah dan rumah papan. Di rumah itu ia bersandar sampai penghujung jaman. Dan di rumah itu pula sesekali Ladijo singgah. Melepas hasrat berahi membara.
Mungkinkah orang ini yang sering diceritakan almarhum suaminya? Tokoh legenda namun sesekali muncul bertemu orang yang dilanda kegersangan batin. Konon, tokoh ini adalah pendiri padepokan Wulung di era awal berdirinya kerajaan Mataran. Dari mulut ke mulut warga Randublatung dan sekitarnya meyakini, jika Ki Mangil masih hidup. Namun, siapapun tak pernah mengetahui keberadaannya. Terkecuali dia sendiri yang menginginkan kemunculannya.
“Maafkan saya Ki Mangil, saya tidak mengenali panjenengan”
“Apalah arti sebuah nama, Nduk. Kita hanya badan-badan bergelimang nafsu duniawiyah,” jawab Ki Mangil. Dia mulai memanggil Titin dengan sebutan Nduk. Sebutan akrab untuk seseorang yang seumuran anak atau cucu.
“Saya perempuan tidak baik, Ki. Saya telah melakukan banyak dosa,” kata Titin dalam nada bergetar. Entah apa yang menyebabkan, perempuan tegar menahan lara ini begitu tak bertenaga di hadapan Ki Mangil. Tubuhnya bergetar menahan tangis. Air bening pun mulai merembes dari sudut matanya.
“Siapa yang di alam fana ini yang mengaku bersih dari dosa. Tak ada orang yang tidak pernah melakukan dosa,” jawab Ki Mangil. “Kamu tidak perlu menangis menyesali yang telah terjadi, Nduk,” tambahnya tanpa menoleh.
Melakoni hidup di dunia, urai Ki Mangil, sekadar menjalani ketetapan yang digariskan Tuhan. Tuhan telah membuat skenario untuk mahluknya tanpa terkecuali. Dan itu merupakan kodrat yang tak bisa dipisahkan.
Bila seorang menjadi pelacur itu merupakan bentuk ketidakberdayaan dari kodrat. Jika seorang menjadi pemimpin juga telah menjadi garis dari tangan. Namun demikian, takdir yang tersurat tersebut masih bisa ditepis, karena Sang Khaliq memiliki sifat yang rahman dan rahim.
“Itu bisa sampeyan rubah, kalau sampeyan memiliki ilmu. Karena ilmulah, sampeyan bisa menemukan jatidiri sesungguhnya,” ungkap Ki Mangil. “Dan itu juga harus sampeyan sendiri yang mencarinya, Nduk.”
Dokar yang dikemudikan Ki Mangil terus berjalan. Naik turun terkadang berkelok memilih jalan yang rata. Angin malam menggoyang-goyang lampu minyak di kiri kanan bajingan yang melengkung di dekat leher kuda. Gemrincing klintingan kuda meningkahi suara binatang malam.
Titin tepekur sambil meremas jemarinya sendiri. Sendiri di bangku belakang. Sesekali mata beningnya melirik punggung Ki Mangil. Seekor kunang-kunang terbang mengikuti andong dari belakang. Tak lama kemudian menempel di punggung pria, yang menurut cerita dari mulut ke mulut, adalah tokoh yang kekal itu. Dikabarkan telah meninggal, namun tak sejengkalpun ditemukan tanah kuburnya. Bahkan selalu hadir disaat gundah gulana menyelinap di pelupuk mata. Hadir menemui orang-orang tertentu yang demikian sarat beban hidup.
“Biar saja Nduk, jangan kau usir kunang-kunang itu,” kata Ki mangil, sesaat sebelum tangan Titin menjumput binatang malam yang kerasan menempel di punggungnya. “Dia sama dengan kita, butuh ruang dan nafas untuk meneruskan perjalanan yang belum tuntas ini,” pungkasnya.
Titin tak mampu bersuara. Dia kian yakin jika pria beraura magis ini adalah tokoh yang diceritakan mendiang suaminya. Ya dia sangat yakin jika kusir andong yang membelakanginya adalah Ki Mangil alias Ki Ageng Wulung. Tokoh yang membubak alas Randublatung dan pendiri padepokan Wulung, di tahun-tahun awal berdirinya kerajaan Mataram di era Panembahan Senopati. Hingga kini pun dia menjadi tokoh sarat misteri. Namun masih sering muncul di sekitar hutan jati Bojonegoro, Blora dan Randublatung.
“Sampeyan tidak usah bercerita, aku sudah tahu,” tegas Ki Mangil memungkas celoteh Titin yang akan membuka kisah hidupnya. “Yang harus sampeyan pikirkan adalah hal yang di depan mata,” paparnya.
“Saya ingin bertobat, Ki. Ingin seperti orang-orang yang dekat dengan Tuhan. Namun juga ingin hidup cukup agar tak menjalni hidup seperti ini,” kata perempuan yang terlihat memucat wajahnya itu. “Saya sudah capek, Ki. Saya sudah tidak kuat lagi,” tambahnya. Air matanya pun tak terbendung. Tumpah di pangkuan.
“Untuk apa kau ingin mendekat Tuhan. Bukankah Tuhan sudah ada dalam dirimu?” sergah Ki Mangil. Tanpa menoleh . Dingin kalimat yang dia ucap, namun mampu mengkoyak batin perempuan yang sarat kepalsuan hidup.
Ki Mangil pun mengungkap, sebenarnya Tuhan selalu ada di dekat mahluk ciptaannya. Hanya saja manusia yang tak mau belajar untuk memahami makna ketuhanan dari dzat Tuhan. Setiap orang dititah memiliki kekuatan dan kelemahan. Namun sifat kelemahan itulah yang selama ini menjadi manusia lupa akan kodrat sebagai mahluk Tuhan.
Mereka lebih menuruti sifat sesat dari syetan. Karena syetan memang dicipta untuk mendampingi alam kemanusiaan. Dan itu bermula dari pikiran yang masih terbelenggu oleh nafsu duniawiyah. Nafsu tentang kenikmatan hidup di alam semu menjelang memasuki alam kekekalan hidup. Hidup sesungguhnya yang tak tercampuri hasrat. Kekal dan abadi sepanjang jaman.
“Memang sebelum masuk alam kelanggengan, kita butuh hidup. Namun bukan hidup yang menyengsarakan diri sendiri dan mahluk lain,” kata Ki Mangil.
Pria sepuh itu menengok ke belakang. Tatap matanya demikian teduh menelanjangi Titin yang tak berdaya. Larut dalam aura religi yang baru kali pertama dia rasakan. Ki Mangil tersenyum, selarik gigi putihnya masih kokoh menghiasi kebeningan wajahnya. Bening tanpa nafsu berahi, tak seperti sederet pria hidung belang yang pernah menjamah raganya. Dan titin pun hanya menunduk tak sanggup bertatap mata dengan lelaki penuh misteri itu.
Di alam fana ini banyak kitab suci. Ayat-ayat di dalamnya mengajarkan tentang kebersamaan. Saling mencintai dan saling menghormati pluralitas dan perbedaan. Karena kemajemukan adalah bagian dari sifat alam. Yang selalu tarik menarik antara hitam dan putih, antara perempuan dan laki-laki dan antara siang dan malam hari. Itu tak lebih dari sifat alam yang harus kita pilih selama ada di alam yang serba dilingkup kebimbangan.
“Rasa bimbang itu muncul, karena kita tak pernah mau mengenal ilmu. Ilmu sejati yang telah digariskan oleh keillahian Tuhan”
“Injih, Ki. Saya mendengarkan kata-kata Ki Mangil”
Harus kau ketakui, papar Ki Mangil, ilmu sejati tidak bisa diperoleh dengan sekadar membaca buku maupun kitab suci. Tak pula hanya mendengarkan dari halaqoh atau muhasabah dari kiai. Tak pula hanya mencatat dan menyimak khotbah para pendeta. Juga bukan sekadar mengikuti ceramah para Biksu dan Bante.
“Orang yang berilmu adalah manusia yang ngerti kahanan dan kenyataan hidup yang telah dilakoninya,” tegas Ki Mangil. “Dia bisa membebaskan diri dari pancaindra dan nafsu duniawi. Melangkah dengan hati yang berselimut sifat ketuhanan, yang arif dan menerima garis kodrati,” tambahnya.
Orang yang berilmu sejati, mampu melakoni hidup tanpa mata namun bisa melihat. Bisa mendengar tanpa telinga, bisa membau tanpa mencium, bisa merasa namun tak perlu meraba. Dan bisa menikmati hidup tanpa harus mengecap.
“Itu baru bisa sampeyan lakukan, kalau sampeyan lelaku. Nglakoni dengan penuh khusuk dan kesadaran yang tinggi,” ujar Ki Mangil. “Apakah sampeyan sanggup nglakoni, Nduk?” tambahnya dalam nada tanya.
“Saya mohon petunjuk Ki Mangil, kawulo manut dan pasrah saja, Ki”
“Itu bisa sampeyan dapatkan, kalau sampeyan mau belajar sungguh-sungguh. Dan kuncinya lagi, sampeyan kudu mampu mengalahkan hawa nafsu”
Sejatine ngelmu (ilmu), menurut Ki Mangil, terletak pada cipta diri pribadi. Sedangkan ajaran-ajaran dari kitab suci sebagai pengantar untuk mengenal tentang ke-Esa-an Tuhan. Jadi tak bisa hanya menghafat ayat dan dalil-dalil sudah layak disebut orang berilmu sejati.
“Sejati jatining ngelmu lungguhe cipta pribadi, pustining pangestiniro gineleng dadya sawiji,” kata Ki Mangil dalam bentuk lafal gending Jawa. “Hakikat ilmu sejati berada pada cipta pribadi, arah dan tujuannya menyatu didalamnya,” urainya.
Selain itu, tambah Ki Mangil, wijanging ngelmu dyatmika neng kahanan onang aning. Ilmu sejati lahir dikala keadaan sunyi dan jernih. Pada kondisi demikian manusia harus benar-benar bersih. Mereka harus suci dari hasrat dan nafsu diniawi.
Seluet mentari menerobos celah daun jati. Dokar yang dikemudikan Ki Mangil terus melangkah hingga perempatan jalan. Empat perempuan duduk di samping tumpukan daun jati yang terikat iratan bambu muda. Mereka adalah penjual daun jati di pasar Randublatung yang menunggu truk lewat.
“Sudah Nduk, sampeyan turun disini saja. Saya akan belok ke kanan, mau mampir dulu ke rumah kawan,” kata Ki Mangil. “Ingat dan lakoni pesan saya, nanti saya akan menemuimu lagi,” tambahnya.
“Injih Ki, saya akan mengingat semua pesan Ki Mangil,” jawab Titin seraya menuruni dokar.
Dan Ki Mangil pun, membelokkan arah dokarnya ke kanan jalan. Lelaki penuh misteri itu menghilang di kelokan jalan, dalam pandangan Titin yang masih termangu di perempatan jalan. Entah sampai kapan pria sarat legenda itu akan menemui perempuan itu lagi.
Titin tersenyum. Hatinya demikian adem. Entah aura apa yang menerobos ceruk batinnya. Paska perjumpaan dnegan Ki Mangil, kaki dan sekujur raganya menjadi ringan. Pikirannya jernih. Batinya merasa ingin dan selalu ingin mendekat Sang Khaliq. (*Rakai Pemanahan)
Sesekali tangan lelaki berjaket kuning mencolek pantat penjaja nikmat. Yang dicolek pun merajuk. Tak menolak sentuhan hangat lelaki beraroma arak. Dua pria lainnya hanya memainkan batang keretek. Kepalanya bergoyang-goyang mengikuti ritme tepukan ketipung. Larut dalam tembang lawas.
“Sebentar ya wong ayu, aku pipis dulu,” kata lelaki sambil berdiri. Dicoleknya pipi perempuan yang jika tersenyum memunculkan gigi putih kekuningan berhias gingsul itu.
“Jangan lama Mas, saya sudah enggak tahan,” jawab perempuan muda sambil meremas selakangan pria yang telah berumur itu. Dia tersenyum genit melangkah di depan dua pria yang tengah dibekap halusinasi yang dihantar alkohol. Ikatan tali kutang dia lepas, sambil membuka pintu kamar berdinding papan.
Sang lelaki gontai melangkah sambil melepas ikat pinggang kulit lapuk. Di dekat pohon waru samping kanan warung air seni tumpah. Sang lelaki memandang langit yang terang benderang. Kerlib bintang menari-nari mengikuti pusaran rembulan yang bundar.
Tak lama kemudian sudut ruang pun membara. Saling pagut dalam lembaran asmara usang. Bulan perempuan muda pun tertusuk ilalang. Lingkaran berahi pun kian menggeliat. Desah nafas tak berirama saling berkejaran pada titik persinggahan. Malam demikian panjang mencipta lelah ragawi di warung remang.
Di sudut jalan tak jauh dari warung, seorang perempuan paruh baya menunduk di bawah temaram lampu jalan. Rambutnya yang sebahu luruh di ujung dagu. Dihela asap rokok yang tinggal separo. Hatinya gundah. Rasa tercampakan menggelayuti batinnya.
“Saya sudah tidak muda lagi, sudah tak laku,” gumam Sutini, sang perempuan yang berdiri sendiri ditemani nyamuk nakal dalam dekapan sepi malam. Dihempaskan pantatnya yang tipis terbungkus celana jeans ke atas batu di tepi jalan. Dihisapnya dalam-dalam batangan rokok, hingga wajahnya memerah menahan nafas.
Pikirannya melayang. Menerobos dinding waktu. Teringat masa SMA di daerah yang melahirkannya di Sragen, Jawa Tengah. Teringat pula masa perkawinannya dengan pemuda yang tak bertanggung jawab. Lalu terbelah benang merah pernikahan yang meninggalkan seorang bocah lelaki. Belahan jiwanya yang kini meretas ilmu di bangku SD di desanya. Dirawat orangtuanya.
Dia tersenyum ketika mengingat kisah cintanya dengan sesama buruh di negeri yang dihuni mayoritas mata sipit. Ya hampir 10 tahun sang perempuan menjadi pembantu rumah tangga di negeri yang pernah dikuasai Khubelai Khan itu. Di sana pula dia menemukan komunitas pegiat sandiwara. Dan di komunitas itu pula dia mengenal sastra.
Sempat pula terlintas hasrat menjadi pemain sandiwara atau sastrawan jika balik ke tanah air. Namun, harapan itu tinggallah impian, apa yang dia dapat dalam serangkaian latihan dan teori perwatakan maupun perilaku, tak ada artinya sama sekali. Di tanah air popularitas bisa diperoleh asal memiliki koneksi. Itu pun berlaku bagi pemain tonil dari kampung ke kampung. Atau bahkan untuk menjadi seorang penulis cerpen picisan. Karena, susastra yang dia miliki belum genap.
Perempuan berkulit bening itu tercampakkan. Rangkaian realitas hidup menyudutkan dirinya di lorong gelap. Hingga terjerembab ke lorong pengap, setelah tertipu lelaki buaya yang meludeskan pundi-pundi yang dia kumpulkan selama memeras peluh di negeri orang.
Ujung baju birunya ditarikan angin, ketika truk sarat muatan melintas lalu berhenti sejarak sebelas depa dari dia berdiri di tepi jalan. Perempuan itu setengah berlari menyambut supir yang baru turun dari kabin. Mereka saling tersenyum. Saling memeluk melepas ribang yang terpendam sepekan terakhir.
“Titin, maafkan saya ya. Malam ini saya tergesa berangkat ke Semarang mengantar muatan,” kata supir truk begitu turun menemui Sutini yang sejak awal malam menunggu di tepi jalan. Pria asal Rembang, Jawa Tengah itu tak diam. Dipeluknya sang perempuan yang kecewa. “Ini saya ada rejeki sedikit, pakailah untuk kebutuhan sekolah anakmu,” pungkas Ladiyo, sang lelaki, sambil menyerahkan dua lembaran uang kertas berwarna kemerahan.
Jika tak sibuk, mereka selalu kencan atau sekadar ngobrol sampai pagi di salah satu warung remang. Tempat mangkal truk yang akan melintas ke wilayah Semarang dan Purwodadi.
“Hati-hati di jalan ya Mas Yoyok. Saya juga akan pulang kalau gitu,” kata Titin, sapaan akrab Sutini. Dipeluknya pria yang telah berkeluarga yang biasa disapa Yoyok itu. Mereka pun berpisah karena berbeda arah jalan.
****
DI simpang tiga dekat hutan jati Blora, Titin sendiri. Menunggu tumpangan ke Randublatung, wilayah Blora-Jawa Tengah. Hampir sejam dia sendiri dipeluk dingin tak bertepi. Didekap erat tas kain hijau daun untuk melepas dingin. Sendiri dalam kesendirian.
Suara andong sayup-sayup terdengar membelah ujung malam. Dua lampu minyak menyala di kanan dan kiri bajingan andong. Dari kejauhan pijarnya naik turun mengikuti langkah kuda. Seonggok karung berisi jagung tergolek di bagian depan. Menjadi tumpuhan kaki lelaki sepuh yang memegang pedati.
“Maaf Ki, bolehkan saya menumpang ke Randublatung?” sapa Titin, begitu dokar melintas pelan di depannya.
“Monggo, Mbakyu,” jawab sais andong yang berbusana serba hitam. Wajahnya bersih namun sikapnya dingin. Ujung kain udeng di belakang kepalanya tampak luruh di pundak. Sesekali meliuk ditarikan angin hutan sisa dinihari.
Titin terperanjat dalam kekaguman mendalam. Wangi tubuh lelaki menelikung sudut hidungnya. Harum menawan. Khas aroma raga pejantan. Dipandangi punggung lelaki itu. Aura magis sesekali muncul dari tubuh lelaki itu. Setidaknya itu yang ditangkap mata perempuan bergelimang derita. Mata seorang Sutini.
“Aki dari mana?” sapa Titin yang duduk di jok kursi andong bagian belakang.
“Dari rumah teman di Blora, Mbakyu,” jawab sang lelaki tua. Dingin tak berintonasi. Tanpa menoleh.
“Maaf Ki, panjenengan siapa. Saya kok pernah bertemu Aki, entah dimana”
“Saya Ki Mangil, Mbakyu. Saya dari alas Wulung, Randublatung”
Jawaban itu cukup mengagetkan. Titin teringat Ramsono, lelaki yang menemaninya sepanjang tiga tahun sebelum meninggal ditembak Polisi Hutan disaat membalak jati di kawasan hutan Perhutani Randublatung. Meski suami keduanya itu tak memberinya keturunan, namun telah mewarisi sepetak tanah dan rumah papan. Di rumah itu ia bersandar sampai penghujung jaman. Dan di rumah itu pula sesekali Ladijo singgah. Melepas hasrat berahi membara.
Mungkinkah orang ini yang sering diceritakan almarhum suaminya? Tokoh legenda namun sesekali muncul bertemu orang yang dilanda kegersangan batin. Konon, tokoh ini adalah pendiri padepokan Wulung di era awal berdirinya kerajaan Mataran. Dari mulut ke mulut warga Randublatung dan sekitarnya meyakini, jika Ki Mangil masih hidup. Namun, siapapun tak pernah mengetahui keberadaannya. Terkecuali dia sendiri yang menginginkan kemunculannya.
“Maafkan saya Ki Mangil, saya tidak mengenali panjenengan”
“Apalah arti sebuah nama, Nduk. Kita hanya badan-badan bergelimang nafsu duniawiyah,” jawab Ki Mangil. Dia mulai memanggil Titin dengan sebutan Nduk. Sebutan akrab untuk seseorang yang seumuran anak atau cucu.
“Saya perempuan tidak baik, Ki. Saya telah melakukan banyak dosa,” kata Titin dalam nada bergetar. Entah apa yang menyebabkan, perempuan tegar menahan lara ini begitu tak bertenaga di hadapan Ki Mangil. Tubuhnya bergetar menahan tangis. Air bening pun mulai merembes dari sudut matanya.
“Siapa yang di alam fana ini yang mengaku bersih dari dosa. Tak ada orang yang tidak pernah melakukan dosa,” jawab Ki Mangil. “Kamu tidak perlu menangis menyesali yang telah terjadi, Nduk,” tambahnya tanpa menoleh.
Melakoni hidup di dunia, urai Ki Mangil, sekadar menjalani ketetapan yang digariskan Tuhan. Tuhan telah membuat skenario untuk mahluknya tanpa terkecuali. Dan itu merupakan kodrat yang tak bisa dipisahkan.
Bila seorang menjadi pelacur itu merupakan bentuk ketidakberdayaan dari kodrat. Jika seorang menjadi pemimpin juga telah menjadi garis dari tangan. Namun demikian, takdir yang tersurat tersebut masih bisa ditepis, karena Sang Khaliq memiliki sifat yang rahman dan rahim.
“Itu bisa sampeyan rubah, kalau sampeyan memiliki ilmu. Karena ilmulah, sampeyan bisa menemukan jatidiri sesungguhnya,” ungkap Ki Mangil. “Dan itu juga harus sampeyan sendiri yang mencarinya, Nduk.”
Dokar yang dikemudikan Ki Mangil terus berjalan. Naik turun terkadang berkelok memilih jalan yang rata. Angin malam menggoyang-goyang lampu minyak di kiri kanan bajingan yang melengkung di dekat leher kuda. Gemrincing klintingan kuda meningkahi suara binatang malam.
Titin tepekur sambil meremas jemarinya sendiri. Sendiri di bangku belakang. Sesekali mata beningnya melirik punggung Ki Mangil. Seekor kunang-kunang terbang mengikuti andong dari belakang. Tak lama kemudian menempel di punggung pria, yang menurut cerita dari mulut ke mulut, adalah tokoh yang kekal itu. Dikabarkan telah meninggal, namun tak sejengkalpun ditemukan tanah kuburnya. Bahkan selalu hadir disaat gundah gulana menyelinap di pelupuk mata. Hadir menemui orang-orang tertentu yang demikian sarat beban hidup.
“Biar saja Nduk, jangan kau usir kunang-kunang itu,” kata Ki mangil, sesaat sebelum tangan Titin menjumput binatang malam yang kerasan menempel di punggungnya. “Dia sama dengan kita, butuh ruang dan nafas untuk meneruskan perjalanan yang belum tuntas ini,” pungkasnya.
Titin tak mampu bersuara. Dia kian yakin jika pria beraura magis ini adalah tokoh yang diceritakan mendiang suaminya. Ya dia sangat yakin jika kusir andong yang membelakanginya adalah Ki Mangil alias Ki Ageng Wulung. Tokoh yang membubak alas Randublatung dan pendiri padepokan Wulung, di tahun-tahun awal berdirinya kerajaan Mataram di era Panembahan Senopati. Hingga kini pun dia menjadi tokoh sarat misteri. Namun masih sering muncul di sekitar hutan jati Bojonegoro, Blora dan Randublatung.
“Sampeyan tidak usah bercerita, aku sudah tahu,” tegas Ki Mangil memungkas celoteh Titin yang akan membuka kisah hidupnya. “Yang harus sampeyan pikirkan adalah hal yang di depan mata,” paparnya.
“Saya ingin bertobat, Ki. Ingin seperti orang-orang yang dekat dengan Tuhan. Namun juga ingin hidup cukup agar tak menjalni hidup seperti ini,” kata perempuan yang terlihat memucat wajahnya itu. “Saya sudah capek, Ki. Saya sudah tidak kuat lagi,” tambahnya. Air matanya pun tak terbendung. Tumpah di pangkuan.
“Untuk apa kau ingin mendekat Tuhan. Bukankah Tuhan sudah ada dalam dirimu?” sergah Ki Mangil. Tanpa menoleh . Dingin kalimat yang dia ucap, namun mampu mengkoyak batin perempuan yang sarat kepalsuan hidup.
Ki Mangil pun mengungkap, sebenarnya Tuhan selalu ada di dekat mahluk ciptaannya. Hanya saja manusia yang tak mau belajar untuk memahami makna ketuhanan dari dzat Tuhan. Setiap orang dititah memiliki kekuatan dan kelemahan. Namun sifat kelemahan itulah yang selama ini menjadi manusia lupa akan kodrat sebagai mahluk Tuhan.
Mereka lebih menuruti sifat sesat dari syetan. Karena syetan memang dicipta untuk mendampingi alam kemanusiaan. Dan itu bermula dari pikiran yang masih terbelenggu oleh nafsu duniawiyah. Nafsu tentang kenikmatan hidup di alam semu menjelang memasuki alam kekekalan hidup. Hidup sesungguhnya yang tak tercampuri hasrat. Kekal dan abadi sepanjang jaman.
“Memang sebelum masuk alam kelanggengan, kita butuh hidup. Namun bukan hidup yang menyengsarakan diri sendiri dan mahluk lain,” kata Ki Mangil.
Pria sepuh itu menengok ke belakang. Tatap matanya demikian teduh menelanjangi Titin yang tak berdaya. Larut dalam aura religi yang baru kali pertama dia rasakan. Ki Mangil tersenyum, selarik gigi putihnya masih kokoh menghiasi kebeningan wajahnya. Bening tanpa nafsu berahi, tak seperti sederet pria hidung belang yang pernah menjamah raganya. Dan titin pun hanya menunduk tak sanggup bertatap mata dengan lelaki penuh misteri itu.
Di alam fana ini banyak kitab suci. Ayat-ayat di dalamnya mengajarkan tentang kebersamaan. Saling mencintai dan saling menghormati pluralitas dan perbedaan. Karena kemajemukan adalah bagian dari sifat alam. Yang selalu tarik menarik antara hitam dan putih, antara perempuan dan laki-laki dan antara siang dan malam hari. Itu tak lebih dari sifat alam yang harus kita pilih selama ada di alam yang serba dilingkup kebimbangan.
“Rasa bimbang itu muncul, karena kita tak pernah mau mengenal ilmu. Ilmu sejati yang telah digariskan oleh keillahian Tuhan”
“Injih, Ki. Saya mendengarkan kata-kata Ki Mangil”
Harus kau ketakui, papar Ki Mangil, ilmu sejati tidak bisa diperoleh dengan sekadar membaca buku maupun kitab suci. Tak pula hanya mendengarkan dari halaqoh atau muhasabah dari kiai. Tak pula hanya mencatat dan menyimak khotbah para pendeta. Juga bukan sekadar mengikuti ceramah para Biksu dan Bante.
“Orang yang berilmu adalah manusia yang ngerti kahanan dan kenyataan hidup yang telah dilakoninya,” tegas Ki Mangil. “Dia bisa membebaskan diri dari pancaindra dan nafsu duniawi. Melangkah dengan hati yang berselimut sifat ketuhanan, yang arif dan menerima garis kodrati,” tambahnya.
Orang yang berilmu sejati, mampu melakoni hidup tanpa mata namun bisa melihat. Bisa mendengar tanpa telinga, bisa membau tanpa mencium, bisa merasa namun tak perlu meraba. Dan bisa menikmati hidup tanpa harus mengecap.
“Itu baru bisa sampeyan lakukan, kalau sampeyan lelaku. Nglakoni dengan penuh khusuk dan kesadaran yang tinggi,” ujar Ki Mangil. “Apakah sampeyan sanggup nglakoni, Nduk?” tambahnya dalam nada tanya.
“Saya mohon petunjuk Ki Mangil, kawulo manut dan pasrah saja, Ki”
“Itu bisa sampeyan dapatkan, kalau sampeyan mau belajar sungguh-sungguh. Dan kuncinya lagi, sampeyan kudu mampu mengalahkan hawa nafsu”
Sejatine ngelmu (ilmu), menurut Ki Mangil, terletak pada cipta diri pribadi. Sedangkan ajaran-ajaran dari kitab suci sebagai pengantar untuk mengenal tentang ke-Esa-an Tuhan. Jadi tak bisa hanya menghafat ayat dan dalil-dalil sudah layak disebut orang berilmu sejati.
“Sejati jatining ngelmu lungguhe cipta pribadi, pustining pangestiniro gineleng dadya sawiji,” kata Ki Mangil dalam bentuk lafal gending Jawa. “Hakikat ilmu sejati berada pada cipta pribadi, arah dan tujuannya menyatu didalamnya,” urainya.
Selain itu, tambah Ki Mangil, wijanging ngelmu dyatmika neng kahanan onang aning. Ilmu sejati lahir dikala keadaan sunyi dan jernih. Pada kondisi demikian manusia harus benar-benar bersih. Mereka harus suci dari hasrat dan nafsu diniawi.
Seluet mentari menerobos celah daun jati. Dokar yang dikemudikan Ki Mangil terus melangkah hingga perempatan jalan. Empat perempuan duduk di samping tumpukan daun jati yang terikat iratan bambu muda. Mereka adalah penjual daun jati di pasar Randublatung yang menunggu truk lewat.
“Sudah Nduk, sampeyan turun disini saja. Saya akan belok ke kanan, mau mampir dulu ke rumah kawan,” kata Ki Mangil. “Ingat dan lakoni pesan saya, nanti saya akan menemuimu lagi,” tambahnya.
“Injih Ki, saya akan mengingat semua pesan Ki Mangil,” jawab Titin seraya menuruni dokar.
Dan Ki Mangil pun, membelokkan arah dokarnya ke kanan jalan. Lelaki penuh misteri itu menghilang di kelokan jalan, dalam pandangan Titin yang masih termangu di perempatan jalan. Entah sampai kapan pria sarat legenda itu akan menemui perempuan itu lagi.
Titin tersenyum. Hatinya demikian adem. Entah aura apa yang menerobos ceruk batinnya. Paska perjumpaan dnegan Ki Mangil, kaki dan sekujur raganya menjadi ringan. Pikirannya jernih. Batinya merasa ingin dan selalu ingin mendekat Sang Khaliq. (*Rakai Pemanahan)
Posting Komentar