Oleh : Djoko Saryono
ADA dua buah dunia yang sudah banyak dikenal orang. Yang pertama adalah dunia sufisme atau tasawuf, yaitu dunia mistik(isme) Islam, sedang yang kedua adalah dunia sastra, yaitu dunia estetis-literer. Meskipun berbeda, kedua dunia ini saling menyapa, tidak saling memusuhi. Malahan kedua dunia ini senantiasa menjalin sebuah pertemuan sehingga jalan keduanya selalu dapat diketahui secara jelas. Bagaimana pertemuan dan jalinan dua dunia ini? Tulisan ini mencoba menelusurinya. Pertamatama dibahas ihwal sufisme secara ringkas, kemudian baru pertemuan antara dunia sufisme dan dunia sastra. Terakhir dibahas implikasinya dalam kajian sastra baik sastra klasik maupun sastra modern.
Sufisme dan Corak Pandangannya
Konsep Sufisme
Mistisisme merupakan gejala lumrah dalam berbagai budaya, filsafat, dan bahkan agama. Dalam berbagai agama, mistisisme selalu dikenal dan diakui keberadaannya. Dalam Islam pun demikian. Malahan dalam Islam mistisisme dianggap sebagai salah satu pendekatan untuk memahami agama Islam. A. Mukti Ali (1991:3) mengemukakan bahwa dalam Islam dikenal tiga pendekatan utama untuk memahami ajaran-ajaran agama Islam, yaitu (i) pendekatan naqli (tradisional), (ii) pendekatan aqli (rasional), dan (iii) pendekatan kasyi (mistis atau spiritual). Sementara itu, Kautsar Azhari Noer (2003:20-21), menyatakan bahwa Islam dapat dipahami melalui jalan syari’ah dan thariqah; jalan pertama mengedepankan dimensi eksoteris Islam yang berurusan dengan aspek lahiriah, sedangkan jalan kedua mengedepankan dimensi esoteris Islam yang berurusan dengan aspek batiniah. Jalan kedua itu lazim disebut jalan spiritual atau mistis – yang bakal membimbing kita ke tataran haqiqah. Ini menunjukkan bahwa mistisisme dapat dikatakan sebagai salah satu jalan untuk memahami agama Islam. Tak heran, kemudian timbullah mistisisme Islam.
Oleh kaum orientalis atau islamisis Barat, mistisisme Islam dirujuk dengan istilah sufisme. Kalangan Islam sendiri lebih suka menyebutnya tasawuf (altasauf). Kedua istilah ini relatif populer dan berimbang pemakaiannya. Dalam tulisan ini dipilih dan digunakan istilah sufisme untuk menunjuk mistisisme Islam. Alasannya, sama halnya dengan istilah tasawuf, sufisme merupakan istilah yang secara khas-khusus hanya dipakai untuk menunjuk mistisisme Islam. Mistisisme di luar Islam tidak (belum) pernah dirujuk dengan istilah sufisme (Nasution, 1983:56; 1986:71). Adapun istilah sufisme ini merupakan bentukan dari kata sufi dan isme (sufi dan ism). Menurut sejarah, kata sufi (al-sufi) pertama kali dipakai oleh Abu Hasyim Al-Kufi, seorang zahid atau asketis (ascetic). Namun, secara pasti etimologi kata sufi ini tidak begitu jelas. Orang berpendapat bermacam-macam mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa kata sufi berasal dari ahl al-suffah (orang yang mengikuti hijrah Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke Madinah), saf (pertama), sufi (orang yang disucikan, suci). Kemudian ada yang mengatakan berasal dari sophos (kata Yunani untuki hikmat) dan suf (kain yang dibuatdari bulu wol). Di antara berbagai pendapat ini, pendapat terakhir paling banyak diterima. Nasution (1986:71) menegaskan sebagai berikut.
Teori yang paling banyak diterima adalah bahwa istilah itu berasal dari kata suf, yaitu wol. Yang dimaksud bukanlah wol dalam arti orang-orang kaya, tetapi wol primitif dan kasar yang dipakai zaman dulu oleh orang-orang miskin di Timur Tengah.
Sebagai
suatu istilah baku, pengertian sufisme bermacam-macam dan sangat
banyak, bahkan terkadang tampak saling bertentangan (paradoksal). Sampai
sekarang, sudah ada beratus-ratus pengertian sufisme yang dikemukakan
baik oleh para ahli maupun sufi. Hal ini terjadi karena, pertama,
sufisme atau mistisisme Islam telah menjadi semacam milik bersama
berbagai agama, budaya, dan filsafat dalam berbagai kurun waktu
sejarahnya, tidak terbatas milik Islam akibat perjumpaan perjumpaannya
dengan berbagai gama, budaya, dan filsafat (al-Taftazani, 1885:1; Azhari
Noer, 2003:30-35); dan, kedua, sejarah sufisme sudah demikian
panjang dengan sekian banyak tokoh utama dan mazhab – yang masing-masing
berusaha memberikan pengertian sufisme sekaligus mazhab. Selain itu,
karena gejalanya sangat luas dan wujudnya begitu besar sehingga tidak
ada seorang ahli pun yang mampu menggambarkannya secara lengkap dan utuh
(Schimmel, 1986:1; Lings, 1987:2). Setiap usaha penggambaran sufisme
secara lengkap dan utuh niscaya akan selalu menemui kegagalan atau
"bocor". Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada satupun pengertian sufisme
yang memadai yang bisa diterima oleh semua pihak.
Meskipun demikian, tampaknya disepakati bahwa sufisme merupakan mistisisme Islam untuk pembersihan jiwa dan penyucian batin guna mencapai kekekalan dan menjadi wahana menuju Al-Haq, Tuhan Yang Mahabenar. Ia merupakan jalan spiritual memahami intisari agama Islam guna menuju atau mencapai Realitas Terdalam (Ultime Reality), yakni Tuhan. Begitu juga disepakati bahwa sufisme (i) memiliki ciri khas peningkatan kualitas moral (akhlak) manusia, (ii) pemenuhan fana (sirna) dalam Realitas Mutlak atau Realitas Absolut atau Tradisi Primordial, (iii) menggunakan pengetahuan intuitif-imajinatif-metaforis secara langsung berpangkal pada kecerdasan hati, (iv) memfokuskan diri pada ihwal kedamaian-ketenangan-ketenteraman-kebahagiaan yang dilambari kesejatian dan keotentikan cinta, dan (v) lazim menggunakan lambang-lambang khas-khusus dalam ungkapan-ungkapan dan bahasa pada umumnya (al-Taftazani,1985:4-5; Nasr, 1997). Selain itu, menurut Nasution (1983:56;1986: 71), tujuannya adalah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan atau Realitas Absolut sehingga disadari bahwa seseorang senantiasa berada di hadirat Tuhan atau seseorang selalu menyadari kehadiran
Tuhan. Lebih jauh, Nasution (1983:56) menegaskan sebagai berikut.
Timbulnya Sufisme
Gampang-gampang susah melacak asal-muasal timbulnya sufisme. Ini akibat faktor sejarah, sosial politik, geografis, dan geokultural serta religiokultural. Namun, secara ringkas dapat dikatakan bahwa hingga sekarang, terdapat beraneka pandangan mengenai timbulnya sufisme. Kendati demikian, secara dikotomis dapat disebut dua macam pandangan mengenai timbulnya sufisme. Pandangan pertama mengatakan bahwa sufisme timbul dalam Islam akibat pengaruh dari sumber-sumber di luar Islam. Pandangan kedua mengatakan bahwa sufisme timbul dari sumber-sumber agama Islam sendiri.
Pandangan pertama, seperti dijelaskan oleh Nasution (1983:58:1986:72), berpendapat bahwa sufisme tidak asli Islam, tidak orisinal dan otentik dari Islam, tetapi berasal dari agama Kristen, filsafat mistik Pythagoras, filsafat emanasi Plotinus, ajaran Budha dan Hinduisme. Lebih lanjut, perihal asal-usul sufisme, dikemukakan oleh Nasution sebagai berikut.
Itulah sebabnya, kemudian muncul atau timbul pandangan yang kedua yang mengatakan bahwa sufisme timbul secara orisinal dan otentik atau genuine dari napas dan semangat (ajaran-ajaran) Islam sendiri. Nasution termasuk golongan orang yang berpendapat seperti ini. Dia menegaskan bahwa “bagaimanapun, paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasar mistisisme, terdapat dalam al-Qur’an dan Hadist”(1983-:59;1986:72). Martin Lings (1987:5-6) berpendapat serupa dengan menegaskan sebagai berikut.
Bila dicermati, memang, dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang bisa diduga, malah dipastikan menjadi sumber inspirasi lahir dan berkembangnya sufisme karena ayat-ayat itu menggambarkan secara gamblang kedekatan hubungan manusia dengan Allah. Hal ini bisa disimak, misalnya, dalam ayat 115 dan 186 surat al-Baqarah, kemudian ayat 16 surat al-Qaf, dan ayat 17 surat al-Anfal. Dalam al-Baqarah ayat 115 dikatakan sebagai berikut.
Selain daripada itu, berbagai hadis juga ikut menunjang ayat-ayat di atas. Misalnya, Nabi mengatakan sebagai berikut.
Nurcholis Madjid (1992:26) – salah seorang pemikir Islam terkemuka kita – menambahkan bahwa pengalaman-pengalaman spiritual Nabi Muhammad Saw sendiri mendorong timbulnya olah ruhani yang disebut sufisme. Dua kali pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan malaikat Jibril dan Allah – menurut Nurcholis – merupakan puncak tertinggi pengalaman ruhani bagi kaum sufi. Yang pertama ialah pengalaman bertemu malaikat Jibril ketika beliau menerima wahyu pertama di Gua Hira’, di atas Bukit Cahaya (Jabal Nur). Yang kedua ialah pengalaman beliau menjalani perjalanan malam (isra’) dan kemudian melesat-melejit tiada tepernamai naik ke langit (mi’raj) bertemu Allah yang terkenal dengan nama Isra’ Mi’raj. Kaum sufi, menurut Nurcholish, berusaha meniru pengalaman-pengalaman Nabi ini. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa sufisme sebenarnya sudah ada dengan sendirinya atau melekat (inhern) dalam Islam, timbul dari ruh Islam. Jadi, ibaratnya, sufisme adalah anak kandung Islam, bukan sekadar anak berian dan atau anak asuh Islam. (*bersambung)
Meskipun demikian, tampaknya disepakati bahwa sufisme merupakan mistisisme Islam untuk pembersihan jiwa dan penyucian batin guna mencapai kekekalan dan menjadi wahana menuju Al-Haq, Tuhan Yang Mahabenar. Ia merupakan jalan spiritual memahami intisari agama Islam guna menuju atau mencapai Realitas Terdalam (Ultime Reality), yakni Tuhan. Begitu juga disepakati bahwa sufisme (i) memiliki ciri khas peningkatan kualitas moral (akhlak) manusia, (ii) pemenuhan fana (sirna) dalam Realitas Mutlak atau Realitas Absolut atau Tradisi Primordial, (iii) menggunakan pengetahuan intuitif-imajinatif-metaforis secara langsung berpangkal pada kecerdasan hati, (iv) memfokuskan diri pada ihwal kedamaian-ketenangan-ketenteraman-kebahagiaan yang dilambari kesejatian dan keotentikan cinta, dan (v) lazim menggunakan lambang-lambang khas-khusus dalam ungkapan-ungkapan dan bahasa pada umumnya (al-Taftazani,1985:4-5; Nasr, 1997). Selain itu, menurut Nasution (1983:56;1986: 71), tujuannya adalah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan atau Realitas Absolut sehingga disadari bahwa seseorang senantiasa berada di hadirat Tuhan atau seseorang selalu menyadari kehadiran
Tuhan. Lebih jauh, Nasution (1983:56) menegaskan sebagai berikut.
Intisari dari mistisisme, termasuk dalam sufisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad, bersatu dengan Tuhan.Jadi, kesadaran sekaligus kemenerimaan manusia akan kemahahadiran, keserbahadiran, dan keselaluhadiran Tuhan, Realitas Absolut, Realitas Terdalam, atau Wujud Hakiki kapanpun dan dimanapun menjadi saripati dan puncak sufisme.
Timbulnya Sufisme
Gampang-gampang susah melacak asal-muasal timbulnya sufisme. Ini akibat faktor sejarah, sosial politik, geografis, dan geokultural serta religiokultural. Namun, secara ringkas dapat dikatakan bahwa hingga sekarang, terdapat beraneka pandangan mengenai timbulnya sufisme. Kendati demikian, secara dikotomis dapat disebut dua macam pandangan mengenai timbulnya sufisme. Pandangan pertama mengatakan bahwa sufisme timbul dalam Islam akibat pengaruh dari sumber-sumber di luar Islam. Pandangan kedua mengatakan bahwa sufisme timbul dari sumber-sumber agama Islam sendiri.
Pandangan pertama, seperti dijelaskan oleh Nasution (1983:58:1986:72), berpendapat bahwa sufisme tidak asli Islam, tidak orisinal dan otentik dari Islam, tetapi berasal dari agama Kristen, filsafat mistik Pythagoras, filsafat emanasi Plotinus, ajaran Budha dan Hinduisme. Lebih lanjut, perihal asal-usul sufisme, dikemukakan oleh Nasution sebagai berikut.
- Pengaruh Kristen dengan paham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi penunjuk jalan bagi kafilah yang lalu, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi para musafir kelaparan. Dikatakan bahwa zahid dan sufi Islam meninggalkan dunia,memilih hidup sederhana dan mengasing-kan diri, adalah atas pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen ini.
- Filsafat mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa ruh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi ruh yang sebenarnya berada di alam samawi. Untuk memperoleh hidup senang di alam samawi, manusia harus membersihkan ruh dengan meninggalkan hidup materi, yaitu zhud atau zuhud, untuk selanjutnya terus-menerus berkontemplasi. Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi inilah menurut pendapat sebahagian orang yang mempengaruhi timbulnya zhud dan sufisme dalam Islam.
- Filsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Mahaesa. Ruh berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan. Tetapi, dengan masuknya ke alam materi, ruh menjadi kotor, dan untuk dapat kembali perlu dibersihkan. Penyucian ruh dilakukan dengan cara meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kalau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi di dalam Islam.
- Ajaran Budha dengan paham nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan harus memasuki hidup kontemplasi. Paham fana yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan paham nirwana.
- Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.
Itulah sebabnya, kemudian muncul atau timbul pandangan yang kedua yang mengatakan bahwa sufisme timbul secara orisinal dan otentik atau genuine dari napas dan semangat (ajaran-ajaran) Islam sendiri. Nasution termasuk golongan orang yang berpendapat seperti ini. Dia menegaskan bahwa “bagaimanapun, paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasar mistisisme, terdapat dalam al-Qur’an dan Hadist”(1983-:59;1986:72). Martin Lings (1987:5-6) berpendapat serupa dengan menegaskan sebagai berikut.
Tasauf (istilah lain sufisme – pen.) tak lain daripada mistisisme Islami, yang berarti ia adalah arus pusat dan paling kuat dari gelombang pasang yang merupakan Wahyu Islam. Dari sini jelaslah bahwa upaya menegaskannya sama sekali bukan suatu perendahan, seperti yang terlintas dalam pikiran. Ini kebalikan dari pernyataan bahwa tasauf itu otentik dan sekaligus efektual. Akan halnya ribuan pria dan wanita di dunia Barat modern, yang sementara mengaku diri mereka sufi tetap bersikeras bahwa sufisme bebas dari satu agama tertentu dan selamanya maujud, tanpa disadari mereka telah merendahkannya – jika gambaran elemental gambaran elemental serupa boleh digunakan-menjadi jaringan lalu lintas air buatan di pedalaman. Tak mereka sadari bahwa dengan melepaskan tasauf dari kekhasannya dan dengan demikian juga keasliannya, mereka telah merenggutnya pula dari kekuatannya. Bagaimanapun juga lalu lintas air itu memang ada. Sebagai misal, semenjak Islam memantapkan dirinya di anak benua India, telah berlangsung pertukaran intelektual antara kaum sufi dan kaum brahin. Dan tak jarang pula tasauf memungut beberapa istilah serta pemikiran dari Neoplatonisme. Tetapi, landasan-landasan tasauf beserta amalan yang mengikutinya terpancang teguh, jauh sebelum ia membuka kemungkinan bagi pengaruh-pengaruh mistis luar dan sejalan memperkenalkan unsur-unsur tak Islaminya. Dan ketika akhirnya terasa, pengaruhpengaruh semacam ini hanya menyentuh permukaan belaka. Dengan kata lain, karena sepenuhnya bergantung pada satu Wahyu, tasauf terlepas sama sekali dari apapun lainnya. Tapi sementara serba mandiri ia dapat, jika waktu dan tempat mengizinkan, memetik kembang-kembang dari taman di luar miliknya. Nabi umat Islam pun bersabda: Carilah ilmu kendati di daratan Cina sekalipun.Pendapat Lings ini mengimplikasikan bahwa kelima pandangan di atas, yaitu ajaran Kristen, filsafat mistik Phytagoras, filsafat emanasi Plotinus, ajaran Budha dan Hinduisme, hanya menyentuh bagian permukaan sufisme atau memperkaya aspek-aspek formatif sufisme. Sejatinya, sufisme tumbuh dan berkembang dari tenaga endogen atau internal Islam, kemudian berdialog dan berinteraksi dengan pandangan-pandangan di luar Islam. Dalam sejarah, bukti mengenai hal ini memang cukup banyak dan jelas (simak Azhari Noer, 2003:3-0-60). Tenaga endogen atau internal itu ialah ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis.
Bila dicermati, memang, dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang bisa diduga, malah dipastikan menjadi sumber inspirasi lahir dan berkembangnya sufisme karena ayat-ayat itu menggambarkan secara gamblang kedekatan hubungan manusia dengan Allah. Hal ini bisa disimak, misalnya, dalam ayat 115 dan 186 surat al-Baqarah, kemudian ayat 16 surat al-Qaf, dan ayat 17 surat al-Anfal. Dalam al-Baqarah ayat 115 dikatakan sebagai berikut.
Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling, di situ (kamu jumpai) wajahDalam surat yang sama ayat 186 dikatakan sebagai berikut.
Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu diiri-Ku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku.Kemudian ayat 16 surat al-Qaf mengatakan sebagai berikut.
Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri.Selanjutnya, dikatakan dalam ayat 17 surat al-Anfal sebagai berikut.
Bukankah kamu, tapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukanlah engkau yang melontar ketika engkau melontar, tetapi Allah yang melontar.Dua ayat surat al-Baqarah di atas menyiratkan betapa manusia begitu dekat nyaris tanpa jarak dengan Tuhan. Kemudian hal ini dipertegas dalam surat al-Qaf ayat 16 bahwa Tuhan tidak di luar (diri) manusia, tetapi di dalam lubuk diri manusia. Ayat 17 surat al-Anfal memantapkan penegasan ini bahwa manusia dan Tuhan sebenarnya satu secara ontologis. Perbuatan atau kelakuan manusia sesungguhnya perbuatan Tuhan.
Selain daripada itu, berbagai hadis juga ikut menunjang ayat-ayat di atas. Misalnya, Nabi mengatakan sebagai berikut.
Siapa yang kenal pada dirinya pasti kenal padaTuhan.Dalam sebuah hadis qudsi Nabi juga mengatakan berikut ini.
Aku pada mulanya adalah harta tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan mereka pun kenal pada-Ku melalui diri-Ku.Hadis-hadis sejenis masih bertebaran dalam khazanah hadis yang telah dipandang sahih. Dengan dua hadis di atas sudah tampak tegas bahwa Tuhan dan makhluk adalah satu rupa beda entitas karena melalui makhluklah Tuhan dapat dikenal. Pemikiran ini diduga telah banyak mempengaruhi sufisme.
Nurcholis Madjid (1992:26) – salah seorang pemikir Islam terkemuka kita – menambahkan bahwa pengalaman-pengalaman spiritual Nabi Muhammad Saw sendiri mendorong timbulnya olah ruhani yang disebut sufisme. Dua kali pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan malaikat Jibril dan Allah – menurut Nurcholis – merupakan puncak tertinggi pengalaman ruhani bagi kaum sufi. Yang pertama ialah pengalaman bertemu malaikat Jibril ketika beliau menerima wahyu pertama di Gua Hira’, di atas Bukit Cahaya (Jabal Nur). Yang kedua ialah pengalaman beliau menjalani perjalanan malam (isra’) dan kemudian melesat-melejit tiada tepernamai naik ke langit (mi’raj) bertemu Allah yang terkenal dengan nama Isra’ Mi’raj. Kaum sufi, menurut Nurcholish, berusaha meniru pengalaman-pengalaman Nabi ini. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa sufisme sebenarnya sudah ada dengan sendirinya atau melekat (inhern) dalam Islam, timbul dari ruh Islam. Jadi, ibaratnya, sufisme adalah anak kandung Islam, bukan sekadar anak berian dan atau anak asuh Islam. (*bersambung)
Posting Komentar