Headlines News :
Home » » Arus Balik

Arus Balik

Written By Kang Naryo on Minggu, 16 Mei 2010 | 13.43

ARUS BALIK merupakan sebuah epos pasca kejayaan nusantara di awal abad 16 dengan latar belakang masuknya Islam ke tanah Jawa. Kegandrungannya terhadap sejarah ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh teori sederhana Maxim Gorky: "The people must know their history" (rakyat mesti tahu sejarahnya). Pengaruh lain bisa disebutkan datang dari aliran realisme, terutama realisme sosialis. Bagi Pramoedya, salah satu watak realisme sosialis adalah "terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri.

Sinopsis :

Novel ini berlatar abad ke-16 dan Pram kembali menokohkan orang biasa di dalamnya; Wiranggaleng, pemuda desa, juara gulat kadipaten Tuban.


Wiranggaleng dikisahkan punya pacar cantik, juara tari, bernama Idayu. Kedua anak muda desa Awis Krambil ini terlempar ke tengah hiruk-pikuk kekuasaan ketika Adipati Tuban, Wilwatikta, mengangkat Galeng sebagai syahbandar muda Tuban. Galeng dan Idayu menetap di Tuban, padahal mereka cuma bercita-cita punya huma di desa.


Tuban, kota pelabuhan yang telah seribu tahun dikunjungi kapal-kapal dari barat, timur, dan utara. Para pedagang membawa rempah-rempah dari Maluku dan cendana dari Nusa Tenggara Barat, lalu mengambil beras, gula, garam, dan minyak tumbuhan dari bumi Tuban. Dulu Tuban taklukan Majapahit, tapi setelah kerajaan itu runtuh akibat intrik dan perang saudara, Tuban merdeka, bahkan meluaskan wilayah sampai Jepara. Konon, Wilwatikta, ikut bersekongkol menjatuhkan Majapahit. Dia keturunan Ranggalawe, gubernur Tuban yang memberontak pada Majapahit.


Pada 1511 terjadi perubahan arus modal dan perniagaan di Nusantara. Malaka, bandar besar di Asia, jatuh ke tangan Portugis. Malaka adalah wilayah strategis di Semenanjung yang pernah dikuasai dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit. Kejatuhan Malaka bukan sekadar hilangnya sebuah wilayah, tapi menandai perubahan arus perdagangan dunia di Asia. Kapal-kapal niaga dari Arab, Eropa, dan India tak berani singgah di bandar itu lagi, menghindari Portugis. Ini berarti ancaman juga buat Tuban. Kapal-kapal dagang asing tak berlabuh lagi di pelabuhan Tuban. Lalu-lintas dagang mereka telah diputus Portugis di Malaka.


Dua tahun setelah Malaka jatuh, Adipati Unus, putra Raden Fatah dari Demak, mencoba merebut bandar tersebut dengan mempersatukan Nusantara. Wilwatikta menolak membantu, karena Adipati Unus sebelumnya telah merampas Jepara dan menjadikan kota pelabuhan itu wilayah taklukan Demak. Adipati Tuban sengaja memperlambat kiriman pasukannya. Ketika gabungan pasukan Tuban-Banten datang, dua puluh ribu tentara laut Aceh-Jambi-Riau-Demak-Jepara yang dipimpin Adipati Unus telah kalah dihajar meriam Portugis di perairan Semenanjung itu.


Wiranggaleng, kepala gugusan Tuban, tak habis pikir. Penyebab kekalahan itu masih samar baginya. Namun, lama-kelamaan dia mengerti. Konflik-konflik internal di Nusantara telah memecah-belah kekuatan mereka. Aceh disebutkan ingin memiliki Malaka untuk diri-sendiri. Tuban mengingkari janji lantaran kasus Jepara, terlambat lima hari sampai di Semenanjung. Kekalahan Adipati Unus justru menerbitkan rasa kagum Wiranggaleng, pemuda desa yang lugu, buta politik, yang semata-mata orang suruhan penguasa Tuban.


Adipati Unus satu-satunya orang yang berani berusaha mempersatukan kekuatan melawan Portugis, dan berani melaksanakan penyerangan. Kekalahan yang terjadi bukan kekalahan perang, tetapi kegagalan dalam mengatur kekuatan sendiri. Kemudian ia menyimpulkan: armada gabungan itu semestinya tidak kalah. (hlm. 206)


Arus Balik mengungkap seputar intrik dan permainan politik yang berujung pada runtuhnya kejayaan Tuban. Letupan-letupan konflik agama lama, Hindu-Budha, dan agama baru, Islam juga muncul. Wiranggaleng tidak ingin perbedaan agama membuat orang merestui penindasan terhadap yang lain. Adipati Tuban sudah memeluk Islam, sedang Galeng beragama Hindu.


Suatu hari, seorang mata-mata Portugis, Sayid Habibullah Almasawa, datang ke Tuban dan berkat kelicikannya dia diangkat menjadi syahbandar. Adipati Tuban nekad memelihara musuh yang tengah dicari-cari utusan Sultan Mahmud Syah, penguasa lama Malaka, diincar orang-orang Demak-Jepara dan pedagang-pedagang Cina Lao Sam—daerah otonomi khusus orang-orang Cina. Baginya, kehadiran Almasawa yang fasih bahasa Portugis dan Spanyol itu bisa membuka kontak dagangnya dengan Portugis, bisa menguntungkan Tuban serta menghidupkan kembali pelabuhan yang sepi. Baginya, Tuban harus makmur. Persetan wilayah atau kota lain. Watak Adipati Tuban yang lokalis ini berakibat fatal di kemudian hari.


Di Jepara tengah terjadi pergantian kepemimpinan. Adipati Unus mangkat. Dia digantikan Trenggono, adik kandungnya. Trenggono punya ambisi berbeda dengan Unus. Dia menjadikan strategi merebut Malaka sebagai kamuflase tujuan sejatinya untuk merebut Sunda Kelapa, Cimanuk, Cirebon, bahkan Tuban, kota-kota pelabuhan di Jawa. Trenggono mencetuskan perang saudara. Ratu Aisah, sang ibunda, menentang putranya dan tak digubris Trenggono. Adipati Tuban yang terkecoh oleh muslihat Trenggono kembali mengirim Wiranggaleng dan pasukannya ke Semenanjung. Tetapi, kali ini Demak-Jeparalah yang berkhianat. Tentara Demak justru menyerang Tuban ketika pasukan Tuban tengah terombang-ambing di laut menuju Malaka. Trenggono memimpin langsung pasukan Demak menyerbu kadipaten Tuban.


Di lain pihak, armada Portugis bergerak ke Maluku dan Nusa Tenggara Barat, membinasakan armada dagang Tuban dan Blambangan yang selama ini memonopoli Maluku. Portugis ingin menguasai sumber rempah-rempah. Sementara itu, kapal Portugis juga mulai masuk ke perairan Jawa, mendirikan benteng di Pamanukan dan mengintai Tuban. Arus sudah berbalik. Masa kejayaan kerajaan Nusantara telah lewat, ekspansi-ekspansi melewati samudra telah berhenti. Sebagai gantinya, armada laut asing muncul dari ujung selatan dan memasuki wilayah Nusantara, merebut kota-kota pelabuhan dan niaga. Inilah babak awal kapitalisme perdagangan di Nusantara.

Wiranggaleng, senapati Tuban, sebenarnya punya peluang untuk menahan arus balik itu. Dia memperoleh restu Ratu Aisah dari Jepara, ibunda Adipati Unus. Dia berhubungan baik dengan penguasa Lao Sam. Dia sudah mengusir Demak dari Tuban. Tetapi, Galeng justru memilih tinggal di desa dan menjadi petani. Dia tak mau jadi raja. Di hadapan pasukannya yang berharap, Galeng membuat keputusan.


“Telah aku baktikan masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biar pun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih. Ya, Dewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk menyedarkan raja dan sultan sehingga jadi gelombang raksasa, bukan sekedar mendesak arus balik dari utara, bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga kelangsungannya untuk selama-lamanya. Gajah Mada, anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbak-imbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan Gajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri-sendiri.” (hlm. 749)


Tetapi, tahukah Galeng bahwa Gajah Mada pun telah dibinasakan kekuasaan? Patih Majapahit ini dibunuh Hayam Wuruk gara-gara peristiwa Bubat. Banjir darah di Bubat terjadi setelah Raja Padjadjaran menolak mempersembahkan putrinya (Dyah Pitaloka) sebagai upeti, melainkan sebagai wanita yang hendak dipersunting Hayam Wuruk. Pasukan Gajah Mada membunuh sang raja yang tak mau tunduk berserta pengikutnya. Asal-usul Patih Gajah Mada sengaja disembunyikan penulis babad agar keluarganya tak ikut dihabisi penguasa Majapahit itu.


Arus Balik sering disebut-sebut sebagai karya terbesar Pram. Namun, novel ini bukan tanpa cacad. Dalam karya yang dijuluki “literatur maritim Nusantara” tadi, Pram justru bertolak dari kota pelabuhan Tuban, yang tak sebanding dengan kebesaran Majapahit apalagi Sriwijaya. Novel ini seolah mengatakan seluruh perubahan iklim modal dan politik Nusantara bertumpu pada sebuah kota kadipaten.

Share this article :

+ komentar + 1 komentar

2 Februari 2019 pukul 08.35

Mohon bisa sekalian di bikinkan jenis jenis kalimat yang terdapat di sinopsis ini..

Posting Komentar

 
Support : Gubuk Maya Kang Naryo | Mas Template
Copyright © 2009. GubuK Maya | Kang Naryo - All Rights Reserved
Created by Gubuk Maya | Kang Naryo
Powered by Blogger