Headlines News :
Home » » Kepak Sayap Burung Dara

Kepak Sayap Burung Dara

Written By Kang Naryo on Kamis, 18 Februari 2010 | 18.42

--Sepenggal Kisah Bulan Mei--

MATAHARI naik, dan panaspun mulai menyengat. Ada ratusan mata dan suara-suara sumbang penuh curiga. Sepanjang jalan banyak orang lalu lalang menikmati suasana segarnya udara pagi. Ada sebuah pusat cinta yang tersembunyi dalam dirinya.

Sementara beberapa anak lari-lari kecil diantara bebungaan dan pertamanan dengan sendau gurau dan tawa riang menikmati dunianya. Dunia penuh dengan kerinduan dan tak mungkin kelak bisa kembali dinikmati.

“Yah”. Memang setiap hari Minggu, alun-alun ini penuh dengan aktvitas yang lain dari biasanya. Dikanan kiri jalan sepanjang trotoar para penjaja makanan pun sibuk melayani pembelinya.

Hiruk pikuk suara kendaraan, membuyarkan rombongan burung gereja yang sedang bercengkerama mesra. Dibagian lain angin bertiup membawa pucuk-pucuk pohon sono bergoyang. Daun kuning serta ranting keringpun patah jatuh berdenting.

Bagi sebagian warga, olahraga pagi adalah salah satu pilihan mereka setelah selama sepekan disibukan dengan tumpukan kertas dan rutinitas kerja yang membosankan. Hiburan yang murah meriah. Sekedar refresh dan bisa ngumpul bersama keluarga dan anak-anak serta rekan sejawat.

Sisi lain tampak muda-mudi berkasih mesra dengan pasangannya. Ada juga yang melirik sana sini serta riak-riak ekspresi sebatas mencari simpati dan cuci mata. Jadi ketawa dalam hati melihat ulah mereka.

“ Wi kamu sudah sarapan? Tanya Bayu, dengan senyum manisnya.”
“Belum mas, kata Dewi, sambil menggelengkan kepalanya.”
“Baiklah. Kalo begitu kita sarapan dulu, ujar Bayu.”

Sedikit tancap gas, motorpun cepat melesat. “Yang lain pasti ketinggalan.” Kalo kata si Komeng di jeda iklannya. Sambil tengok kiri kanan Bayu melihat penjaja makanan. Ndak mau ketinggalan, pikirnya.

Transaksi jual beli khas trotoar ini hanya berlangsung pagi hari. Setelah matahari tergelincir sebagian pedagang sudah pada pulang kerumah masing-masing. Nyata banget menghadirkan sebuah lanskap yang membentuk keseimbangan kehidupan.

Sedikit terburu-buru Bayu memarkir motor dikanan jalan.
“Ayo Wi kita sarapan dulu, Kata Bayu. Sepasang mata bening itupun hanya mengangguk.”
“Monggo mas, monggo. Sapaan awal penjaja makana pagi itu.”
“Bu nasinya dua yah, ujar Bayu sambil menghempaskan tubuhnya di tikar pandan.”

Hening terasa. Angin utara membawa hawa panas kian menyengat. Sisi timur tampak rumah pringgitan orang nomor satu di kota ini. Sementara kokok ayam bekisar seolah iri melihat dua pasangan beda jenis ini. Tikar pandanpun merasakan perpaduan kerinduan yang sesungguhnya. Berharap membiarkan tikar itu menceritakan kisahnya. Awan-awan pun jadi gelisah melihat dua sejoli ini diselimuti misteri. Ada gelegar di antara tulang rusuk.

Suasana jadi pudar mana kala dua nasi pecel khas Nganjuk dan teh manis siap santap itu diantar ibu- ibu. “Ini mas nasinya. Ungkapnya dengan senyum ramah.”
“Hanya anggukan kepala yang bisa diberikan Bayu sebagai tangapan.”

“Meminjam istilah Antony Giddens di era runaway world. Melihat kondisi para penjaja makanan ini seharusnya pemerintah memiliki tanggung jawab sosial yang sangat besar untuk membangun sebuah peradaban baru bagi para penjaja makan ditrotoar ini dengan penuh cinta kasih, penuh harapan baru, dan selalu dilambari dengan pendekatan populis.” Pikir Bayu sambil menyantap nasi pecel, rempeyek dan ati ampela. Terasa sedap dan mantap sekali kuliner khas Jawa Timur ini, ketika disantap pagi hari.

Selesai sarapan, sebatang sigaret putih diambil dari saku Bayu, disusul kepulan asap putih membumbung dalam frame harmoni kehidupan. Menit selanjutnya diserahkannya lembaran biru bergambar pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai dari Bali sebagai lazimnya transaksi ke ibu-ibu penjaja makanan. Sambil menunggu kembalian Dewipun bergegas menuju parkiran motor yang tak jauh di pinggir jalan. Sekejap, roda dua itu meluncur ke halte di sisi timur alun-alun kota ini.

Amat sangat dan sungguh-sungguh. Didekap erat detik demi detik jam perpisahan ini oleh Bayu. Ada janji tak terucap ketika jemari lentik digenggam. Kerasan telapak lembut di jari hingga tak ingin ia lepas. Hanya sapuan tipis menghias di tangan gadis itu. Ada keharuan hati yang dalam. Takut akan membuat hari-harinya seperti kebingungan yang sangsi.

“Hati-hati ya mas. Bibir tipis itu berucap.”
Ada yang hilang dari diri Bayu, setelah kaki kirinya menjejak perlahan ke mobil kuning didekat halte. Lambaian tangan Dewi dari balik kaca, seakan menghentikan separuh nafas Bayu. Sangat disayangkan selama perjalanan, tanpa ada kata terindah disisinya.

Bibir Bayu yang biasa berceloteh mengalun tak mampu membuka. Tenggorokan terasa terkunci rapat-rapat. Dia hanya bisa memandang dan memandanginya. Hingga perempuan berkerudung merah hati ini lenyap di penggolan sisi timur alun-alun dengan motornya. Perlahan tapi pasti. Seakan sang sopir mengendus fenomena itu. Mobil kuningpun meluncur dibuai sepoi angin utara menuju terminal.

Berhenti di terminal tak lupa Bayu membeli minuman dan koran buat teman di perjalanan. Setelah menunggu sekian lama, bus yang ditunggupun muncul. Bergegas bayu menuju bus yang akan membawa perjalanannya. Perjalanan menuju kota tua penuh legenda. Legenda para sunan dalam penyebaran agama islam di tanah jawa. Sebuah residen di sisi barat tapal batas dengan Propinsi Jawa Tengah. Residen yang kisah secuilnya digoreskan dalam karya besar “Arus Balik” sang maestro Pramudya. Disanalah Bayu kecil dibesarkan, tiga dasawarsa lalu. Di salah satu distrik kecil bagian selatan.

Selama perjalanan dibolak-baliknya koran Kompas yang baru ia beli di terminal. Tak ada berita secuilpun yang singgah diotaknya. Hanya ada getar aneh memasuki sanubari. Sepenggal kisah perjalanan 18 Mei. Membawa imajinasi baru bagi Bayu. “Duh Gusti.” Lirih dalam hati ia bergumam. Kalau ini ujian, akan hamba coba tegakkan badan. Kalau ini hukuman, akan hamba coba luruskan pandangan. Kalau ini cinta akan hamba coba rentangkan pelukan.

Merangkai buah pikir Herbert Marcus dalam “Manusia Satu Dimensi.” Tak tahu mengapa imajinasi ini muncul dalam benak otak Bayu. Ia hanya bisa berharap, imajinasi ini mampu memberikan tanggapan dan bahkan menciptakan realitas baru. Realitas kontekstual tak sekedar isolatif. Realitas yang mampu membangun mahligai indah. Sebuah ultime reality al-mahabbah seperti dalam magnum opus “Musyawarah Burung” sastranya Fariduddin Attar.

Jelas dan pasti. Ada rangkaian dawai mengalun sebelum genderang imajinasi itu ditabuh. Ia dengar dan lihat kepak sayap burung dara. Ada detak rasa kekaguman, ketakjuban, simpati dan bahkan kesadaran illahi untuk berempati. Tumbuh kembang menjadi irama selaras nada gending “Bowo Dandanggula Sidoasih" .

“Pamintaku nimas sida asih,
Atut runtut tansah reruntungan,
Ing sarino sawenginé,
Datan ginggang sa'rambut,
Lamun adoh caketing ati,
Yèn cedhak tansah mulat,
Sido asih tuhu,
Pindho mimi lan mintuno,
Yo nimas bareng anetepi wajib,
Sido asih bebrayan”......

Pada dimensi 2 x 3 meter. Irama nada selaras dan genderang itu berawal. Sapaan adik, menjadi saksi bisu bagi dinding kamar peraduan kala itu. Kamar yang sekaligus memiliki fungsi sebagai tempat beraktifitas.

Sementara pada sisi depan, ada kaca yang seolah memantulkan bayang-bayang jejak langkah para petualang. Namun di antara keduanya, tidak ada yang berkata-kata. Bebasan “cedhak tanpa senggolan adoh tanpa wangenan”. Ehem. Mungkin terlalu jauh kalo digambarkan pada realitas semacam ini. Sebab pemaknaan seperti ini hanya untuk Gusti Kang Maha Suci.

Ada beban dipundaknya. Tampak letih pelupuk bening matanya. Tuntutan kinerja yang harus dirampungkan. Paradigma baru yang harus digeluti setelah lepas dari “kawah candradimuka” pendidikan tinggi. Ada agregrat halus dan agregrat kasar bercampur aduk menjadi satu. Terbingkai dalam “teks hidup” yang terasa paradoks. Teks itu bila dibaca: “kerja apaan ini, pertama masuk kok harus sampai larut begini, sendirian lagi ngerjakannya. Hemmmm, gumamnya dalam hati.”

Siang itu terik penuh dahaga dan peluh keringat bercucuran. Semua jadi terobati sudah ketika ibu kost menghantar minuman dingin berkarbonasi. Namun sisi lain, dering telephone genggam seperti tak ada jeda tuk berhenti. Tak tega Bayu lihat perempuan di depannya ini. Berjam-jam dia berjibaku dengan segebok tumpukan kertas. Tulis sana tulis sini, tempel ini tempel itu, sambil sesekali menyapu ingus dari pucuk hidungnya yang tak bisa diajak kompromi dengan tissue.

“Dik, istirahat dulu kalo capek, biar nanti kawan-kawan lain yang nyelesaikan.” Kata Bayu.
“Oh, iya mas” sahutnya dengan senyum simpul.

Ada sesuatu yang hilang ketika senyum simpul itu tergeser dengan aktivitas kerja lanjutan. Detik itu Bayu terasa menemukan sesuatu hal yang istimewa. Dan pasti ia akan menghargainya, karena hal itu lebih berarti dari apapun di dunia. Akan diperjuangkan dan dipertaruhkan semua untuk itu. Menempatkan di atas segalanya, masa depan dan kehidupan untuk semua kata terindah.

Mungkin apa yg ia lakukan tidak sepenuhnya benar, tapi tak jadi masalah, sebab dalam hati ia tahu, upayanya sebanding dengan hasilnya. Seperti burung perkutut, suaranya merdu tuk mencapai si betina walau jauh di seberang sana. Bila yang dipanggil sudah datang, maka perkutut jantan mengubah nada suaranya menjadi lebih rendah dan lembut. Demikian lembut sampai terdengar baur dengan suara angin yang menyapu pepohonan.

Sepasang burung perkutut merasa perlu menciptakan suasana pribadi untuk mencari keselarasan dengan alam. Udara yang panas, angin yang berembus pelan, dan suara perkutut adalah sebuah harmoni yang bersumber dari naluri alam sendiri atas titah sang maha cipta.

Sama halnya bahwa cinta yang jujur, cinta yang tulus akan membuat seseorang memberikan kepunyaanya kepada yang dicintainya. Sang pecinta akan memenuhi yang ia cintai, tapi bila kecintaan itu tidak diberikan kepada sang cinta, maka pecinta akan menderita.

Ada petik senar mengalun. Mengagungkan kenyataan dan kemungkinan. Tak ingin Bayu masuk kedalam petaka dan krisis pada “kidung duka cinta” masa lalu yang bergelayut mendung. Sekali lagi ia bergumam dalam hati, “Ohalah Gusti, kalau ini cinta akan hamba coba rentangkan pelukan. Cinta ini berkelana dari ruang ke ruang, berirama nada suling dan petikan senar, penuh anggur yang diminum dalam perjalanan tanpa arah.”

Yah, tanpa terasa dua jam setengah sudah Bayu dibawa imajinasi itu. Ketika kondektur berteriak “kapur-kapur”-- sebuah perempatan yang memang dulu ada industri pengolah batu kapur--, bergegas ia menuju pintu bus untuk turun.

Para tukang becak sigap menyapa Bayu, ketika kaki kirinya terhempas dari bibir pintu bus. Hanya lambaian tangan yang bisa ia berikan. Sedikit muram wajah para tukang becak melihat respon darinya.

“Maaf ya pak, saya nunggu jemputan dari rumah. Kata Bayu.”
“Ohh, ndak apa-apa mas, serentak mereka menyahut dengan kompak diiringi semburat muka ceria.”

Hemmm,
Emak, aku pulang,
Aku rindu kau Mak,
Rindu akan belai kasih dan sayangmu,
Emak, kau adalah anugerah Tuhan buatku,
Kau sudah memberikan segalanya bagiku,
Jiwamu, ragamu dan cintamu yang begitu besar dan luas kepadaku
Maafkan aku Mak,
Alifbataku belum bisa kueja ulang
Tuk memenuhi harapanmu.
Hanya sepengal kisah ini oleh-oleh buatmu,
Kisah perjalanan dibulan Mei.

*)Kang Naryo
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Gubuk Maya Kang Naryo | Mas Template
Copyright © 2009. GubuK Maya | Kang Naryo - All Rights Reserved
Created by Gubuk Maya | Kang Naryo
Powered by Blogger