Headlines News :
Home » » Asal Muasal Kerjasama

Asal Muasal Kerjasama

Written By Kang Naryo on Selasa, 09 Februari 2010 | 00.30

BAHWA kecenderungan manusia untuk melakukan kerjasama dalam berkelompok bukan tidak dikonstruksi secara sosial atau produk dari pilihan rasional dan bahwa kerja sama memiliki basis alami (genetik), maka pertanyaan yang muncul yaitu bagaimana ia muncul?

Menurut pendapat kami bahwa perilaku berkelompok ini berkaitan dengan kepentingan individu-individu yang menciptakannya. Artinya dalam konteks ini KS berbentuk potensi dan ini akan diaktualisasikan kalau ada kepercayaan (trust) yang tinggi pada individu atau kelompok sosial kepada pihak lain, sehingga potensi yang dimiliki orang tersebut berupa KM dengan dasar pertimbangan tertentu bisa rasional, bisa sosial dan psikologik.


Tuntutan selanjutnya adalah kemandirian individu dalam kelompok dengan kerjasama ini diharapkan saling menguntungkan. Di lain pihak dengan kepercayaan dan kerelaan untuk bekerjasama memungkinkan orang untuk membentuk kelompok atau asosiasi yang mempermudah tujuan bersama itu. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita menjelaskan munculnya altruisme (mementingkan kepentingan orang) dan perilaku sosialnya.

Jalur pertama yang digunakan kepentingan individu untuk kerjasama sosial adalah seleksi kerabat dan resiprositas (balas budi/altruisme timbal balik). Dalam konteks selesi kerabat hal ini terbukti bahwa dalam aturan/hukum masyarakat yang paling ketat sekalipun, nepotisme dan favoritisme terhadap kerabat tetap merupakan dorongan-dorongan yang kuat. Ini menjelaskan besarnya jumah tranfer sumber daya satu arah yang terjadi antara orang tua dan anak, serta mengapa sebagian besar bisnis baru yang mulai merambah kebudayaan dunia yang beragam cenderung merupakan bisnis keluarga, seringkali menarik kerabat yang tak terhitung jumlahnya.

Sedangkan untuk resiprositas menempatkan persoalan kerjasama dengan situasi norma timbal balik. Artinya bahwa tiap individu dituntut untuk berkomitmen atau bertindak jujur dalam melakukan kerjasama. Dengan kejujuran dan komitmen yang tinggi akan menciptakan kepercayaan (trust), ini adalah merupakan aset (KS). Di lain pihak tuntutan solidaritas sosial adalah pencapaian individu dalam bersikap kooperatif, cinta damai dan saling menjaga diantara sesama.

Perkembangan selanjutnya adalah bahwa bekerjasama dalam berbagai kelompok memunculkan perkembangan kompetitif. Perkembangan ini oleh pengkaji perkembangan politik adalah sebuah fenomena yang dinamakan modernisasi defensif . Munculnya teknologi militer baru disebuah negara yang memaksa masyarakat saling bersaing bukan saja untuk memperoleh teknologi tersebut, namun juga memperoleh lembaga-lembaga politik dan ekonomi yang penting untuk memproduksi teknologi tersebut, seperti pajak dan kebijakan kekuasaan serta sistem pendidikan.

Kita menyadari bahwa di dalam masyarakat memiliki populasi yang berbeda. Oleh karena itu didalam kerjasama muncul berbagai perilaku. Ada yang bersifat agresif, kompetitif, dan hirarkis, disisi lain kooperatif, cinta damai, dan menjaga, sehingga KS dalam perkembangan terjadi pasang surut. Artinya di dalam masyarakat dalam membangun kerjasama perilaku individu ini jujur atau penuh dengan kebohongan. Dari sini kita dapat melihat kepercayaan (trust) yang ada akan turun (low trust) karena para individu penuh dengan kecurigaan. Karena mereka sama-sama mengevaluasi kredilbilitas dan kemampuan mereka baik sebagai teman, asosiasi dll. Ini dapat terjadi di kelompok yang memiliki kejujuran maupun kelompok oportunis.

Dan ini tidak lepas dari bagaimana individu itu dapat menggunakan kemampuan kognitif untuk membedakan karakteristik orang yang jujur atau bohong tersebut. Di samping itu diperlukan emosi atau insting khusus yang meyakinkan bahwa bisa dipahami perilaku-perilaku individu dengan indikator-indikator khusus yang pada gilirannya kita harus memberikan nilai plus bagi orang yang jujur (malaikat) dan memberi hukuman bagi pembohong (iblis). Oleh karena itu perilaku moral manusia sangat menentukan KS, karena ini mereka jadikan sebuah tujuan dalam dirinya sendiri dan mereka menerima kebanggaan tertinggi bukan dari pilihan-pilihan rasional.

Artinya bahwa mereka mengikuti norma-norma atas dasar emosi yang diasosiasikan untuk memperoleh status dan pengakuan. Kita bisa menggambarkan secara emosional sifat norma yang melimpah dengan bertanya mengapa mereka mengikuti hal tersebut. Seperti apa yang disebut Axelrod sebagai metanorma. Sebuah norma biasa secara langsung mengatur kerjasama sosial (pembagian harta warisan secara sama diantara para saudara laki-laki), sementara meta norma konsen dengan cara-cara yang tepat untuk membagi, menyebarkan dan meneggakkan norma-norma biasa. Setiap orang tertarik untuk melakukan norma-norma biasa yang telah mereka negosiasikan, karena adalah merupakan swakepentingan langsung mereka untuk melakukan demikian. Jika saya tidak meyakinkan saudara saya untuk mengikuti norma tentang warisan, saya tidak akan memotong bagian saya. Bagaimanapun, orang rasional secara teoritis harus memiliki kepentingan yang sedikit dalam melaksanakan metanorma. Sehingga individu sedikit untuk tertarik melakukannya. Namun orang bisa keluar dari persoalan ini ketika keadilan ditegakkan sepanjang masa dalam berbagai situasi. *) Kang Naryo

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Gubuk Maya Kang Naryo | Mas Template
Copyright © 2009. GubuK Maya | Kang Naryo - All Rights Reserved
Created by Gubuk Maya | Kang Naryo
Powered by Blogger