DALAM bidang kimia, air merupakan perpaduan dua atom H (hidrogen) dan satu atom O (oksigen) dengan rumus molekul H2O. Di dalam air ditemukan dalam bentuk padat, cair dan gas. Pada tekanan atmosfir (76 cm-Hg) dan didinginkan sampai 0oC, air berubah menjadi padat (es). Sebaliknya, air akan berubah menjadi gas (uap) apabila dipanaskan sampai 100oC. Dalam keadaan normal, air bersifat netral dan dapat melarutkan berbagai jenis zat, air akan pecah menjadi unsure H dan unsur O pada suhu 2.500oC.
Air merupakan unsur utama dalam tumbuhan, tubuh hewan, dan tubuh manusia, Pada tanaman setahun (semusim), terdapat air sampai 90% dan di dalam tubuh hewan menyusui sebanyak 60-70%. Manusia sebelum lahir sudah berada dalam lingkungan air, di dalam kandungan seorang wanita. Tubuh manusia terdiri dari 65% air. Apabila seseorang hehilangan air sebanyak 12% dari tubuhnya, maka yang bersangkutan akan meninggal. Tanpa makanan, manusia dapat bertahan selama 81 hari, tetapi tanpa air manusia hanya mampu bertahan hidup selama 10 hari (Karden Eddy S.M, 2003).Kebutuhan akan air ditentukan atas kemajuan peradaban manusia. Menurut Karden Eddy S.M. (2003) suku-suku primitif hanya 5-8 lt/hari/jiwa, negara sedang berkembang 20-30 lt/hari/jiwa, negara berkembang 50-60 lt/hari/jiwa, dan negara maju 125-150 lt/hari/jiwa. Di Indonesia kebutuhan air untuk rumah tangga penduduk di pedesaan memerlukan air 40-50 lt/hari/jiwa, sedangkan untuk wilayah perkotaan yaitu 80-100 lt/hari/jiwa. Mengingat jumlah air tawar yang terbatas, diperlukan pemanfaatannya yang efisien dan pengelolaan yang baik.
Hal ini karena jumlah air di bumi tidak pernah berubah yaitu 1.385.984.610 km3. Dari jumlah ini air tawar hanya 35.029.210 km3 sehingga jumlah air tawar hanya 2,5% dari jumlah air secara keseluruhan. Jumlah air ini terdistribusi diberbagai tempat yaitu air laut 96,5%, air tanah tawar 0.76%, air tawar asin 0,93%, untuk kelembaban tanah 0,0012%, dalam bentuk es di kutub 1,7%, dalam bentuk s lain dan salju 0,025%, danau air tawar 0,007%, danau-danau air asin 0,006%, air rawa 0,0008%, sungai-sungai 0,0002%, di makhluk hidup 0,00001%, dan di atmosfir 0,001%.
Sedangkan menurut Vandhana Shiva (2002) suatu negara dikatakan menghadapi krisis air serius ketika air yang tersedia lebih rendah dari 1000 m3 per orang per tahun. Di bawah titik ini, kesehatan dan pembangunan ekonomi suatu negara akan sangat terhambat. Ketika ketersediaan air tahunan tiap orang jatuh di bawah 500 m3 muncul ancaman terhadap kelangsungan hidup masyarakat.
Di Indonesia berdasarkan perhitungan neraca air, sejak 1995 ketersediaan air permukaan di Pulau Jawa hanya 30.569 juta meter kubik (m³), sedangkan kebutuhan air mencapai 62.927 juta m³ sehingga defisit 32.347 juta m³. Tahun 2000 defisit air mencapai 52.809 juta m³ dan untuk tahun 2015 diperkirakan defisitnya 134.102 juta m³. Ironisnya, perhitungan neraca air yang sudah terpapar itu berlalu begitu saja tanpa ada nilai manfaat tindak lanjutnya. Begitu terjadi kekeringan seperti yang terjadi saat ini, munculah beragam kepanikan (kompas 24 September 2003). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
--> -->Air merupakan unsur utama dalam tumbuhan, tubuh hewan, dan tubuh manusia, Pada tanaman setahun (semusim), terdapat air sampai 90% dan di dalam tubuh hewan menyusui sebanyak 60-70%. Manusia sebelum lahir sudah berada dalam lingkungan air, di dalam kandungan seorang wanita. Tubuh manusia terdiri dari 65% air. Apabila seseorang hehilangan air sebanyak 12% dari tubuhnya, maka yang bersangkutan akan meninggal. Tanpa makanan, manusia dapat bertahan selama 81 hari, tetapi tanpa air manusia hanya mampu bertahan hidup selama 10 hari (Karden Eddy S.M, 2003).Kebutuhan akan air ditentukan atas kemajuan peradaban manusia. Menurut Karden Eddy S.M. (2003) suku-suku primitif hanya 5-8 lt/hari/jiwa, negara sedang berkembang 20-30 lt/hari/jiwa, negara berkembang 50-60 lt/hari/jiwa, dan negara maju 125-150 lt/hari/jiwa. Di Indonesia kebutuhan air untuk rumah tangga penduduk di pedesaan memerlukan air 40-50 lt/hari/jiwa, sedangkan untuk wilayah perkotaan yaitu 80-100 lt/hari/jiwa. Mengingat jumlah air tawar yang terbatas, diperlukan pemanfaatannya yang efisien dan pengelolaan yang baik.
Hal ini karena jumlah air di bumi tidak pernah berubah yaitu 1.385.984.610 km3. Dari jumlah ini air tawar hanya 35.029.210 km3 sehingga jumlah air tawar hanya 2,5% dari jumlah air secara keseluruhan. Jumlah air ini terdistribusi diberbagai tempat yaitu air laut 96,5%, air tanah tawar 0.76%, air tawar asin 0,93%, untuk kelembaban tanah 0,0012%, dalam bentuk es di kutub 1,7%, dalam bentuk s lain dan salju 0,025%, danau air tawar 0,007%, danau-danau air asin 0,006%, air rawa 0,0008%, sungai-sungai 0,0002%, di makhluk hidup 0,00001%, dan di atmosfir 0,001%.
Sedangkan menurut Vandhana Shiva (2002) suatu negara dikatakan menghadapi krisis air serius ketika air yang tersedia lebih rendah dari 1000 m3 per orang per tahun. Di bawah titik ini, kesehatan dan pembangunan ekonomi suatu negara akan sangat terhambat. Ketika ketersediaan air tahunan tiap orang jatuh di bawah 500 m3 muncul ancaman terhadap kelangsungan hidup masyarakat.
Di Indonesia berdasarkan perhitungan neraca air, sejak 1995 ketersediaan air permukaan di Pulau Jawa hanya 30.569 juta meter kubik (m³), sedangkan kebutuhan air mencapai 62.927 juta m³ sehingga defisit 32.347 juta m³. Tahun 2000 defisit air mencapai 52.809 juta m³ dan untuk tahun 2015 diperkirakan defisitnya 134.102 juta m³. Ironisnya, perhitungan neraca air yang sudah terpapar itu berlalu begitu saja tanpa ada nilai manfaat tindak lanjutnya. Begitu terjadi kekeringan seperti yang terjadi saat ini, munculah beragam kepanikan (kompas 24 September 2003). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel: 1
Neraca Air Tahun 2003
Pulau
|
Kebutuhan (Kemarau)
|
Ketersediaan (Kemarau)
|
Neraca
| ||
Milliar m3
|
(%)*
|
Milliar m3
|
(%)*
| ||
11,6
|
17,5
|
96,2
|
19,9
|
Surplus
| |
Jawa Bali
|
38,4
|
57,8
|
25,3
|
5,2
|
Defisit
|
2,9
|
4,3
|
167,0
|
34,6
|
Surplus
| |
Nusa Tenggara
|
4,3
|
6,5
|
4,2
|
0,9
|
Defisit
|
9,0
|
13,6
|
14,4
|
3,0
|
Surplus
| |
Maluku
|
0,1
|
0,2
|
12,4
|
2,6
|
Surplus
|
Papua
|
-0,1
|
0,1
|
163,6
|
33,9
|
Surplus
|
* Persen terhadap total nasional (Kompas 24 Agustus 2003)
Tabel: 2
Prediksi Neraca Air Per Pulau Tahun 2020
Pulau
|
Kebutuhan (Kemarau)
|
Ketersediaan (Kemarau)
|
Neraca
| ||
Milliar m3
|
(%)*
|
Milliar m3
|
(%)*
| ||
13,3
|
17,6
|
96,2
|
19,9
|
Surplus
| |
Jawa Bali
|
44,1
|
58,4
|
25,3
|
5,2
|
Defisit
|
3,5
|
4,6
|
167,0
|
34,6
|
Surplus
| |
Nusa Tenggara
|
4,7
|
6,2
|
4,2
|
0,9
|
Defisit
|
9,7
|
12,8
|
14,4
|
3,0
|
Surplus
| |
Maluku
|
0,1
|
0,2
|
12,4
|
2,6
|
Surplus
|
Papua
|
0,2
|
0,2
|
163,6
|
33,9
|
Surplus
|
* Persen terhadap total nasional (Kompas 24 Agustus 2003)
Dari tabel di atas, nampaknya pulau Jawa,
Kawasan hutan yang selama ini menjadi daerah tangkapan air (catchment area) telah rusak karena penebangan liar. Hampir semua daerah aliran sungai (DAS) telah beralih fungsi karena di daerah hulu pun kerusakan sudah sangat parah. Laju kerusakan di semua wilayah sumber air semakin cepat, baik karena penggundulan di hulu maupun pencemaran di sepanjang DAS. Kondisi itu akan mengancam fungsi dan potensi wilayah sumber air sebagai penyedia air bersih (lihat table:3).
-->
Tabel: 3
DAS Kritis Di Indonesia
PULAU
|
DAS
|
Krueng Aceh, Krueng Pasuangan, Asahan/Toba, Lau Renun, Ular, Kepulauan Nias, Kampar, Indragiri, Rokan, Kuantan, Kampar Kanan Hulu, Batang Hari, Manna Padang Guci, Musi, Way Sakampung, Way Saputih
| |
Jawa
|
Citarum, Cimanuk, Cilliwung, Citanduy, Cipunagara, Ciujung, Garang Ds, Bodri Ds, Serayu, Bribin, Grindulu Ds, pasiraman, Rejoso, Brantas, Sampean, Saroka
|
Sambas, Tunan Manggar, Kota Waringin, Barito
| |
Unda, Dodokan, Benain Noelmina, Aissesa, Kambaneru, Jeneberang Klara, Waillanae, Billa, Saddang, Bau-bau
| |
Wanca, Lasolo, Limboto, Tondano, Dumoga, Poso, Lamboru, Paru
| |
Maluku dan Papua
|
Batu Merah, Hatu Tengah, Baliem, Merauke Bulaka Ds, Memberano, Sentani
|
Sumber : Kompas, 24 Agustus 2003
Data dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan, kawasan hutan Jawa seluas 3.289.131 H saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Luas lahan kritis di dalam kawasan hutan yang memerlukan rehabilitasi tercatat 1,714 juta H atau 56,7 persen dari luas seluruh kawasan hutan. Itu terdiri atas hutan lindung dan konservasi yang rusak seluas 567.315 H serta hutan produksi tak berpohon seluas 1.147.116 H. Kondisi ini diperparah oleh meluasnya lahan kritis di luar kawasan hutan yang telah mencapai 9,016 juta H. Dengan demikian, total lahan yang perlu direhabilitasi mencapai 10,731 juta H atau 84,16 persen dari luas seluruh daratan Pulau Jawa (Kompas 24/8/2003).
Ketersediaan air dalam ekosistem tergantung pada iklim, fisiografi, vegetasi, dan geologi wilayah bersangkutan. Dalam semua bidang tersebut, manusia modern telah merusak bumi dan menghancurkan kapasitasnya untuk menerima, menyerap dan menampung air. Pembabatan hutan dan pertambangan telah menghancurkan kemampuan serap yang yang dimiliki tanah untuk menyimpan air. Pertanian dan hutan monokultur telah mengeringkan ekosistem. Meningkatnya penggunaan bahan bakar minyak telah menyebabkan polusi udara dan perubahan iklim dan menjadi penyebab utama terjadinya banjir, tanah longsor, dan kekeringan yang terus berulang.
Di lain sisi ternyata kekeringan juga sudah sangat mengganggu operasional pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Hingga pertengahan Agustus 2003 kekeringan sudah menyebabkan pasokan listrik di Jawa-Bali berkurang 500 megawatt. Jika kekeringan terus berpengaruh terhadap PLTA hingga Oktober 2003 mendatang, Jawa-Bali dikhawatirkan kembali mengalami ancaman krisis listrik. Begitu pula pasokan air
Kompas (24/8/2003) bahwa sesuai dengan perhitungan pasokan listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik di Jawa-Bali, cadangan tenaga listrik yang dibutuhkan memiliki batas minimal 615 megawatt (MW). Jika cadangan berada di bawah angka itu, bisa dikatakan ketersediaan listrik sudah memasuki kondisi siaga I. Saat ini total daya terpasang dari pembangkit di Pulau Jawa-Bali mencapai 18.661 MW, sedangkan daya mampu sekitar 17.600 MW.
Adapun beban puncak di wilayah ini sebesar 12.000 MW hingga 13.250 MW, sedangkan kemampuan pasokan hanya 13.305 MW hingga 15.254 MW. Artinya, cadangan yang tersimpan hanya 143 MW hingga 1.427 MW. Sementara itu, total pasokan listrik dari PLTA yang ada di wilayah Jawa-Bali mencapai 2.500 MW. Pasokan dari PLTA Area 1 (33,5 MW), Area 2 (54,5 MW), Saguling (695,8 MW), Cirata (1.000 MW), Area 3 (124 MW), Mrica (173,6 MW), Area 4 (40 MW), Sutami (102 MW), Brantas Non-Sutami (125 MW), dan Jatiluhur (179 MW).
Saat ini cadangan listrik memang masih di atas 600 MW. Akan tetapi, kalau PLN kehilangan daya 500 MW hingga 1.000 MW dari PLTA, bisa saja terjadi status siaga. Apalagi kalau penggunaan tenaga listrik pada saat beban puncak di Pulau Jawa, Madura, dan
Dengan kondisi itu, sebenarnya tak perlu menunggu datangnya kemarau panjang untuk mengkhawatirkan datangnya pemadaman bergilir. Infrastruktur listrik memang tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan energi listrik sehingga gangguan pasokan bisa terjadi setiap saat. Apalagi, krisis listrik di republik ini bukan saja karena tidak adanya investasi baru untuk membangun pembangkit. Hal itu juga disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat yang tidak wajar sehingga menyulitkan PLN mengatur pembangkit yang dayanya sudah terbatas. Siang hari pemakaian terlalu rendah, tetapi malam hari terlalu tinggi. Perbedaan antara pemakaian listrik pada kondisi beban normal dan beban puncak bisa mencapai 5.000 MW. Kondisi itu membuat sistem pembangkit PLN menjadi tidak sehat. Dewasa ini keadaan sudah sangat kritis karena pembangkit listrik PLN sangat rentan dari gangguan. Akibatnya, jika terjadi kerusakan mendadak pada beberapa pembangkit, cadangan listrik yang dapat dipelihara PLN langsung drop, dari 30 persen menjadi 20 persen. PLN mengalami defisit pada saat beban puncak yang menyebabkan terjadinya pemadaman bergilir.
Beberapa petanipun tidak luput mendapat bencana yang sangat menyengsarakan ini, terutama mereka yang berprofesi buruh tani. Karena mereka (para petani) mengalami gagal panen, akhirnya yang terjadi adalah kemiskinan dan pengangguran akibat gagal panen. Ini terjadi karena aliran air ke sawah-sawah mereka tiba- tiba seret begitu padi ditanam. Isyarat rawan pangan dan rawan daya beli pun muncul ketika sebagian warga mulai mengonsumsi nasi karak (sisa nasi yang dikeringkan dan kemudian ditanak lagi). Kondisi ini jelas mengkhawatirkan karena bisa menimbulkan persoalan sosial lain, seperti naiknya tindakan kriminalitas akibat tidak adanya pilihan untuk mencukupi kebutuhan perut.
Dalam kondisi kekurangan air seperti sekarang ini, sistem pengelolaan air yang berkesinambungan muncul dari gagasan bahwa air adalah milik bersama yang diwariskan secara turun temurun. Disamping itu perlu didukung implementasi demokratisasi air yaitu bahwa air adalah sebagai anugerah Allah, air sangat penting bagi kehidupan, kehidupan dan air saling tergantung, air harus gratis untuk kebutuhan pangan, air itu terbatas dan bisa habis, air harus dilindungi, air adalah milik umum, tak seorang pun berhak merusak, air tidak bisa diganti. Upaya kongkritnya yaitu konservasi hutan yang konsisten menjadi salah satu hal yang urgent. *) Kang Naryo
Posting Komentar