BANJIR dan longsor di musim hujan, kebakaran hutan dan kekeringan di musim kemarau. Begitulah yang dialami bangsa ini beberapa tahun terakhir, dan jika tidak ada kebijakan dan langkah operasional penanggulangan yang fundamental, holistik, dan berjangka jauh ke depan ini akan menjadi siklus tahunan yang tetap berulang.
Bencana banjir, dan tanah longsor, yang terjadi saat ini pada intinya adalah akibat kerusakan lingkungan. Penggundulan hutan adalah merupakan faktor penyebab utama. Kawasan hutan yang seharusnya dikonservasi malah dibuka untuk menciptakan mata pencarian baru, baik legal maupun ilegal. Ini termasuk penjarahan lahan dan hutan yang menyebabkan gundulnya hutan. Akibatnya, wilayah yang seharusnya menjadi daerah tangkapan air menjadi rusak.
Kerusakan lingkungan ini bisa semakin besar karena adanya kolaborasi antara perusahaan multinasional dan penguasa serta pengusaha lokal yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan sesaat. Apabila ini dilakukan terus menerus kita hanya bisa menunggu bencana apa yang akan terjadi bagi bangsa ini.
Apakah sebenarnya yang telah terjadi di bangsa ini? Apakah sebenarnya peristiwa tersebut merupakan peringatan dari Tuhan atas segala sikap dan perilaku manusia yang sudah menyimpang dari tata nilai dan norma-norma, sehingga bencana yang datang sekarang ini merupakan hukuman dari Tuhan
Ada dua kemungkinan jawaban yaitu ya dan tidak. Apabila dipahami sebagai penyimpangan tata nilai dan norma yang dominan peristiwa itu akan cenderung dianggap sebagai kontrol sosial (social reality). Namun apabila itu dipahami sebagai seperangkat tata nilai dan tata moral yang marginal misalnya tata nilai dan norma pembangunan kapitalis yang sekuler dan dominan peristiwa tersebut dianggap sebagai produk aktivitas kritik sosial (marginal reality). Sehingga kontrol sosial cenderung dipahami sebagai aktivitas pengendalian, sedangkan kritik sosial dianggap sebagai aktivitas pembebasan dari segala bentuk kontrol dan pengendalian.
Social Reality menurut Berger adalah realitas kehidupan sehari-hari yang merupakan hasil konstruksi kolektif yang telah mengalami proses tertentu berubah menjadi sesuatu yang seakan eksternal objektif. Sedangkan Marginal Reality adalah realitas yang ada di luar kehidupan sehari-hari, baik yang berupa dunia mimpi-mimpi subjektif dan metafisik manusia yang berkaitan dengan kehadiran sebagai sesuatu yang tidak dapat terelakan buat manusia. Sehingga Marginal Reality ini selalu mempengaruhi atau membayangi realitas sehari-hari.
Karena itu defenisi relitas tak akan pernah dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan definisi lain demi kekokohannya. Dalam konteks ini terjadi hubungan keselarasan antara keduanya. Dimana Marginal Reality merupakan kekuatan legitimatsi bagi Social Reality. Namun keselarasan ini tidak dengan sendirinya berarti lenyapnya perbedaan antara keduanya.
Ketika fenomena bencana ini dipahami sebagai Social Reality, maka apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Selama ini upaya pemerintah dalam menanggulangi masalah kerusakan lingkungan, tindakan-tindakan yang dilakukan hanya menghilangkan akibat negatifnya saja. Pokok persoalan sendiri seringkali dihindari. Misalnya upaya penanggulangan kerusakan hutan yang banyak dilakukan adalah dana rehabilitasi/reboisasi untuk memulihkan hutan yang ditebang, inipun kadang dananya masih di korup. Upaya untuk mengurangi pemakaian kayu kurang mendapat perhatian karena bisnis perkayuan merupakan bisnis yang menjanjikan.
Semua ini sebenarnya terjadi karena kesalahan konsep ekonomi yang kita pakai.
Menurut David. C. Korten konsep ekonomi yang dipakai ini dibagi dua yaitu ekonomi koboi dan ekonomi kapal ruang angkasa. Dalam ekonomi koboi, sumber daya alam tersedia secara tidak terbatas. Si koboi dapat melakukan apa saja ketika dia berada di padang rumput yang luas. Dalam keadaan seperti ini memang orang dapat berbuat apa saja dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Lebih lanjut ia jelaskan bahwa bumi kita pada saat ini sudah berubah dari sebuah padang yang luas tempat para koboi mengembara sekarang telah berubah menjadi sebuah kapal ruang angkasa. Karena itu kita tidak dapat lagi mengandalkan sistem ekonomi koboi. Mau atau tidak mau kita harus mengembangkan sistem ekonomi kapal ruang angkasa kalau tidak kita semua akan hancur dan binasa tanpa terkecuali.
Karena itu saatnya pemerintah dan masyarakat Indonesia dibukakan mata kembali bahwa alam semakin tua, iklim berubah, polusi menyesakkan, banyak spesies-spesies bumi terus menghilang, hutan menggurun akibat penebangan, permukaan air laut terus meningkat, jumlah penduduk meningkat, dan kebutuhan pangan menipis. Semua itu bukan mimpi buruk, namun adalah kenyataan-kenyataan yang sudah dihadapi bersama.
Perbaikan yang harus dilakukan adalah perubahan konsep pembangunan yang mengacu pada masalah tranformasi pembangunan. Dengan pendekatan transformasi pembangunan ini diharapkan mengatasi tiga persoalan dasar pembangunan. Pertama, masalah keadilan. Semua orang harus mendapat atau memperoleh kesempatan untuk bekerja sehingga ia beserta keluarganya dapat hidup dengan layak.
Kedua, masalah kesinambungan sumber daya alam, artinya semua lapisan masyarakat harus memelihara sumber daya alam untuk kehidupan generasi mendatang.
Ketiga, masalah partisipasi. Pembangunan harus memberi kesempatan bagi semua kelompok di masyarakat untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya.
Dengan ditanganinya ketiga persoalan di atas maka pembangunan bukan lagi milik atau proyek pemerintah yang diperuntukkan rakyat bawah, atau proyek pemerintah asing yang memberikan pinjaman uang kepada rakyat miskin. Oleh karena itu untuk melaksanakan transformasi pembangunan ini rakyat harus berperan aktif dalam menentukan arah dan program-program pembangunan.*)Kang Naryo
Bencana banjir, dan tanah longsor, yang terjadi saat ini pada intinya adalah akibat kerusakan lingkungan. Penggundulan hutan adalah merupakan faktor penyebab utama. Kawasan hutan yang seharusnya dikonservasi malah dibuka untuk menciptakan mata pencarian baru, baik legal maupun ilegal. Ini termasuk penjarahan lahan dan hutan yang menyebabkan gundulnya hutan. Akibatnya, wilayah yang seharusnya menjadi daerah tangkapan air menjadi rusak.
Kerusakan lingkungan ini bisa semakin besar karena adanya kolaborasi antara perusahaan multinasional dan penguasa serta pengusaha lokal yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan sesaat. Apabila ini dilakukan terus menerus kita hanya bisa menunggu bencana apa yang akan terjadi bagi bangsa ini.
Apakah sebenarnya yang telah terjadi di bangsa ini? Apakah sebenarnya peristiwa tersebut merupakan peringatan dari Tuhan atas segala sikap dan perilaku manusia yang sudah menyimpang dari tata nilai dan norma-norma, sehingga bencana yang datang sekarang ini merupakan hukuman dari Tuhan
Ada dua kemungkinan jawaban yaitu ya dan tidak. Apabila dipahami sebagai penyimpangan tata nilai dan norma yang dominan peristiwa itu akan cenderung dianggap sebagai kontrol sosial (social reality). Namun apabila itu dipahami sebagai seperangkat tata nilai dan tata moral yang marginal misalnya tata nilai dan norma pembangunan kapitalis yang sekuler dan dominan peristiwa tersebut dianggap sebagai produk aktivitas kritik sosial (marginal reality). Sehingga kontrol sosial cenderung dipahami sebagai aktivitas pengendalian, sedangkan kritik sosial dianggap sebagai aktivitas pembebasan dari segala bentuk kontrol dan pengendalian.
Social Reality menurut Berger adalah realitas kehidupan sehari-hari yang merupakan hasil konstruksi kolektif yang telah mengalami proses tertentu berubah menjadi sesuatu yang seakan eksternal objektif. Sedangkan Marginal Reality adalah realitas yang ada di luar kehidupan sehari-hari, baik yang berupa dunia mimpi-mimpi subjektif dan metafisik manusia yang berkaitan dengan kehadiran sebagai sesuatu yang tidak dapat terelakan buat manusia. Sehingga Marginal Reality ini selalu mempengaruhi atau membayangi realitas sehari-hari.
Karena itu defenisi relitas tak akan pernah dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan definisi lain demi kekokohannya. Dalam konteks ini terjadi hubungan keselarasan antara keduanya. Dimana Marginal Reality merupakan kekuatan legitimatsi bagi Social Reality. Namun keselarasan ini tidak dengan sendirinya berarti lenyapnya perbedaan antara keduanya.
Ketika fenomena bencana ini dipahami sebagai Social Reality, maka apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Selama ini upaya pemerintah dalam menanggulangi masalah kerusakan lingkungan, tindakan-tindakan yang dilakukan hanya menghilangkan akibat negatifnya saja. Pokok persoalan sendiri seringkali dihindari. Misalnya upaya penanggulangan kerusakan hutan yang banyak dilakukan adalah dana rehabilitasi/reboisasi untuk memulihkan hutan yang ditebang, inipun kadang dananya masih di korup. Upaya untuk mengurangi pemakaian kayu kurang mendapat perhatian karena bisnis perkayuan merupakan bisnis yang menjanjikan.
Semua ini sebenarnya terjadi karena kesalahan konsep ekonomi yang kita pakai.
Menurut David. C. Korten konsep ekonomi yang dipakai ini dibagi dua yaitu ekonomi koboi dan ekonomi kapal ruang angkasa. Dalam ekonomi koboi, sumber daya alam tersedia secara tidak terbatas. Si koboi dapat melakukan apa saja ketika dia berada di padang rumput yang luas. Dalam keadaan seperti ini memang orang dapat berbuat apa saja dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Lebih lanjut ia jelaskan bahwa bumi kita pada saat ini sudah berubah dari sebuah padang yang luas tempat para koboi mengembara sekarang telah berubah menjadi sebuah kapal ruang angkasa. Karena itu kita tidak dapat lagi mengandalkan sistem ekonomi koboi. Mau atau tidak mau kita harus mengembangkan sistem ekonomi kapal ruang angkasa kalau tidak kita semua akan hancur dan binasa tanpa terkecuali.
Karena itu saatnya pemerintah dan masyarakat Indonesia dibukakan mata kembali bahwa alam semakin tua, iklim berubah, polusi menyesakkan, banyak spesies-spesies bumi terus menghilang, hutan menggurun akibat penebangan, permukaan air laut terus meningkat, jumlah penduduk meningkat, dan kebutuhan pangan menipis. Semua itu bukan mimpi buruk, namun adalah kenyataan-kenyataan yang sudah dihadapi bersama.
Perbaikan yang harus dilakukan adalah perubahan konsep pembangunan yang mengacu pada masalah tranformasi pembangunan. Dengan pendekatan transformasi pembangunan ini diharapkan mengatasi tiga persoalan dasar pembangunan. Pertama, masalah keadilan. Semua orang harus mendapat atau memperoleh kesempatan untuk bekerja sehingga ia beserta keluarganya dapat hidup dengan layak.
Kedua, masalah kesinambungan sumber daya alam, artinya semua lapisan masyarakat harus memelihara sumber daya alam untuk kehidupan generasi mendatang.
Ketiga, masalah partisipasi. Pembangunan harus memberi kesempatan bagi semua kelompok di masyarakat untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannya.
Dengan ditanganinya ketiga persoalan di atas maka pembangunan bukan lagi milik atau proyek pemerintah yang diperuntukkan rakyat bawah, atau proyek pemerintah asing yang memberikan pinjaman uang kepada rakyat miskin. Oleh karena itu untuk melaksanakan transformasi pembangunan ini rakyat harus berperan aktif dalam menentukan arah dan program-program pembangunan.*)Kang Naryo
Posting Komentar