TRANSAKSI politik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak hanya diwarnai taburan janji, limpahan bantuan, tetapi juga tebaran ayat-ayat tentang kekuasaan. Ayat-ayat kekuasaan terselip di antara dalil-dalil pemenangan kandidat. Tidak dijelaskan ayat itu bersumber dari mana, sebab tujuan sebenarnya bukan mendakwahi pengikutnya agar menjadikan agama sebagai rujukan dalam memilih pemimpin. Tujuan sebenarnya adalah meraih hasil yang menguntungkan (ceteris paribus) bagi kandidat yang diusung.
Keharusan menjadikan hari ini lebih baik dari kemarin adalah dalil yang sering dikutip kekuatan yang menantang incumbent dalam pilkada. Perubahan menjadi dalil suci.
Mengganti pemimpin dengan kualitas yang biasa-biasa saja adalah amalan yang dianjurkan. Meski figur baru yang diusung belum sepenuhnya teruji, nilai kebaikan dilekatkan pada keharusan melakukan ikhtiar.
Sebaliknya, kekuatan pengusung incumbent kerap menebar pesan tentang kehati-hatian dalam melakukan perubahan. Bahwa mencegah kerugian harus lebih diutamakan ketimbang mengejar keuntungan. Maksudnya jelas, daripada memilih pemimpin yang belum pasti kapasitasnya, mempertahankan pemimpin yang sudah jelas rekam jejak pengalamannya harus lebih diutamakan, meski prestasinya terbilang biasa-biasa saja.
Meski perang ayat telah berkurang derajatnya, perang dalil tentang kekuasaan masih kerap terjadi dalam proses komunikasi politik pilkada ini. Pilihan ayat kekuasaan sebagai bahasa politik bukan lagi hak eksklusif para kiai atau santri. Mereka yang memang pernah mengaji akan fasih melafalkannya. Bahkan mereka yang sekadar menuturkan apa yang pernah didengarnya, tak kalah meyakinkan.
Kemunculan dalil-dalil yang disandarkan pada agama atau tokoh agama, menarik dikaji. Kemunculannya mengesankan transaksi politik pilkada masih berada dalam wilayah emosional, belum bergeser ke arah rasional.
Itulah sebabnya, kandidat pun kerap dituntut tidak berbicara melalui logika semata, tapi yang dipertanyakan justru logistiknya. Uniknya, tuntutan tadi bukan semata muncul dari calon pemilih, tetapi juga dari kalangan "dalam" yakni tim sukses dan sebagian aktivis partai pengusung.
Meski berbeda bentuk, pilihan menggunakan ayat atau menabur "logistik" sebenarnya memiliki makna serupa. Dua tindakan ini dilandasi pemahaman tentang sosiologi pemilih yang dipercaya masih emosional dan reaktif.
Agama dan Politik
Agama dan politik memiliki relasi yang tidak sederhana. Menarik persoalan politik yang sejatinya rasional (bisa diperhitungkan secara akal) ke wilayah agama yang "gaib" atau "mistis" kerap terjadi di berbagai belahan dunia. Mistifikasi politik bukan hanya terjadi di negara-negara yang menganut teokrasi. Praktik ini pun kerap ditemui di negara-negara yang mengklaim demokrasi.
Berbagai hal sakral atau gaib selalu hadir dalam perpolitikan dan terkait satu sama lain. Kemunculan hal-hal sakral bukan hanya ditemui dalam sistem politik praindustri, tetapi juga di dalam sistem yang dikembangkan negara-negara industri.
Di Eskimo, misalnya, seorang dukun merupakan broker politik yang penting. Keahliannya dalam bidang supranatural berpengaruh terhadap lingkup kekuasaan politiknya.
Di Israel, praktik politik tersambung kuat ke dalam agama dan tradisi negaranya. Simbol-simbol sakral pun muncul dalam politik Amerika sejak negara ini mendeklarasikan kemerdekaannya. Bahkan konstitusi Amerika mengesahkan kemerdekaannya berdasarkan prinsip ketuhanan.
Jadi, bukan hal aneh bila kiai malang-melintang dalam politik. Banyak kosakata dalam wacana politik Indonesia dipungut dari wilayah agama. Bahkan kadang-kadang peristiwa politik pun dibumbui ritual agama demi meyakinkan pihak lain bahwa tindakannya memiliki basis sakral.
Pemakaian ayat-ayat kekuasaan pun bukan barang haram. Namun karena kemaslahatannya, baik bagi umat dan marwah agamanya, maka kearifan untuk tidak gampangan menjual ayat dalam kampanye amat diperlukan.
Dalam kajian antropologi politik, peranan agama dan simbol-simbol supranatural di dalam politik memainkan arti penting, terutama dalam tiga hal berikut. Pemerintah mungkin secara langsung berdasarkan agama. Pilihan ini mewujud dalam teokrasi.
Agama pun bisa dijadikan landasan bagi struktur, landasan kepercayaan, atau sumber tradisi yang bisa dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan. Namun, pilihan paling lazim adalah menjadikan agama sebagai alat legitimasi oleh para elite yang berkuasa atau kekuatan yang mengejar kekuasaan.
Pemakaian ayat, dalil, atau ungkapan yang dinisbatkan pada agama tertentu sebenarnya identik dengan kemunculan kiai atau tokoh lain yang merepresentasikan agama. Kemunculan simbol-simbol tadi telah mengandung pesan, lebih dari makna yang terkandung dalam substansi yang sebenarnya.
Tidak heran bila kosakata silaturahmi lebih sering digunakan ketimbang pertemuan politik. Sorban pun menjadi properti wajib bagi tokoh yang akan nongkrong di baliho, meski profesi sesungguhnya jauh tina bedug, anggang tina dulag.
Membebaskan panggung politik dari anasir-anasir agama tidak semudah yang dibayangkan kelompok yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Bahkan, bagi sebagian kalangan, memisahkan agama dan wilayah politik bukan saja sulit, tapi dipandang tidak perlu.
Fakta mengungkapkan, bagi sebagian pemilih di tanah air dikotomi tua - muda tidak begitu penting. Demikian juga dikotomi sipil - militer sudah melonggar. Namun dikotomi Islam - non-Islam masih dipandang sensitif dan penting dipertimbangkan sebagai variabel penting keputusan untuk memilih.
Bagi sebagian kelompok, bila menerapkan sistem politik menurut kaidah agama dipandang belum mungkin, maka mengambil anasir-anasir agama untuk diformulasikan ke dalam kaidah hukum dan politik sudah dianggap cukup. Adaptasi ajaran politik pun terjadi di sepanjang garis keyakinan agama.
Keputusan untuk memilih melibatkan variabel yang kompleks. Diperlukan sentuhan personal untuk merebut dukungan. Lebih-lebih dalam situasi ekonomi yang mencekik, kandidat yang bisa memberi harapan bagi perbaikan yang dirasakan akan lebih diapresiasi.
Tak pelak lagi, kemiskinan, pengangguran, melambungnya harga-harga kebutuhan pokok menjadi ayat penting bagi sebagian tim sukses. Seakan keputusan untuk memilih kandidat yang diusungnya menjadi obat mujarab bagi semua persoalan yang melilit bangsa dan daerahnya.
Bagi pemilih, mengganti atau mempertahankan kepala daerah sebaiknya tidak digunakan sebagai kacamata dalam melihat realitas yang sebenarnya. Bila perubahan menjadi kacamata, maka semua akan tampak buruk. Maka mengganti pemimpin menjadi kata wajib, mendahului petimbangan apa pun. Sebaliknya, bila mempertahankan pejabat yang berkuasa menjadi kacamata, semua yang dilakukan penguasa akan dipandang berhasil meski kegagalan menohok mata.***
-- KARIM SURYADI,
Dosen Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Mengganti pemimpin dengan kualitas yang biasa-biasa saja adalah amalan yang dianjurkan. Meski figur baru yang diusung belum sepenuhnya teruji, nilai kebaikan dilekatkan pada keharusan melakukan ikhtiar.
Sebaliknya, kekuatan pengusung incumbent kerap menebar pesan tentang kehati-hatian dalam melakukan perubahan. Bahwa mencegah kerugian harus lebih diutamakan ketimbang mengejar keuntungan. Maksudnya jelas, daripada memilih pemimpin yang belum pasti kapasitasnya, mempertahankan pemimpin yang sudah jelas rekam jejak pengalamannya harus lebih diutamakan, meski prestasinya terbilang biasa-biasa saja.
Meski perang ayat telah berkurang derajatnya, perang dalil tentang kekuasaan masih kerap terjadi dalam proses komunikasi politik pilkada ini. Pilihan ayat kekuasaan sebagai bahasa politik bukan lagi hak eksklusif para kiai atau santri. Mereka yang memang pernah mengaji akan fasih melafalkannya. Bahkan mereka yang sekadar menuturkan apa yang pernah didengarnya, tak kalah meyakinkan.
Kemunculan dalil-dalil yang disandarkan pada agama atau tokoh agama, menarik dikaji. Kemunculannya mengesankan transaksi politik pilkada masih berada dalam wilayah emosional, belum bergeser ke arah rasional.
Itulah sebabnya, kandidat pun kerap dituntut tidak berbicara melalui logika semata, tapi yang dipertanyakan justru logistiknya. Uniknya, tuntutan tadi bukan semata muncul dari calon pemilih, tetapi juga dari kalangan "dalam" yakni tim sukses dan sebagian aktivis partai pengusung.
Meski berbeda bentuk, pilihan menggunakan ayat atau menabur "logistik" sebenarnya memiliki makna serupa. Dua tindakan ini dilandasi pemahaman tentang sosiologi pemilih yang dipercaya masih emosional dan reaktif.
Agama dan Politik
Agama dan politik memiliki relasi yang tidak sederhana. Menarik persoalan politik yang sejatinya rasional (bisa diperhitungkan secara akal) ke wilayah agama yang "gaib" atau "mistis" kerap terjadi di berbagai belahan dunia. Mistifikasi politik bukan hanya terjadi di negara-negara yang menganut teokrasi. Praktik ini pun kerap ditemui di negara-negara yang mengklaim demokrasi.
Berbagai hal sakral atau gaib selalu hadir dalam perpolitikan dan terkait satu sama lain. Kemunculan hal-hal sakral bukan hanya ditemui dalam sistem politik praindustri, tetapi juga di dalam sistem yang dikembangkan negara-negara industri.
Di Eskimo, misalnya, seorang dukun merupakan broker politik yang penting. Keahliannya dalam bidang supranatural berpengaruh terhadap lingkup kekuasaan politiknya.
Di Israel, praktik politik tersambung kuat ke dalam agama dan tradisi negaranya. Simbol-simbol sakral pun muncul dalam politik Amerika sejak negara ini mendeklarasikan kemerdekaannya. Bahkan konstitusi Amerika mengesahkan kemerdekaannya berdasarkan prinsip ketuhanan.
Jadi, bukan hal aneh bila kiai malang-melintang dalam politik. Banyak kosakata dalam wacana politik Indonesia dipungut dari wilayah agama. Bahkan kadang-kadang peristiwa politik pun dibumbui ritual agama demi meyakinkan pihak lain bahwa tindakannya memiliki basis sakral.
Pemakaian ayat-ayat kekuasaan pun bukan barang haram. Namun karena kemaslahatannya, baik bagi umat dan marwah agamanya, maka kearifan untuk tidak gampangan menjual ayat dalam kampanye amat diperlukan.
Dalam kajian antropologi politik, peranan agama dan simbol-simbol supranatural di dalam politik memainkan arti penting, terutama dalam tiga hal berikut. Pemerintah mungkin secara langsung berdasarkan agama. Pilihan ini mewujud dalam teokrasi.
Agama pun bisa dijadikan landasan bagi struktur, landasan kepercayaan, atau sumber tradisi yang bisa dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan. Namun, pilihan paling lazim adalah menjadikan agama sebagai alat legitimasi oleh para elite yang berkuasa atau kekuatan yang mengejar kekuasaan.
Pemakaian ayat, dalil, atau ungkapan yang dinisbatkan pada agama tertentu sebenarnya identik dengan kemunculan kiai atau tokoh lain yang merepresentasikan agama. Kemunculan simbol-simbol tadi telah mengandung pesan, lebih dari makna yang terkandung dalam substansi yang sebenarnya.
Tidak heran bila kosakata silaturahmi lebih sering digunakan ketimbang pertemuan politik. Sorban pun menjadi properti wajib bagi tokoh yang akan nongkrong di baliho, meski profesi sesungguhnya jauh tina bedug, anggang tina dulag.
Membebaskan panggung politik dari anasir-anasir agama tidak semudah yang dibayangkan kelompok yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Bahkan, bagi sebagian kalangan, memisahkan agama dan wilayah politik bukan saja sulit, tapi dipandang tidak perlu.
Fakta mengungkapkan, bagi sebagian pemilih di tanah air dikotomi tua - muda tidak begitu penting. Demikian juga dikotomi sipil - militer sudah melonggar. Namun dikotomi Islam - non-Islam masih dipandang sensitif dan penting dipertimbangkan sebagai variabel penting keputusan untuk memilih.
Bagi sebagian kelompok, bila menerapkan sistem politik menurut kaidah agama dipandang belum mungkin, maka mengambil anasir-anasir agama untuk diformulasikan ke dalam kaidah hukum dan politik sudah dianggap cukup. Adaptasi ajaran politik pun terjadi di sepanjang garis keyakinan agama.
Keputusan untuk memilih melibatkan variabel yang kompleks. Diperlukan sentuhan personal untuk merebut dukungan. Lebih-lebih dalam situasi ekonomi yang mencekik, kandidat yang bisa memberi harapan bagi perbaikan yang dirasakan akan lebih diapresiasi.
Tak pelak lagi, kemiskinan, pengangguran, melambungnya harga-harga kebutuhan pokok menjadi ayat penting bagi sebagian tim sukses. Seakan keputusan untuk memilih kandidat yang diusungnya menjadi obat mujarab bagi semua persoalan yang melilit bangsa dan daerahnya.
Bagi pemilih, mengganti atau mempertahankan kepala daerah sebaiknya tidak digunakan sebagai kacamata dalam melihat realitas yang sebenarnya. Bila perubahan menjadi kacamata, maka semua akan tampak buruk. Maka mengganti pemimpin menjadi kata wajib, mendahului petimbangan apa pun. Sebaliknya, bila mempertahankan pejabat yang berkuasa menjadi kacamata, semua yang dilakukan penguasa akan dipandang berhasil meski kegagalan menohok mata.***
-- KARIM SURYADI,
Dosen Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Posting Komentar