Headlines News :
Home » » Bumi Manusia

Bumi Manusia

Written By Kang Naryo on Minggu, 16 Mei 2010 | 13.14

BUMI MANUSIA adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980.

Buku ini ditulis Pramoedya Ananta Toer ketika masih mendekam di Pulau Buru. Sebelum ditulis pada tahun 1975, sejak tahun 1973 terlebih dahulu telah diceritakan ulang kepada teman-temannya.

Setelah diterbitkan, Bumi Manusia kemudian dilarang beredar setahun kemudian atas perintah Jaksa Agung. Sebelum dilarang, buku ini sukses dengan 10 kali cetak ulang dalam setahun pada 1980-1981. Sampai tahun 2005, buku ini telah diterbitkan dalam 33 bahasa. Pada September 2005, buku ini diterbitkan kembali di Indonesia oleh Lentera Dipantara.

Buku ini melingkupi masa kejadian antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa ini adalah masa munculnya pemikiran politik etis dan masa awal periode Kebangkitan Nasional. Masa ini juga menjadi awal masuknya pemikiran rasional ke Hindia Belanda, masa awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga merupakan awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Perancis.

Sinopsis : Bumi Manusia, sebagai periode penyemaian dan kegelisahan seorang muda bernama Mingke. Ia merupakan seorang muda berdarah priyayi yang sedang menamatkan sekolah HBS di Surabaya. Pola pikirnya yang kritis menjadikannnya lebih dewasa ketimbang anak seusianya. Selain itu ia mampu keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka. Di sudut lain, ia malah membelah jiwa ke-Eropa-an yang di dapatnya dari bangku sekolah, yang kala itu menjadi simbol dan kiblat ilmu pengatahuan dan peradaban.

Cerita ini dibuka saat Mingke berkesempatan berkunjung ke rumah seorang Belanda kaya, bernama Herman Mallena, atas ajakan temannya Robert Shuurhof. Belanda ini terkenal kaya karena memiliki perkebunan yang luas dengan beberapa buah pabrik di banyak tempat.

Saat berkunjung, ia tak menemui Mallena, tapi malah bertemu dengan istrinya yang anggun, bernama Nyai Ontosoroh dan anak gadisnya yang cantik; Annelies Mallena. Dari pertemuan pertama ini pula semua berawal.

Mingke dengan kesederhanaannya berhasil merebut simpati gadis jelita itu, hingga akhirnya mereka saling jatuh cinta. Percintaan ini pun disetujui oleh ibunya –Nyai Ontosoroh--, yang belakangan menganggap Mingke sebagai anaknya.

Sementara itu, tanpa latar belakang yang jelas Herman Mallena telah meninggalkan mereka begitu saja. Kini, tinggallah Nyai Ontosoroh yang awalnya bernama Sanikem bersama dua orang anak, yakni; Robert Malena dan adiknya Annelies hasil pernikahannya dengan Herman.

Sekilas dikisahkan bagaimana Nyai Ontosoroh yang kala itu masih berumur 14 tahun harus rela dijual ayahnya –-Sastrotomo-- kepada seorang tuan besar bernama Mallena, demi peningkatan jenjang karir dari juru tulis menjadi seorang kassier.

Anehnya, Nyai Ontosoroh ini kurang bersahabat dengan anak lelakinya -–Robert Mallena--. Tingkah Robert yang urakan dan hanya mementingkan diri sendiri membuat Nyai tak ambil pusing dengan semua tindak tanduknya. Ternyata, kejadian ini bermula dari tidak harmonisnya hubungan orangtua mereka, yang berdampak pada perkembangan psikologi Robert. Lambat laun sikapnya cenderung mengikuti jejak ayahnya yang suka menghambur-hamburkan uang dengan kegiatan mabuk-mabukan dan kerap singgah di lokalisasi.

Konflik semakin memuncak saat Mingke ditawarin menginap dan tinggal di rumah mewah itu. Robert yang tahu keadaan itu, langsung tidak terima. Ia pun mengancam Mingke, jika ia melakukan hal-hal diluar kepatutan.

Sementara itu, di luar sana, tanggapan orang bermacam-macam. Ada yang menganggap Mingke jatuh hati dengan kecantikan Nyai Ontosoroh yang kala itu di cap negatif. Dalam pandangan masyarakat, Nyai-nyai tak lebih dari gundik yang dipelihara oleh seorang tuan besar, karena itu derajatnya sangat rendah.

Kabar ini pula yang membuat keluarga, terutatama ayahandanya, yang kala itu mendapat promosi Bupati, menjemputnya dengan sebuah skenario kejutan. Mingke pun harus di bawa paksa dari rumah Nyai dalam keadaan tak siap, seakan-akan menjadi penjahat yang paling di cari-cari.

Kehebatan roman ini pun terjadi saat adegan antara Mingke dengan ayahnya yang sangat sentimentil; Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan para punggawa terhadap kakekku dan nenekku, terhadadap orangtuaku saat lebaran tiba. Dan yang sekarang tak juga diturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah, serasa hilang semua ilmu pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini.

Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu... Sembah pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh... anak cucu-ku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.

Singkat kata, Mingke akhirnya menikah dengan pujaan hatinya, Annelies, secara Islam. Kebahagiaan itu seakan jadi pertanda masa depan yang lebih baik. Semua orang memberi salam. Namun, kebahagiaan itu tak lama, karena Nyai Ontosoroh masih terlibat peradilan perihal pengasuhan Annelies yang menurut hukum Belanda Annelies harus kembali ke Belanda karena orangtuanya adalah seorang Belanda.

Hukum Belanda juga tak mengakui pernikahan yang telah berlangsung dan menganggap Annelies masih anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah menikah. Dengan segala upaya Nyai mempertahankan satu-satunya harta berharganya. Kengerian semakin bertambah, ketika dengan jelas digambarkan, bagaimana mereka tak punya kekuatan lagi untuk melawan.

Di bawah tangga telah berkerumun Maresose. Dan kami dihalau tak boleh mendekat. Maka kami pun hanya dapat melihat mahluk tersayang itu di tuntun seperti seekor sapi, dan berjalan lambat-lambat, anak tangga demi anak tangga.

Mungkin begini begini juga perasaa ibu Mama (baca: Nyai Ontosoroh) diperlakukan oleh mama-nya dulu, karena tak mampu membelanya dari kekuasaan Tuan Mallena. Tapi bagaimana perasaan Annelies? Benarkah ia sudah melepaskan segalanya, juga perasaannya sendiri?

Aku sudah tak tahu sesuatu. Tiba-tiba kudengar tangisku sendiri. Bunda putramu telah kalah. Putramu tersayang tak kan lari. Bunda, aku bukan kriminil, biar pun tak mampu membela istri sendiri, menantumu. Sebegini lemah pribumi di hadapan Eropa?

Eropa! Kau guruku, begini macam perbuatanmu? Sampai-sampai istriku yang tak tahu banyak tentangmu, kini kehilangan kepercayaan pada dunia yang kecil; --dunia tanpa keamanan dan jaminan bagi dirinya sendiri—

Aku panggil-panggil dia. Annelies tidak menjawab. Menoleh pun tidak.
“aku akan segera menyusul, Ann,” pekikku
Tanpa jawab tanpa toleh.
“juga aku, Ann, besarkan hatimu!” seru mama, suaranya parau, hampir-hampir tak keluar dari kerongkongan.

Pintu depam di persada sana di buka. Sebuah kereta Gubermen telah menunggu dalam apitan Maresose berkuda. Mama dan aku tak diperkenankan melewati pintu.

Sekilas masih dapat kami lihat Annelies di bantu menaiki kereta. Ia tetap tak menengok, tak bersuara. Pintu ditutup dari luar.

Sayup-sayup terdengar roda kereta menggiling kerikil, makin lama makin jauh. Akhirnya tak terdengar lagi. Annelies dalam pelayaran ke nergeri sri Ratu Wilhelmina. Kami menundukkan kepala di belakang pintu.

“Kita kalah, ma,” bisikku.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Gubuk Maya Kang Naryo | Mas Template
Copyright © 2009. GubuK Maya | Kang Naryo - All Rights Reserved
Created by Gubuk Maya | Kang Naryo
Powered by Blogger