Dari moment itu pula, pencerahan dapat dilakukan. Dimana arahnya yaitu menguak tentang pemahaman Desa Mandiri. Sesuai amanat UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 Kepala Desa nantinya harus mampu mengimbangi laju perkembangan pemerintahan. Artinya profesionalitas seorang Kepala Desa jauh sekali lebih penting jika dibandingkan dengan aturan sebelumnya. Kepala Desa dituntut mempunyai inisiatif untuk mengoptimalkan potensi desa, tertib administrasi, akuntabel (bertanggung jawab) dengan mekanisme pertanggungjawaban sesuai dengan prosedurnya.
Persoalannya sekarang apakah Desa sudah mandiri dalam melaksanakan Governance atau tidak? Jawabannya mungkin sudah jelas: belum mandiri. Tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah: bagaimana kemandirian desa dalam melaksanakan Governance itu dapat didorong sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakatnya?
Kemandirian Desa dalam meningkatkan kesejahteraan para warganya terletak pada kemampuan komponen Governance yang ada dalam desa itu untuk mengorganisir sendiri semua potensi yang tersedia (Embedded) dalam lingkungannya. Namun tanpa kepiawaian birokrasi dan kemauan kuat dari pemangku jabatan politis, jangan-jangan malah “jauh panggang dari api”.
Karena itu terpilihnya seorang Kepala Desa hendaknya dapat memberikan kontribusi optimal dan signifikan terhadap perbaikan kualitas pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Kepala Desa harus mampu mendesain birokrasi pemerintahan desa dari semula sebuah lembaga yang mempunyai kinerja buruk, tidak lincah dan telmi (telat mikir) mengantisipasi perubahan menjadi birokrasi yang produktif, responsif, cekatan serta dihuni orang-orang yang berkapabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dipercayakan kepadanya. Kapabilitas itu antara lain terwujud dalam bentuk kemampuan mereka untuk menggerakkan secara efektif gerbong birokrasi lokal, sehingga performanya meningkat dan yang tak kalah pentingnya adalah kesediaan dari organisme birokrasi itu sendiri untuk melakukan perubahan.
Dari sisi konteks kebijakan, Peraturan Desa (Perdes) harus berbasis masyarakat, artinya bahwa setiap Perdes harus relevan dengan konteks kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, Perdes yang dibuat bukan sekadar merumuskan keinginan elite desa atau hanya untuk menjalankan instruksi dari pemerintah supradesa. Secara substansi, prinsip dasarnya bahwa Perdes lebih bersifat membatasi yang berkuasa dan sekaligus melindungi rakyat yang lemah. Paling tidak, Perdes harus memberikan ketegasan tentang akuntabilitas pemerintah desa dan BPD dalam mengelola pemerintahan desa. Dipandang dari “manfaat untuk masyarakat”, Perdes dimaksudkan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat: memberi ruang bagi pengembangan kreasi, potensi dan inovasi masyarakat; memberikan kepastian masyarakat untuk mengakses terhadap barang-barang publik; memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Sedangkan untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, Perdes harus bersifat membatasi: mencegah eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan warga masyarakat; melarang perusakaan terhadap lingkungan, mencegah perbuatan kriminal; mencegah dominasi suatu kelompok kepada kelompok lain, dan lain sebagainya.
Sesuai dengan logika demokrasi, Perdes berbasis masyarakat disusun melalui proses siklus kebijakan publik yang demokratis: artikulasi, agregasi, formulasi, konsultasi publik, revisi atas formulasi, legislasi, sosialisasi, implementasi, kontrol dan evaluasi. Dalam setiap sequen ini, masyarakat mempunyai ruang (akses) untuk terlibat aktif menyampaikan suaranya. Artikulasi adalah proses penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh BPD maupun pamong desa. Agregasi adalah proses mengumpulkan, mengkaji dan membuat prioritas aspirasi yang akan dirumuskan menjadi Perdes. Formulasi adalah proses perumusan rancangan Perdes yang bisa dilakukan oleh BPD dan/atau oleh Pemerintah Desa. Konsultasi adalah proses dialog bersama antara Pemerintah Desa dan BPD dengan masyarakat. Masyarakat mempunyai ruang untuk mencermati, mengkritisi, memberi masukan dan merevisi terhadap naskah Raperdes. Pemerintah desa dan BPD wajib melakukan revisi terhadap raperdes berdasarkan umpan balik dari masyarakat dalam proses konsultasi sebelumnya. Naskah Raperdes yang sudah direvisi kemudian disahkan (legislasi) menjadi perdes oleh Pemerintah Desa dan BPD. Sebelum Perdes diimplementasikan, maka Pemerintah Desa dan BPD wajib melakukan sosialisasi publik, untuk memberikan informasi tentang perdes agar masyarakat tahu dan siap ikut melaksanakan perdes itu. Jika sosialisasi sudah mantap, maka perdes bisa dijalankan (implementasi). Berbarengan dengan proses implementasi, ada proses kontrol dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah desa, BPD dan juga masyarakat. Penilaian berbagai pihak ini menjadi umpan balik untuk bahan inovasi terhadap implementasi, dan jika masalah terlalu berat maka umpan balik bisa digunakan sebagai pijakan untuk merevisi Perdes.
Pemerintah Desa, tentu, tidak lagi merupakan institusi tradisional yang dibingkai dengan tradisi komunalisme. Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern yang bertugas mengelola barang-barang publik, termasuk melakukan pungutan pajak pada warga masyarakat. Sebagai institusi modern, pemerintah desa tidak cukup hanya memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi harus membangun legitimasi yang dibangun dari dimensi kinerja politik dan kinerja ekonomi. Legitimasi ini harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan dan kekayaan secara personal di tangan kepala desa, seraya dilembagakan dalam sistem yang impersonal. Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas.
Pertama, akuntabilitas menunjuk pada institusi dam proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya. BPD dan masyarakat adalah aktor yang melakukan kontrol untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah desa. Dalam melakukan kontrol kebijakan dan keuangan, BPD mempunyai kewenangan dan hak untuk menyatakan pendapat, dengar pendapat, bertanya, penyelidikan lapangan ruang bagi pengembangan kreasi, potensi dan memanggil pamong desa. Ketika ruang BPD ini dimainkan dengan baik secara impersonal, maka akan memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap akuntabilitas pemerintah desa. Meskipun tidak ditegaskan dalam perangkat peraturan, menurut standar proses politik, masyarakat juga mempunyai ruang untuk melalukan kontrol dan meminta pertanggungjawaban pemerintah desa. Pemerintah desa, sebaliknya, wajib menyampaikan pertanggungjawaban (Laporan Pertanggungjawaban- LPJ) tidak hanya kepada BPD, melainkan juga kepada masyarakat. Ketika kepala desa keliling beranjangsana ke berbagai komunitas tidak hanya digunakan untuk membangun legitimasi simbolik, tetapi juga sebagai arena untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada warga.
Kedua, transparansi (keterbukaan) dalam pengelolaan kebijakan, keuangan dan pelayanan publik. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau atau menerima umpan balik dari masyarakat. Transparansi tentu mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan desa, termasuk alokasi anggaran desa. Sebagai sebuah media akuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempit peluang korupsi di kalangan pamong desa karena terbukanya segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.
Ketiga, responsivitas atau daya tanggap pemerintah desa. Pemerintah desa dan BPD harus mampu dan tanggap terhadap aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai preferensi utama pengambilan keputusan di desa. Responsif bukan hanya berarti pamong desa selalu siap-sedia memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat membutuhkan bantuan dan pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan desa. Pemerintah desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau hanya bersandar pada keinginan kepala desa sendiri, berarti pemerintah desa itu tidak responsif. Apakah betul pembangunan prasarana fisik desa merupakan kebutuhan mendesak (prioritas) seluruh warga masyarakat? Apakah rumah tangga miskin membutuhkan jalan-jalan yang baik dan rela membayar pungutan untuk proyek pembangunan jalan? Karena itu, pemerintah desa bisa disebut responsif jika membuat kebijakan dan mengalokasikan anggaran desa secara memadai untuk mengangkat hidup rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi produktif rumah tangga.
Membangun masyarakat partisipatif di desa tidak harus berangkat dari titik nol. Meski sebagian besar organisasi di desa bersifat korporatis (bentukan dari atas secara seragam), tetapi organisasi itu bisa dibingkai ulang dengan bersandar pada prinsip partisipasi. Masyarakat bisa memanfaatkan organisasi-organisasi lokal (RT, RW, LKMD, LPMD, PKK, arisan, karang taruna, kelompok tani, dan lain-lain), bukan hanya untuk kegiatan seremonial, tetapi juga bisa digunakan sebagai basis partisipasi dalam pembangunan dan pemerintahan desa.
Karena itu pergi dan temuilah masyarakatmu, hiduplah dan tinggallah bersama mereka, cintai dan berkaryalah bersama mereka. Mulailah dari apa yang telah mereka miliki, buat rencana lalu bangunlah rencana itu dari apa yang mereka ketahui, sampai akhirnya, ketika pekerjaan usai, mereka akan berkata: "KAMILAH” yang telah mengerjakannya.(KanG Naryo)
Posting Komentar