Headlines News :
Home » » Kerakap Tumbuh di Batu-batu

Kerakap Tumbuh di Batu-batu

Written By Kang Naryo on Senin, 22 Juni 2020 | 10.52

Hidup adalah Pilihan:
Mengalah, Menerima, atau Melawan

Oleh: Cak Sariban


“Hidup adalah pilihan”. Demikian ujaran yang sering kita dengar-rasakan. Kita dapat menentukan hidup kita melalui pilihan kita. Pilihan para penyair dalam antologi ini--yang jumlahnya 27 penyair: Joyo Juwoto, Eva Septiana R.A., Komet Djanaka Putra, Andriana Tanti, Indah H Wahyuni, Tri Asih, Budi Wasasih, Endang Saptarina, Indah H Wahyuni, Alkhorida, Lilik Dyah Wulandari, Moch. Rif’an, Tri Mariani, Muflihatin Mara, Moch. Sunaryo, Setyo Pamuji, Abdul Syakur, Nur Hidayah, Oktian Ika Ardhiani, Titik Istiana, Siti Umi Choiriyah, Siti Fatimah Suyono, Nursholihah, M. Choirur Rofiq, Didin Irawati, Sriyatni, dan tentu saya sederi Cak Sariban--, memilih jalan hidup gembira. Hal ini dapat kita rasakan dari sajak-sajak yang mereka tulis.

Gembira. Kesan demikian juga kurasakan saat membaca puluhanpuisi karya teman-teman saat menulis kurasi ini. Mengapa saya gembira membacanya? Jawabannya mudah. Karena puisi-puisi ini ditulis dengan perasaan gembira.

Energi dalam segala teori bersifat menular. Penyair yang gembira saat menulis karya berefek kegembiraan pada pembacanya. Kegembiraan adalah modal kreativitas. Saya meyakini teman—teman penullis puisi ini telah memiliki pengalaman menullis yang sedikit panjang. Keistikomahan menulis teman-teman ini karena mereka telah berhasil merawat kegembiraaan dalam proses menulis.

Lihatlah rasa gembira para penyair dalam bait-bait sajaknya. Saya mencontohkan dua penyair yang memiki gairah menulis dengan keriangan, kegembiraan, kerilekan. Dua penyair itu ya kalau tidak salah representasi  semua penyair yang ada dalam antologi ini. Penyair Nursholihah melalui saja “Ayat-Ayat Kenyang” dan M. Choirur Rofiq melalui sajak  “Merajut Satu Negeriku” merasakan rasa girang riang dalam kreativitasnya.

Berikut pengakuan Mbak Nursholihah, penyair penyuka kacamata lebar ini, dalam sajaknya: Sore ini aku kegirangan/Tadi pagi beras, kelapa, kunyit, garam, sudah terbeli/Buat ditanak besok dini hari sayang .../Nasi kuning, sambal kelapa, ayam bakar/Dan jajanan tempo dulu, uler-uler/Itu hanya nama/Bukan ulat pemakan daun padi/Padiku hamil/Tubuhnya membengkak/Daunnya hijau segar menggoda/Ya .../Menggoda...//

Mas Choirur Rofiq, penyair, pegiat literasi, dan penggerak Ikatan Guru Indonesia (IGI) Cabang Tuban ini, juga beriang hati dengan nada puisinya sebagai pengkhotbah. Cak Rofiq melalui sajak “Merajut Satu Negeriku” bersenandung begini: Tuan-Tuan,/Tahukah Tuan kalau Negeri ini darahku?//Kerajaan demi Kerajaan dirajut dalam indahnya Negeri kesatuan/Itu bersimbah darah Tuan!//Tuan-Tuan,/Tahukah Tuan bahwa kebulatan tekad kami/telah berkumandang seantero Jagad ini//

Kegembiraannya mengajak “NKRI harga mati” musabab Cak Rofiq mengakhiri puisinya dengan gembira begini: Tuan-Tuan,/Plis.....!/Janganlah buat kami marah/Janganlah buat kami pongah/Janganlah buat kami membabi buta untuk berdendam kesunat antaranakbangsa/Jagalah Negeri kami, jagalah anak cucu kami, jagalah persatuan Bangsa kami, dan NKRI adalah harga mati//

Maka dapatlah saya belajar dari para penyair, bahwa untuk bisa membuat puisi,  gembiralah. Gembira membawa efek rileks. Rileks memungkinkan kerja kreatif datang. Bismillah gembira ya para penyair Tuban. Hehehe.

Darah Ronggolawe: Keberanian

Fakta lain menunjukkan catatan agak penting gelagat kreativitas penyair muda dalam antologi ini adalah upaya menunjukkan eksistensi trah wong  Tuban. Orang Tuban dalam terminologi genologis adalah pemilik jiwa berani, melawan, dan reaktif. Jika kita membaca sejarah karakter orang Tuban yang demikian tidak dapat dilepaskan dengan sejarah kontroversi Mbah Ronggolawe, pemimpin pertama kadipaten ini sebagai sempalan kekuasaan Majapahit. 

Mari kita simak dengan sungguh sajak Komet Djanaka Putra berjudul “Sebatang Jagung di Depan Gedung  DPR”.
...
Gelap dalam gugusan medung kotaku
seperti tangisan banyi pada malam hari,
yang merindukan air susu ibunya
renggekkan pecah di ujung gerimis yang telah reda
....
Gemuruh gelombang lebih menderu suara sore itu
pada emperan kota, berbondong-bondong para petani dengan wajah legam
sebatag jagung mengadu tanpa restu dan temu
suara meledak di atas jalan kota pecah tanpa sapa, kemacetan birokrat dalam gedung seperti macetnya jalan ibu kota sore itu

“Kami, adalah petani yang tak meragukan atas kehidupan dan kesejahteraan kami
lantas kenapa Bapak meragukan kesejahteraan kami?
Biar sebatang jagung kami tanam, kami tak akan kelaparan di atas tanah kami”
Suara lantang memecah  langit-langit di kotaku.
...

“Cah Tuban Dilawan”. Setidaknya jargon ini cocok dalam memberikan apresiasi sajak penyair muda dan akademisi yang sedang menggarap proyek kecil tentang kemaritiman Tuban ini. Orang khas tuban tidak bisa diam atas ketiranian. Orang Tuban kukuh atas  pilihannnya, meski itu penderitaan dalam penilaian umum.

Komet sebagai representasi “manusia kecil Tuban’ begitu gagahnya atas keyakinan hidup dengan berkoar: “Kami, adalah petani yang tak meragukan atas kehidupan dan kesejahteraan kami/lantas kenapa Bapak meragukan kesejahteraan kami?/Biar sebatang jagung kami tanam, kami tak akan kelaparan di atas tanah kami”//

Orang-orang pemberani, penuh keyakinan, dalam hidup  juga tersaji dalam puisi-puisi: Eva Septiana RA. Dalam sajak “Para Pejalan Malam”, Eva begitu gagahnya mewakili nelayan Tuban menulis penuh keberanian:

...
para pejalan malam menebarkan jala
mendayung asa di samudera raya
kehidupan penuh marabahaya
bercakap dengan dinginnya udara
melupa dekap hangatnya keluarga

demi tangkapan melimpah
menembus pekat malam
dipermainkan gelombang samudera raya
semangat mengkristal di lautan luas
melintasi jarak menuju mimpi

bahasamu adalah ombak
bukan proposal di meja para birokrat
jika ikan layang, cakalang, kerapu memenuhi perahu
desir angin berkabar pada perempuan setia
di bilik kamarmu
...

Keberanian orang-orang Tuban pernah ditulis novelis Pramoedya Ananta Toer dalam novel Arus Balik. Di sana dikisahkan betapa penduduk Tuban terkenal dengan keberanian dan keahliannnya dalam bergulat. Memori saya berbisik: ada hubungan yang erat antara novel itu dengan sajak Budi Wasasih dalam antologi ini.

Mari kita nikmati keberanian orang Tuban dalam sajak “Gelut Pathol” karya Asih berikut.

Alun mengalun layar sejarah terkembang
tentang adu sayembara para pendekar
untuk menjaga pelabuhan Tuban
Menghalau perompak yang membajak

Lalu masa berganti
gelut pathol mati
tak terlihat lagi nelayan-nelayan muda berperawakan kuat beradu strategi
pasang kuda-kuda sportivitas buah keluhuran budi
tak terdengar pula sorak-sorai penonton bersahutan
gulat nelayan pesisir Tuban telah puput
berkalang di pantainya sendiri
....


Komet, Eva, Asih  memiliki gaya yang nyaris sama: protes. Protes terhadap dikotomi kekuasaan dimana ujung kuasa pada kemakmuran dan ujung jelata pada kemiskinan.Karena miskin, modal paling murah baginya adalah keberanian.  Inilah khas darah Ronggolawe.

Rasa empati terhadap wong cilik yang juga dalam silsilah orang baik Tuban dapat pula kita pelajari sejarah Raden Sahid yang “mencuri” harta orang kaya untuk dibagi-bagikan kepada penduduk miskin. Mbah Raden Sahid yang kemudian disucikan Allah menjadi Sunan Kalijaga.

Maka, catatan kemudian benarkah Tuban identik dengan jiwa saleh seorang  brandal yang muaranya juga kasih Tuhan datang. Kasih Tuhan datang lantaran sekalipun brandal dalam benih jiwanya bersemayam gelora jiwa kasih sesama. Wih Tuban Rek. Maka, muaranya juga menjadi “bumi wali”.

Kemanapun, Kembali Bumi Wali

Entah sudah berapa kali saya mengurasi karya-karya penulis Tuban. Secara kebetulan atau memang kesetiaan pikiran saya, selalu kutemukan benang merah bahwa penulis Tuban teramat sulit keluar dari zona ‘perwalian’.
Saya berpikir, jangan-jangan semua penyair Tuban adalah wali. Kalau bukan wali ya calon wali. Kalau bukan calon wali, ya temannya wali. Kalau bukan temannya wali, ya pecinta wali.

Ya kalimat yang terakhir itu dibuktikan oleh penyair Moch. Rif’an,Titik Istiana, Siti Umi Choiriyah, Endang Saptarina, dan Alkhorida. Mari kita cermatnikmati sajak-sajak penyair tersebut.
Dalam “Ziarah Sang Sunan di Bumi Wali”, Moch. Rif’an berujar:

Menyusuri lorong kecil gang gupitan
Hati terpusat pada sang sunan
Sowan berziarah haturkan penghormatan
Perjuangan nan gigih penuh pengorbanan

Sorot mata tertuju pada sebuah makam
Cungkup besar ditengah kerumunan pekuburan
Sang sunan dengan ketenangan abadi bersemayam
Menerima para peziarah dari dalam dengan senyuman
...
Serupa sajak di atas dalam pertalian tema “wali”, Titik Istiana melalui sajak “Aku Puisikan Namamu: Tuban Bumi Wali” menulis:

Aku puisikan namamu dalam prasasti hati bersama doa yang tak pernah purna. Kelahiranmu dari awal mula babat alas papringan adalah sejarah indah tak bertepi. Hingga terbitlah kadipaten gemah ripah loh jinawi.

Di atas tanahmu, pusara para wali menjadi ziarah sakral yang mengingatkanku tentang kebesaran Ilahi. Hingga kini kau disebut Tuban Bumi Wali.
...

Sajak “Ahad Pagi Di Bumi Wali” karya Siti Umi Choiriyah menasbikan selalu saja tidak bisa dilepaskan orang Tuban, penyair Tuban, dan entah identitas apa entang Tuban selalu berbelitkelindan dengan ‘wali’ kita.

Adakah yang lebih indah
Saat pertemuan itu direncanakan Allah
Saat Dakwah menjalin ukhuwah
Bumi Wali karunia melimpah

Ahad pagi di bumi wali
Semarak barisan pendakwah
Di masjid yang suci menenangkan hati
Berbagi kata penuh hikmah
...

Serupa Umi, Endang Saptarina melalui “Cerita di Kota Tua” berkisah dalam pagutan sepi indahnya begini:

Bumi Wali terpahat kuat dalam ingatan
Di sela kepak sayap burung hong warisan tentara Khubilai Khan
Di antara gemerisik derai  daun lontar
Bersembunyi di balik buah siwalan
Sambil mencecap segarnya air nira  dan renyahnya ampo hitam
Kita nikmati di sepanjang Daendels yang membentang
Dari Anyer sampai Panarukan

Melaras kidung Ronggolawe meski sayup-sayup terdengar
Menggugah darah petarung agar tak menjadi pecundang
...

Serupa dunia wali, dunia religius, simetris pula bumi santri. Begitu entitas Tuban dalam kacamata para pengarang Tuban. Maka tidak heran jika penyair yang juga peneliti pikiran-pikiran Pahlawan Wanita Kartini, Alkhorida namanya, mengusung judul sajak “Kampung  Santri”:

Di ujung selatan bumi wali
tak kurang lima puluh kilo meter bergeser dari pesisir utara
berdiri kokoh puluhan pesantren hingga berpuluh generasi
memasir para pecinta ilmu dan kalam Illahi
santri dan identitas pondok salafi
sistem sorogan yang sarat didikan kualitas individual
hafalan Alquran sebagai penjaga jiwa dan raga
muhadharah pengasah public speaking
hingga belajar berdikari dari usia dini

Senori, kawasan ulama dan santri
populer dengan ikon religi
sinerginya para pendiri dan penjaga negri
memperluas akses, potensi, dan otonomi
santri keren yang berisi teknologi
sebagai bekal penegak Tauhid ajaran para Kyai
pewaris para Nabi.
Ada penyair yang kekuatan bahasanya tak mampu aku menelisik lebih tukik ke dalam. Keterbatasanku dalam bahasa Jawa menyebabkan penyair Moch. Sunaryo kupahami sebagai aset Tuban dalam bersajak berbahasa Jawa. Teruskan Kang. Kau hebat. Ini bukti Kang Naryo lain daripada yang lain. Memang dia penyair ‘kelainan top’.

Pamuji 03
Oleh: Moch. Sunaryo

Manjing swasana sepi
Kang westono bang wetan semulak jingga
Jago kluruk sesautan ora miyak cahyaning bagaskara

Lamun
Sinawang saka netramu
Ana rasa kang kebak pitakon
Ana rasa wuyung kang tansah ngrembuyung
Puji syukur mring Gusti

Wontén puji kang sinélir malih
Lamun sira manédha marang Gusti
Wacanén den alon
Manahira den mandhép sawiji
Lan den ngati-atié
Mujiya den éning
Ya Allah

Ngilmu agama wajib diarah
Diasah ngunjara amarah
Aja sok seneng mitnah
Padha kuliknano maca kalimah toyibah
Marang Gusti Kang Maha Murah


Epilog

Kurasi yang baik adalah kurasi yang teliti. Kurasi yang teliti adalah kurasi yang mampu mendedah karya secara detail satu per satu. Maka, modal dasar sang kurator adalah ketelitian, kecermatan, dan kedalaman analisis.

Tampaknya kalimat terakhir dari paragraf di atas saya tak sanggup melakukannya. Jumlah puisi teman-teman dalam antologi ini lumayan banyak. Saya tak sanggup menelusuri saban diksi dengan penuh hikmat. Tetapi setidaknya, apa yang saya paparkan di atas mewakili arus besar pikiran para penyair yang berjumlah dua puluh tujuh orang itu.

Ya memang. Penyair Tuban bukan sembarang penyair. Mereka sanggup menyajikan data kepada kita semua tentang sejarah, masa lalu, masa kini, dan bahkan masa mendatang. Saya sebagai akademisi dalam sisi tertentu membuka celah ruang kurasi ini sebagai pintu masuk peneitian tentang Tuban dari perspektif puisi-puisi karya penulis yang lahir, hidup, tumbuh, dan mungkin kelak berakhir usia di kota tua Tuban yang penuh sejarah.

Akhirnya benarlah tesis yang menyebutkan bahwa  “hidup adalah pilihan: mengalah, menerima, atau melawan sebagaimana yang saya kutip secara bebas dari puisi berjudul “Mimpi Aneh” karya Tri Mariani sebagai judul kurasi ini. Setidaknya, dari pembacaan puisi-puisi penyair Tuban yang secara fitrah berdarah melawan dan sisi lain pecinta wali, kita penulis Tuban telah memilih jalan hidup berpikir merdeka: “sekali hidup mengalahlah, menerimalah,  karena mengalah dan menerima adalah menang sebelum melawan.” Tenane. Hehehe. []

[Cak Sariban pekerja kreatif, akademisi pengajar kesusastraan pada Program Pascasarjana Unisda Lamongan, tinggal di Tuban]
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Gubuk Maya Kang Naryo | Mas Template
Copyright © 2009. GubuK Maya | Kang Naryo - All Rights Reserved
Created by Gubuk Maya | Kang Naryo
Powered by Blogger