Headlines News :
Home » » Akuntabilitas Pelayanan Publik

Akuntabilitas Pelayanan Publik

Written By Kang Naryo on Rabu, 25 Februari 2009 | 16.53


PELAKSANAAN otonomi daerah memiliki kaitan yang erat dengan tuntutan dilakukannya good governance (tata pemerintahan yang baik) di Indonesia. Good governance banyak menjadi sorotan, terutama sejak timbulnya iklim yang lebih demokratis dalam pemerintahan. Masyarakat mulai mempertanyakan akan nilai yang mereka peroleh atas pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah. Hal ini sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat. Oleh karena itu, tuntutan itu merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang mampu menyediakan public goods dan services.

Menurut Loina Lalolo Krina P. (2003:5), governance, yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah “penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka“.

Sedangkan menurut Meutia Ganie Rochman (1999:2) menyebutkan governance adalah “mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif”. Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institus-institusi negara. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda.

Meskipun mengakui ada banyak aktor yang terlibat dalam proses sosial, governance bukanlah sesuatu yang terjadi secara chaotic, random atau tidak terduga. Ada aturan-aturan main yang diikuti oleh berbagai aktor yang berbeda. Salah satu aturan main yang penting adalah adanya wewenang yang dijalankan oleh negara. Tetapi harus diingat, dalam konsep governance wewenang diasumsikan tidak diterapkan secara sepihak, melainkan melalui semacam konsensus dari pelaku-pelaku yang berbeda. Oleh sebab itu, karena melibatkan banyak pihak dan tidak bekerja berdasarkan dominasi pemerintah, maka pelaku-pelaku di luar pemerintah harus memiliki kompetensi untuk ikut membentuk, mengontrol, dan mematuhi wewenang yang dibentuk secara kolektif.

Lebih lanjut, Meutia Ganie Rochman menyebutkan bahwa dalam konteks pembangunan, definisi governance adalah “mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial untuk tujuan pembangunan”, sehingga good governance, dengan demikian, “adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang substansial dan penerapannya untuk menunjang pembangunan yang stabil dengan syarat utama efisien) dan (relatif) merata.”

UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu “legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial), manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya”.

Sedangkan World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance adalah “masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum”. Asian Development Bank sendiri menegaskan adanya konsensus umum bahwa “good governance dilandasi oleh empat pilar yaitu (1) accountability, (2) transparency, (3) predictability, dan (4) participation”.

Dari uraian di atas paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu (1) Akuntabilitas, (2) Transparansi, dan (3) Partisipasi Masyarakat. Ketiga prinsip ini tidaklah dapat berjalan sendiri-sendiri. Ada hubungan erat dan saling mempengaruhi. Masing-masing bagian adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai prinsip yang lainnya, dan ketiganya adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai manajemen publik yang baik. Walaupun begitu, akuntabilitas menjadi kunci dari semua prinsip ini.

Akuntabilitas merupakan pemberian informasi dan pengungkapan atas aktivitas dan kinerja finansial organisasi sektor publik kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder). Informasi kinerja perlu dilaporkan karena lembaga-lembaga publik harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi dan hak untuk didengar aspirasinya.

Akuntabilitas yang harus dilakukan meliputi akuntabilitas internal, yaitu kepada manajernya, dan akuntabilitas eksternal yaitu kepada pihak-pihak luar yang berkepentingan. Akuntabilitas meliputi akuntabilitas vertikal (vertical accountability) dan akuntabilitas horisontal (horizontal accountability). Pertanggungjawaban vertikal (vertical accountability) adalah pertanggung-jawaban kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas) kepada kepala daerah, pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, dan pemerintah pusat kepada MPR. Pertanggungjawaban horisontal (horizontal accountability) adalah pertanggung-jawaban kepada masyarakat luas atau terhadap sesama lembaga publik Iainnya yang tidak berada di atasnya.

Namun pelaksanaan otonomi daerah bila tidak diimbangi dengan kesiapan dan kemampuan aparat di tingkat lokal untuk mengubah kinerjanya dikhawatirkan justru akan memperburuk kinerja pelayanan publik. Mental aparatur yang lebih terbiasa meminta dilayani daripada melayani dan terbatasnya anggaran yang dimiliki oleh pemerintah kota-kabupaten tak pelak membuat banyak pihak meragukan kemampuan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik sebagaimana diharapkan masyarakat.

Oleh karena itu untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), kualitas pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat di semua sektor pelayanan publik harus senantiasa ditingkatkan. Dengan terselenggaranya pelayanan publik yang prima akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, dukungan partisipasi masyarakat serta dunia usaha yang beretika, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi, membuka lapangan kerja, serta memperkuat kemandirian dan daya saing nasional.

Peraturan perundangan Indonesia telah memberikan landasan untuk penyelenggaraan pelayanan publik dengan mendasarkan pada Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Pasal 3 Undang-undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (selanjutnya UU KKN) menyebutkan asas-asas yang menjadi landasan penyelenggaraan pelayanan publik terdiri dari: asas kepastian hokum, asas tertib penyelenggaraan Negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintahan Kepada Masyarakat adalah pedoman yang dapat dipergunakan oleh aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Kemudian, Instruksi Presiden No.7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan telah menginstruksikan kepada instansi Pemerintahan untuk menyampaikan laporan akuntabilitas kinerja instansi kepada Presiden. Ketiga instrument hukum tersebut merupakan pedoman Pemerintah untuk memperbaiki kinerja lembaga terutama lembaga atau instansi pelayanan publik. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut telah mengatur tentang tugas dan tanggung jawab publik, namun tidak ada satu perundang-undangan tertentu yang secara khusus mengatur mengenai pelayanan publik yang berisi ketentuan minimum yang harus dipatuhi dan dipenuhi oleh instansi pelayanan publik

Penyelenggaraan pelayanan publik pada saat ini tidak hanya meliputi kebutuhan masyarakat akan penyelesaian sengketa oleh badan-badan peradilan, tetapi meluas pada pemenuhan kebutuhan akan hak-hak dasar seperti pendidikan, kebutuhan ekonomi, pekerjaan, kesehatan, lingkungan hidup yang sehat, dan lainnya. Sehingga penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya dapat digantungkan pada undang-undang semata.

Perilaku birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan publik juga menjadi perhatian utama dalam memperbaiki kinerja pelayanan. Prinsip penting adalah adanya akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan fungsi tersebut. Menurut Joko Widodo (2001:149) “birokrasi publik dikatakan akuntabel manakala mereka dinilai secara objektif oleh orang (masyarakat atau melalui wakilnya) dapat mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan, sikap, dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal”.

Menurut hemat kami ada beberapa persyaratan untuk mendukung reformasi dalam pemyelenggaraan pelayanan publik diantaranya sebagai berikut: (1) Berbasis pada kedaulatan rakyat, dimana terdapat ruang bagi rakyat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan politik yang berorientasi pada konsensus rakyat; (2) Pembentukan kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, kondisi obyektif, dan karakter sosial ekonomi dan budaya rakyat; (3) Perimbangan kekuasaan dalam hubungan antar lembaga yang dapat melakukan cek dan balance; (4) Pembagian kewenangan yang jelas diantara bidang-bidang pemerintahan yang sesuai dengan tugas dan fungsinyanya, namun memiliki sinergi satu dengan lainnya; (5) Fungsi manajemen pemerintahan yang berdasarkan pada rasionalitas, obyektifitas, efektifitas, efisiensi dan transparansi; (6) Lembaga legislatif yang dapat meningkatkan kemampuannya dalam hal melakukan fungsi kontrol, legislasi dan perumusan kebijakan pemerintah; (7) Kemampuan lembaga legislatif untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap eksekutif, dan fungsi legislasi yang senantiasa didasarkan pada pemahaman dan pengakuan terhadap heterogenitas dan aspirasi rakyat; (8) Visi, misi dan tujuan yang jelas dalam menetapkan strategi kebijakan pemerintah yang responsive terhadap perubahan rakyat dan; (9) Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Beberapa prasyarat tersebut dapat dijadikan sebagai parameter politik dalam penyelenggaraan pelayanan publik, dimana harus ada perubahan paradigma bahwa orientasi kerja birokrasi tidak lagi pada organisasi tetapi kepada kebutuhan dan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini pelayanan publik harus diartikan sebagai kewajiban yang diamanatkan oleh konstitusi untuk dilaksanakan oleh pemerintah guna memenuhi hak-hak warga masyarakat. Menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, pelayanan publik dibatasi pada pengertian “segala bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparat pemerintah dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Menurut Made Suwandi (2002:31) apabila pelayanan dikaitkan dengan kegiatan pembangunan sebagai proses untuk menghasilkan pelayanan tersebut, maka berbagai masalah aktual telah terjadi antara lain: (1) “Semakin Rendahnya Kualitas Pelayanan, hal ini ditandai dengan makin menurunnya kondisi infrastruktur yang ada di Daerah seperti jalan yang semakin rusak, Gedung SD yang kurang terurus, kualitas lingkungan yang menurun dsb; (2) Kaburnya Pemahaman Konsep-Konsep Perencanaan Daerah, terjadinya kerancuan bagi Daerah dalam memahami peraturan perundangan yang mengatur tentang perencanaan pembangunan. Daerah bingung antara pengertian Propeda dan Renstra; (3) Masih Besarnya Peranan Pemerintah Daerah dalam Penyediaan Pelayanan, walaupun potensi privatisasi ada di Daerah, namun karena tekanan dan jumlah birokrasi yang besar menyebabkan keengganan Daerah untuk melakukan privatisasi; (4) Tidak Jelasnya Standar Pelayanan, belum ada kejelasan standar pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sehingga baik Pemerintah Daerah maupun masyarakat rentan sekali terhadap praktek-praktek mal-administrasi oleh birokrasi daerah dan; (5) Rendahnya Akuntabilitas Pelayanan, ditandai dengan tidak adanya transparansi dalam pelayanan baik dalam aspek biaya, waktu dan kualitas pelayanan”.

Berdasarkan hasil penelitian tentang kualitas pelayanan yang perlu dijadikan pedoman oleh aparat Pemerintah Daerah dalam melayani masyarakat di daerah yaitu Studi International menyatakan bahwa “3-6 dari 10 pelanggan akan bicara secara terbuka kepada umum mengenai perlakuan buruk yang mereka terima. Pada akhirnya 6 dari 10 pelanggan akan mengkonsumsi barang atau jasa alternatif” (Pantius D, Soeling, 1997:11). Hasil studi The Tehnical Assistens Research Program Institute menunjukkan: (1) 95 % dari pelanggan yang dikecewakan tidak pernah mengeluh kepada perusahaan; (2) Rata-rata pelanggan yang komplain akan memberitahukan kepada 9 atau 10, orang lain mengenai pelayanan buruk yang mereka terima dan; (3) 70% pelanggan yang komplain akan berbisnis kembali dengan perusahaan kalau keluhannya ditangani dengan cepat”. (Pantius D. Soeling, 1997 : 11).

Artinya dalam konteks ini pelayanan memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga loyalitas konsumen (masyarakat), demikian pula halnya pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada para pelaku bisnis. Bila merasa tidak mendapat pelayanan yang memuaskan maka mereka akan dengan segera mencari daerah lain yang lebih kompetitif untuk memindahkan usahanya. Hasil kajian yang dilakukan Governance and Decentralization Survey (2002), misalnya, menemukan paling-tidak ada tiga masalah penting yang perlu disikapi dalam penyelenggaraan pelayanan publik pasca diberlakukan kebijakan otonomi daerah, yaitu “besarnya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan, dan rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik”. Tidak sedikit warga masyarakat yang masih sering merasa dipersulit ketika berhubungan dengan birokrasi, kecuali jika mereka bersedia membayar dana lebih. Berbeda dengan slogan dan janji-janji yang sering dikumandangkan pejabat atau elit politik ketika berkampanye, dalam kenyataan kinerja layanan publik yang ditawarkan lembaga-lembaga pemerintah umumnya sarat permasalahan, dan bahkan acapkali mengecewakan publik (Harian Surya: 14 April 2004)

Menurut Sinoeng N Rachmadi (Suara Merdeka:12 April 2003) dalam salah satu teori birokrasi pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan publik dikenal dengan dua konsep yaitu: (1) Konsep Pressure to be Competitive, artinya jika suatu era pemerintahan (di daerah) sangat buruk dalam pelayanan publik maka telah ada mekanisme hukum tentang penggantian pimpinan daerah; (2) Konsep publicity sanction artinya masyarakat berhak tahu dan mengerti institusi daerah atau pemerintah daerah mana yang buruk performanya dalam pelayanan publik, sehingga publik dapat secara komparatif menilai Pemerintah Daerah mana saja yang buruk atau ekselen dalam memberikan pelayanan publik. Terlebih lagi dalam hal investasi maupun perizinan. Bahkan ada suatu negara yang secara ekstrem tidak saja mengumumkan nama institusi/daerah, tetapi juga profil pejabat birokrat yang melanggar (Inggris dan China)

Artinya dalam hal ini yang perlu mendapat perhatian adalah masyarakat dimana masyarakat sebagai seorang informan, korektor dan evaluator dari penerapan pelayanan publik dari pemerintah daerah. Oleh karena itu diperlukan regulasi daerah (Perda) tentang pelayanan publik yang proses penyusunannya lebih aspiratif, akomodatif dan transparan.

Disamping itu masyarakat juga tidak hanya sekadar menyampaikan keluhan (complain) saja, tetapi juga secara jujur dapat menyampaikan kepuasan (satisfaction). Keduanya dapat disampaikan dalam mekanisme yang normatif, santun dan demokratis sehingga dapat menjadi variable guna perbaikan dan peningkatan pelayanan publik di masa depan.

Dimensi lainnya dari manajemen pelayananan publik adalah urgensi untuk memberikan “better value for money” yang berarti sejauhmana Pemerintah Daerah mampu melaksanakan pelayanan dan pembangunan secara ekonomis, efektif dan efisien Pada sisi lain muncul juga tuntutan yang semakin intens agar masyarakat dilibatkan dalam penentuan standart kualitas dan kuantitas pelayanan. Masyarakat sebagai custumer dan sekaligus citizen makin mempunyai pengaruh dalam menenentukan jenis dan kualitas pelayanan yang dinginkan. Artinya masyarakat menjadi lebih terlibat dalam menentukan jenis pelayanan apa yang dibutuhkan, kapan dibutuhkan, bagaimana penyediaan pelayanan tersebut dan siapa yang menyediakannya.

Dalam rangka mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik (good governance), maka kualitas pelayanan Aparatur Pemerintah kepada masyarakat di semua sektor pelayanan publik harus senantiasa ditingkatkan. Sejalan dengan itu, pada tanggal 18 Pebruari 2004 Pemerintah Daerah Jawa Timur mencanangkan tahun 2004 sebagai: "Tahun Peningkatan Pelayanan Publik Di Jawa Timur". Tidak hanya berhenti disitu di tahun 2005 Pemerintah Daerah Jawa Timur bersama DPRD merumuskan Perda No. 11 tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Jawa Timur sehingga melahirkan lembaga baru yaitu Komisi Pelayanan Publik. Disisi lain tahun 2007 ini Pemerintah Daerah Jawa Timur sebagai pilot project untuk penentuan standar pelayanan publik.

Karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus segera berbenah untuk segera merespon kebijakan tentang peningkatan pelayanan publik tersebut. Dengan perubahan lingkungan dan munculnya banyak kompetitor swasta, mengharuskan Pemerintah Daerah melakukan repositioning pelayanan publik yang sebelumnya berparadigma monopolistic serta captive-market, menuju pada paradigma market atau customer oriented. Dorongan kearah perubahan paradigma pelayanan publik tersebut juga sejalan dengan diimplementasikannya UU No. 32 tahun 2004.

Laju pertumbuhan penduduk yang meningkat ini menyebabkan kebutuhan akan sarana dan pelayanan meningkat pula. Sementara itu sebagian besar pelayanan publik di Kabupaten /Kota selama ini dilaksanakan dan disediakan oleh Pemerintah Daerah melalui: (1) birokrasi single-purposes. Birokrasi ini dapat berwujud BUMN/BUMD atau Dinas-dinas, (2) Birokrasi multi-purposes, sebagaimana pelayanan publik yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam tubuh Pemerintah Daerah tidak berdasarkan atas satuan-satuan sektoral melainkan penduduk yang dilayani, contohnya adalah pengurusan KTP. Birokrasi yang bergerak di bidang ini biasa dilakukan oleh kelurahan, kecamatan, maupun pemerintah kabupaten sendiri.

Seluruh masyarakat mempunyai hak yang sama atas jaminan (assurance) sosial dan ekonomi dari Pemerintah Daerah sebagai konsekuensi langsung atas pembayaran pajak yang telah mereka penuhi. Pemerintah Daerah diharapkan bisa mendorong organisasi-organisasi penyedia layanan publik, seperti lembaga pendidikan, kesehatan, transportasi, listrik, telepon, PDAM dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara layak. Kualitas pelayanan publik ini harus selalu dimonitor dari waktu ke waktu agar tercipta perbaikan secara terus menerus. Di satu sisi, informasi tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat harus selalu digali agar mengurangi gap (kesenjangan) antara harapan masyarakat dengan praktek penyelenggaraan layanan publik yang ada. Masyarakat harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan prioritas kebutuhannya dan mengembangkan kapabilitasnya sehingga mempunyai tingkat produktifitas yang tinggi.

Hal ini senada dengan pendapat Curran dan Gurevitch yang dikutip oleh Dedy, yaitu berkaitan dengan hak publik untuk memperoleh informasi “ . . .a neutral zone where access to relevant information affecting the public goods is widely available, where discussion is free of domination by the state, and where all those participating in public debate do so on an equal basis.”

Lebih lanjut Dedy menjelaskan bahwa aspek permasalahan komunikasi dari suatu bureaucratic polity sekurangnya menyangkut dua hal yaitu: (1) Publik tidak memiliki cukup hak untuk memperoleh informasi seputar penentuan kebijakan. Publik pun tidak banyak diberi peluang untuk memperoleh informasi dari sumber-sumber alternatif diluar sumber-sumber yang dikontrol penguasa. Kebijakan mengenai informasi apa yang bisa dan perlu dikonsumsi oleh publik, secara dominan ditentukan oleh rejim penguasa. Berbagai jenis informasi dinyatakan sebagai off-limits, khususnya yang praktek-praktek bisnis yang melibatkan keluarga Presiden, sejumlah pejabat negara eselon tertinggi, dan juga pimpinan teras militer pada masa itu; (2) Tidak tercipta cukup public spheres dimana publik bisa secara horizontal dan vertikal terlibat dalam proses-proses perencanaan, penentuan, pelaksanaan, ataupun pengawasan kebijakan. Sebab, proses-proses tersebut hanya berlangsung melalui suatu asymmetric communication, yang bersifat satu arah, dan vertikal. Dalam banyak kasus proses-proses pengambilan kebijakan publik bahkan berlangsung dalam lingkaran yang amat terbatas dan tertutup, dimana publik tidak memiliki akses ke sumber-sumber informasi mengenai proses pengambilan kebijakan tersebut.

Oleh karena itu Pemerintah Daerah mempunyai peran besar dalam pembuatan program pelayanan dan kebijakan publik. Berbagai regulasi dan peraturan yang menyangkut organisasi layanan publik sudah barang tentu mesti dirumuskan dengan mempertimbangkan kebutuhan publik. Tanggung jawab Pemerintah Daerah tidak sekedar membuat dan menjalankan program yang bernilai ekonomi tetapi yang lebih penting justru identifikasi apakah program dan kebijakan tersebut sudah sesuai dengan keinginan publik dan tidak malah membatasi ruang gerak masyarakat untuk bisa berkreasi secara produktif. Tingkat kehidupan masyarakat secara individual diharapkan bisa bertambah baik dan maju atas kebijakan pemerintah yang ditetapkan.Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warganegara dan semakin mandirinya media massa yang didukung oleh teknologi informasi dan komunikasi yang handal ikut menjadi pemicu meningkatnya kesadaran masyarakat akan perlunya akuntabilitas.

Masyarakat mengharapkan pemerintah memberikan perhatian yang serius untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) agar tercipta sebuah pemerintahan yang bersih. Kondisi ini menunjukkan adanya perubahan paradigma tuntutan pelayanan publik yang menghendaki adanya pemerintahan yang lebih transparan, partisipatif, dan akuntabel. Terjadinya mal-administration, banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme yang terungkap belakangan ini menunjukkan bahwa akuntabilitas belum berjalan seperti yang diharapkan.
Upaya memperbaiki kinerja organisasi layanan publik ini dilakukan secara terus menerus sehingga bisa dilihat kemanfaatannya bagi masyarakat. Dengan demikian, para klien dan pengguna jasa organisasi publik tersebut dapat menerima layanan sesuai dengan kebutuhannya, lebih relevan dan efektif. Selain itu, para wajib pajak menerima imbal balik yang sepadan dan efektif oleh karena mereka dapat menikmati pelayanan dari lembaga layanan publik dengan memuaskan.

Oleh karena itu penerapan konsep pelayanan publik yang strategis untuk disimak adalah: (1) persepsi Pemerintah Daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (2) standar pelayanan publik minimum (SPPM) yang aspiratif, akomodatif dan transparan, (3) mekanisme kontrol secara normatif dari masyarakat terhadap performa pelayanan yang diberikan dapat menjadi umpan balik (feedback) bagi peningkatan pelayanan di masa depan, (4) kepemimpinan (leadership) dalam setiap institusi pelayanan publik di daerah, (5) administrative reform atau reformasi perilaku birokrasi pemerintahan dalam membuat kebijakan dan interaksi pelaksanaan pelayanan publik, (6) penerapan konsep seamless government (Struktur Pemerintahan yang ringkas) dan strategic human resources management, (7) community involvement dalam memberikan informasi, mengoreksi dan mengevaluasi pelaksanaan pelayanan publik.

Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan dengan cara memperbaiki manajemen kualitas jasa (service quality management), yakni upaya meminimasi kesenjangan (gap) antara tingkat layanan yang disediakan organisasi dengan harapan dan keinginan customer (masyarakat pengguna). Dalam rangka memperbaiki kualitas layanan ini, manajemen harus mampu menerapkan teknik-teknik manajemen yang berorientasi pada kebutuhan customer atau pengguna karena sebenarnya organisasi ini memang merupakan penyedia jasa yang ditujukan untuk melayani kebutuhan customer. Untuk memperbaiki kualitas layanan sehingga memperkecil gap sebagaimana diuraikan di atas, pengukuran kinerja secara periodik menjadi sangat penting peranannya

Kinerja merupakan konsep yang multi dimensional dan banyak dipengaruhi berbagai macam faktor. Ukuran kinerja yang layak bagi organisasi layanan publik ini tidak sekedar bersifat finansial (input). Kinerja organisasi layanan publik harus diukur dari outcome-nya karena outcome (hasil) inilah variabel kinerja yang paling mewakili penurunan dari misi organisasi sampai pada aktivitas operasional. Outcome dapat digunakan untuk menilai aspek finansial dan non finansial sekaligus. Tujuan strategis organisasi, kepuasan pelanggan dan kontribusi ekonomi secara bersama-sama dapat diukur ketercapainnya dengan mengidentifikasi outcome-nya. Misalnya keberhasilan sebuah rumah sakit bukan dilihat dari fasilitasnya (output) tetapi dari kemanfaatan langsung atas keberadaan fasilitas tersebut bagi masyarakat (outcome). Keberhasilan pembangunan gedung sebuah sekolah dasar bukan dilihat dari banyaknya bangunan SD (seperti dikenal dengan SD Inpres) di berbagai wilayah pedesan (output) sebagaimana ditetapkan dalam program pembangunan, namun dari seberapa besar nilai strategis gedung tersebut bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat

Salah satu indikator yang dapat dijadikan sebagai ukuran bahwa paradigma pelayanan publik telah berubah adalah keberanian Pemerintah Daerah untuk melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri maupun terhadap kepuasan masyarakat yang dilayaninya, diantaranya dengan melakukan riset atau penelitian tentang kinerja pelayanan publik dilingkungannya. Riset tentang kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik pada umumnya masih jarang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, sehingga takaran untuk mengetahui sejauh mana efektifitas berbagai pelayanan publik -- khususnya dilihat dari kepuasan masyarakat pengguna-- juga masih belum diketahui. (Kang Naryo)
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Gubuk Maya Kang Naryo | Mas Template
Copyright © 2009. GubuK Maya | Kang Naryo - All Rights Reserved
Created by Gubuk Maya | Kang Naryo
Powered by Blogger