Headlines News :
Home » » Membangun Demokrasi Menjelang Pemilu 2009

Membangun Demokrasi Menjelang Pemilu 2009

Written By Kang Naryo on Selasa, 31 Maret 2009 | 12.57

TINGGAL menghitung hari lagi, pesta demokrasi 5 tahunan akan digelar di Republik ini. Pertanyaan yang muncul sudah siapkah elemen-elemen yang ada di negeri ini membangun komitmen buat masyarakatnya. Jawabnya mari kita ulas persiapan menjelang pesta 5 tahunan ini. Diketahui bahwa Instrumen politik dalam konteks membangun format baru kehidupan berbangsa dan bernegara ada tiga. Ketiga instrumen politik tersebut adalah: (1) Pemilihan Umum (Pemilu), (2) People Power (pengambilalihan kekuasaan secara paksa, biasa dilakukan oleh kalangan sipil), dan (3) Kudeta (sama dengan people power tapi lazimnya dilakukan oleh militer).

Diantara ketiga instrumen politik ini maka Pemilu adalah cara yang dipakai untuk mendorong proses pergantian pimpinan nasional atau yang disebut juga dengan suksesi nasional. Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena Pemilu memiliki dasar hukum yang kuat melalui UU itu artinya pemilu merupakan alat untuk memberikan legitimasi yang penuh kepada pemerintahan selanjutnya.

Menempatkan pemilu sebagai alat demokrasi berarti memposisikan pemilu dalam fungsi asasinya sebagai wahana pembentuk representative government, Nilai demokratis sebuah pemilu terutama dinilai dari tingkat kompetitif yang berjalan didalamnya. Semakin kompetitif sebuah pemilu, semakin demokratis pulalah pemilu itu. Sejalan dengan konsepsi ini, maka bila kita menyadari ada peluang dihadapan untuk melaksanakan perubahan yang berencana, perlu kita gerakkan isu demokrasi untuk menjawab keputusan strategis menjelang pemilu 2009, sebagai satu langkah untuk menyamakan persepsi kedalam pola pikir secara konstruktif.

Namun benih demokrasi terkesan tumbuh dengan liar. Ia bahkan terkadang menjalar hingga menembus batas demarkasi kultural dan sosial. Ketimpangan sosial (social disorder), ketegangan etnis semakin tinggi, memudarnya pluralisme, kerusuhan Pilkada 2006 adalah contoh dari efek negatifnya. Itulah masyarakat anomali seperti yang dikemukakan Durkheim. Gambaran itu seolah menjadi potret harian wajah masyarakat kita. Pertanyaannya, apakah perangai masyarakat kita sedemikian ‘berang’ hingga menampilkan sifat tidak ramah? Hal demikian tak hanya terjadi di level nasional, tetapi juga regional. Berbagai agenda pilkada menunjukkan tren fluktuatif dan banyak berakibat pada ketidakpuasan rakyat. Konflik horizontal pun tak dapat dihindari. Pada gilirannya fenomena pembiakan golput menjadi ekspresi pilihan rakyat yang sedang apatis.


Bertitik tolak dari pemikiran diatas, maka diperlukan satu pendekatan agar terwujud kebersamaan dalam memandang masa depan agar dapat memberikan daya dorong bagi semua pihak yang dapat memberikan sumbangan pemikiran agar wujud berbangsa dan bernegara dapat kita realisasikan dari kehidupan masa kini ke masa depan melalui perubahan berpikir secara konstruktif dalam memecahkan masalah-masalah yang kita hadapi. Dengan membangun kesamaan pola berpikir sebagai pemahaman konsep yang dapat menuntun sikap dan perilaku sehingga setiap ucapan akan sejalan dengan perbuatan.


Konsepsi Membangun Demokrasi

Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.


Jeff Hayness (2000) membagi pemberlakuan demokrasi ke dalam tiga model berdasarkan implementasinya yaitu: demokrasi formal, demokrasi permukaan dan demokrasi substantif. Ketiga model ini menggambarkan praktik demokrasi sesungguhnya yang berlangsung di negara manapun yang mempraktikkan demokrasi di atas bumi ini.


Demokrasi formal ditandai dengan adanya kesempatan untuk memilih pemerintahannya dengan interval yang teratur dan ada aturan yang mengatur pemilu. Peran pemerintah adalah mengatur pemilu dengan memperhatikan proses hukumnya. Meski ditopang hukum dan aturan yang kompatibel dengan sistem serta memenuhi kriteria demokrasi formal, kenyataannya penguasa atau parpol di beberapa negara tertentu belum pernah terkalahkan dalam pemilu.


Sementara demokrasi permukaan dianggap Hayness merupakan gejala yang umum di Dunia Ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi, tetapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Hasilnya adalah demokrasi dengan intensitas rendah yang dalam banyak hal tidak jauh dari sekadar polesan pernis demokrasi yang melapisi struktur politik. Artinya, jika demokrasi tidak dijalankan seakan-akan tidak ada reformasi dan artinya pula akan dipersulit negara-negara Barat.


Sedangkan demokrasi substantif menempati ranking paling tinggi dalam penerapan demokrasi. Demokrasi substantif memberi tempat kepada rakyat jelata, kaum miskin, perempuan, kaum muda, golongan minoritas keagamaan dan etnik, untuk dapat benar-benar menempatkan kepentingannya dalam agenda politik di suatu negara. Dengan kata lain, demokrasi substantif menjalankan dengan sungguh-sungguh agenda kerakyatan, bukan sekadar agenda demokrasi atau agenda politik partai semata. Agenda-agenda rakyat menjadi basis pijakan keberadaan partai politik dalam melakukan proses-proses politik, baik di level eksekutif maupun legislative.


Tentulah harapan semua anak bangsa, negeri ini tidak hanya berhenti pada demokrasi formal atau demokrasi permukaan semata, melainkan mengarah pada demokrasi yang substantif. Demokrasi juga tidak sekadar menjadi bayangan dan cita-cita, melainkan menyajikan tahap-tahap yang terukur dan tampak di depan mata, setidaknya diawali dengan solidnya partai politik


Dilain pihak demokrasi dapat didefinisikan sebagai kewenangan yang sangat berguna yang dilimpahkan kepada unit tata pemerintahan yang dapat dijangkau dan akuntabel terhadap penduduk lokal, yang menikmati kebebasan dan hak politik penuh. Lebih lanjut Sutoro menjelaskan bahwa demokratisasi tentu lebih dari sekadar pendelegasian kewenangan ke bawah atau hanya sekadar pemilihan umum. Demokratisasi memerlukan sebuah tata pemerintahan (governance) yang di dalamnya warga negara memiliki hak untuk memaksa para pejabat publik bertanggung jawab melalui penggunaan pemilu, tindakan kolektif dan cara-cara demokratis lain.


Tantangan KPU Sebagai Penyelenggara Pemilu


Sejalan dengan UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum selanjutnya disebut Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat, dan perkembangan demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di lain pihak bahwa penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Karena itu KPU, berkewajiban menjadi penyelenggara pemilu dan menjamin tidak adanya penyimpangan-penyimpangan dalam implementasinya.


Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat yang dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tahapan sebagai berikut: (1) pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; (2) pendaftaran Peserta Pemilu; (3) penetapan Peserta Pemilu; (4) penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; (5) pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; (6) masa kampanye; (7) masa tenang; (8) pemungutan dan penghitungan suara; (9) penetapan hasil Pemilu; dan (10) pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah.


Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, diperlukan adanya suatu pengawasan untuk menjamin agar pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan perundangundangan. Untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum, UU No 22 Tahun 2007 mengatur mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap. Fungsi pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan fungsi pengawasan ekstern yang dilakukan oleh Bawaslu serta Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Pembentukan Pengawas Pemilu tersebut tidak dimaksudkan untuk mengurangi kemandirian dan kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum.


Dilain pihak adanya lembaga penyelenggara pemilihan umum yang profesional membutuhkan Sekretariat Jenderal KPU di tingkat pusat dan sekretariat KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota di daerah sebagai lembaga pendukung yang profesional dengan tugas utama membantu hal teknis administratif, termasuk pengelolaan anggaran. Disamping itu untuk lebih membantu lancarnya tugas-tugas KPU, diangkat tenaga ahli/pakar sesuai dengan kebutuhan dan berada di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal KPU


Sebagai penyelenggara pemilu KPU memiliki wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan menjalankan tugasnya secara berkesinambungan.yang bebas dari pengaruh pihak manapun terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Secara hirarkis kedudukannya meliputi KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Dalam segi penyelenggaraan untuk pemilu 2009, KPU jelas kekurangan waktu yang ideal. Tanpa bantuan dari lembaga-lembaga lain, terutama kalangan masyarakat sipil dan media massa, mustahil pemilu yang jauh lebih rumit dan menantang itu bisa diselenggarakan dengan baik.


Karena itu, apabila KPU dianggap tidak netral dalam pemilu 2009, maka akan banyak persoalan muncul. Bukan saja legitimasi KPU dipertanyakan, melainkan juga ketundukan kepada hasil-hasil pemilu 2009 akan turun dan bahkan demokrasi sendiri menghadapi krisis kepercayaan. Dengan begitu, pertaruhan kinerja KPU adalah bagian utama dari penerimaan atas masa depan demokrasi di negeri ini.


Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu,disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan pemilihan umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu. Asumsi dasar yang dipakai bahwa kode etik ini digunakan untuk memberikan sanksi bagi penyelenggara pemilu yang melanggar aturan. “Walaupun masih dalam penggodokan konsepsi tentang kode etik ini, dasar penyusunan adalah kode etik tersebut adalah poin-poin dalam UU No.22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu. Beberapa di antaranya yang krusial, tentang sumpah dan janji anggota KPU saat dilantik serta diatur juga sanksi kepada komisioner dan sekretariat apabila melanggar kode etik.


Lebih lanjut dijelaskan dalam Koran Tempo bahwa salah satu bentuk pelanggaran kode etik adalah perselingkuhan dan pernyataan individu komisioner yang dapat merugikan institusi KPU. Oleh karena itu akan dibentuk Dewan Kehormatan kode etik yang nantinya merumuskan kriteria pemberhentian tersebut. Dewan bekerja atas dasar laporan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dan masyarakat. Dewan itu direncanakan terdiri dari lima orang, yaitu tiga dari komisioner Komisi ditambah dua tokoh masyarakat atau berasal dari akademisi perguruan tinggi. Ketua Komisi tidak boleh menjadi anggota dewan. Sementara di Komisi Pemilihan Daerah, dewan kehormatan beranggotakan tiga orang yang terdiri dari dua orang anggota Komisi dan satu tokoh masyarakat. Sedangan untuk Bawaslu yang akan memberi sanksi bagi pelanggar kode etik, beranggotakan lima orang dengan susunan dua anggota Badan, satu anggota Komisi, dan dua tokoh masyarakat. Dewan kehormatan tidak dibentuk. Sebab, semua pelanggaran bakal langsung ditangani badan itu. Dengan adanya dewan kehormatan ini, kedepannya akan bisa membantu Komisi Pemilihan pusat maupun daerah dalam menegakkan peraturan pemilihan.


Problem lain terkait kondisi lapang yang menunjukkan kinerja sekretariat masih jauh api dari panggang. Karena itu kinerja Sekretariat KPU harus benar-benar berorientasi demi kepentingan demokrasi, bukan untuk kepentingan penguasa, apalagi hanya sebagai jenjang karier mencapai posisi lebih tinggi, serta harus betul-betul menjalankan prinsip-prinsip good governance. Sekretariat KPU nanti akan berurusan dengan dana penyelenggaraan pemilu yang besar, serta harus berjibaku dengan rekanan-rekanan berupa perusahaan-perusahaan yang menyediakan logistik, akomodasi, transportasi dan kebutuhan penyelenggaraan pemilu lainnya. Apabila Sekretariat KPU diisi oleh pejabat yang mengejar kepentingan lain, maka komisioner KPU potensial diseret kedalamnya.


Disisi lain persoalan rakyat yang jenuh dengan demokrasi. Kejenuhan ini adalah akibat dari kinerja elite-elite politik hasil pemilu yang tidak juga berhasil melakukan perubahan, sebagaimana dengan janji-janji selama kampanye pemilu. Pada momen tertentu, kejenuhan itu bisa berupa apatisme dan sikap apolitis, tetapi pada momen yang lain justru menghasilkan sikap-sikap radikalisme. Konflik yang banyak menyertai pilkada akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kejenuhan itu justru berubah menjadi ketidak-percayaan kepada apapun dan siapapun, kecuali kepentingan sendiri. Contoh kasus Pilkada Kabupaten Tuban menjadi isu nasional terkait dengan penyelenggaraan pilkada yang dianggap gagal dalam pengawalan implementasinya.


Dilain pihak kemiskinan pengetahuan dan keterbatasan jaringan akan dengan mudah bisa menyebabkan keburukan kinerja KPU. Apabila dalam keputusan atau kebijakan KPU bisa “dikendalikan” pihak lain, berarti secara logis pemilu 2009 juga tidak seiring-sejalan. Apabila KPU berhasil melewatinya, maka pertanda pemilu 2009 akan mampu mendekati hasil sebaik pemilu 2004 atau lebih baik lagi. Namun, apabila gagal, pemilu 2009 menghadapi tantangan dan beban yang berat, terutama dari sudut legitimasi penyelenggaraannya.


Kurang sepekan pesta mau digelar masih banyaknya persoalan tentang Daftar Pemilih Tetap (DPT) dikhawatirkan dapat merusak sistem pelaksanaan pemilu. Karena, persoalan DPT dinilai sangat penting untuk segera diselesaikan sebelum pelaksanaan pemilu 2009. Persoalan DPT ini menjadi sorotan utama PDI Perjuangan. Sekretaris Jenderal, Pramono Anung, menyebut ada empat kabupaten di Jawa Timur yang diduga kuat mengalami manipulasi dan penggelembungan DPT.


Tidak hanya itu, kisruh DPT di Jawa Timur berbuntut pengunduran diri mantan Kepala Polda Jawa Timur dari Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Herman Suryadi Sumawiredja. Herman pun didekati sejumlah partai politik untuk memberikan penjelasan soal kisruh DPT di Jawa Timur. Karena itu, KPU harus benar-benar terbuka dalam melakukan tugas-tugasnya. Kekuatan KPU terletak pada komitmen banyak pihak atas demokrasi, baik yang berasal dari partai-partai politik atau kalangan masyarakat sipil yang sudah teruji kapasitasnya. Kalau KPU bisa membangun hubungan kerjasama yang baik, sebagian dari beban berat KPU itu akan dipikul secara bersama-sama.


Belum tuntas persoalan DPT, beberapa parpol masih ribut tentang "Parliamentary Threshold" (PT) atau batas minimal perolehan kursi sebesar 2,5 persen di DPR yang terdapat dalam UU Nomor 10/2008 tentang pemilu karena aturan itu akan menghilangkan suara rakyat yang telah memberikan suaranya. Tuntutan dikeluarkannya PP semakin menguat, namun apakah semua bisa berujud. Padahal secara substansi Penerapan PT diyakini sebagai cara paling jitu untuk menuju sistem partai politik yang sederhana dan efektif. Artinya, dengan penerapan PT, diyakini bakal tercipta partai politik yang kuat dan tidak terlalu banyak secara kuantitas.


Namun, apakah penerapan PT mampu mendesain parpol modern yang mampu menjadi membangun kaderisasi dan distribusi kepemimpinan baik lokal maupun nasional; atau sebaliknya, PT akan menjadikan parpol sebagai wadah otoritarianimse gaya baru? Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar Nafis Gumay mengatakan, pemakaian persentase hasil suara dalam hitungan PT bakal memudahkan dalam penghitungan suara. "Dengan PT, penataan sistem kepartaian di Indonesia akan jauh lebih efektif”.


Lebih lanjut Hadar juga memastikan, bahwa penerapan PT tidak berarti membatasi kemunculan partai politik, apalagi bagian upaya melanggengkan kekuasaan partai politik besar. Bahkan sebaliknya, Hadar menegaskan, pelaksaan PT bakal memperlancar proses demokratisasi dalam sistem kepartian di tanah air. "Ini jauh lebih demokratis, karena parpol tidak harus bubar meski tidak mencapai PT. Oke.......... kawan mari kita tunggu hasil pesta 5 tahunan ini.......... dan gunakan hak pilih anda sesuai dengan pemikiran rasional anda....... Merdeka. *)Kang Naryo






Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Gubuk Maya Kang Naryo | Mas Template
Copyright © 2009. GubuK Maya | Kang Naryo - All Rights Reserved
Created by Gubuk Maya | Kang Naryo
Powered by Blogger